Hujan deras membasahi jendela apartemenku. Di dalam, remang lampu senja digital memantul dari layar laptop yang menampilkan barisan kode rumit. Jemariku menari di atas keyboard, mencoba memecahkan masalah algoritma yang membuatku frustrasi. Bukan algoritma biasa, ini adalah inti dari ‘AmourAI’, aplikasi kencan berbasis kecerdasan buatan yang sedang kukembangkan. Janjinya? Menciptakan koneksi yang lebih dalam dan bermakna daripada sekadar gesekan di layar. Ironisnya, aku sendiri justru merasa semakin jauh dari arti cinta yang sebenarnya.
Di seberang ruangan, Anya, pacarku, duduk bersandar di sofa, sibuk dengan tabletnya. Cahaya layarnya menyinari wajahnya yang cantik, tapi rautnya tampak datar, nyaris tanpa ekspresi. Kami sudah bersama selama dua tahun, tapi akhir-akhir ini, terasa seperti kami hanya sekadar berbagi ruang, bukan hati.
"Masih berkutat dengan AmourAI?" tanya Anya tanpa mengalihkan pandangannya dari tablet.
"Ya," jawabku singkat, berusaha fokus kembali pada kode di hadapanku. "Algoritma ini benar-benar keras kepala."
"Mungkin kamu terlalu memaksakannya," gumam Anya. "Cinta itu kan seharusnya alami, tidak bisa dipaksakan dengan rumus."
Kata-katanya menusukku. Aku tahu dia benar. Tapi aku juga percaya bahwa teknologi bisa membantu orang menemukan cinta, menyingkirkan rintangan yang menghalangi mereka untuk terhubung. Aku hanya ingin menciptakan sesuatu yang lebih baik, lebih efisien. Apakah itu salah?
"Aku hanya ingin membantu orang menemukan kebahagiaan, Anya," balasku, sedikit membela diri.
"Kebahagiaan yang palsu?" tanya Anya, kini menatapku dengan sorot mata yang sulit kubaca. "Kebahagiaan yang diprogram?"
Aku menghela napas. "Itu bukan tujuanku. Aku hanya ingin membantu mereka melewati masa-masa canggung, menemukan kesamaan, membuka diri."
Anya hanya menggeleng pelan dan kembali menatap tabletnya. Keheningan kembali memenuhi ruangan, hanya dipecah oleh suara ketukan hujan di jendela dan suara tombol keyboard.
Malam itu, aku terus bekerja hingga larut. Algoritma itu akhirnya berhasil kutaklukkan. AmourAI kini bisa menganalisis jutaan data, dari preferensi musik hingga pandangan politik, dan menemukan pasangan yang paling cocok secara logis. Aku bangga dengan pencapaianku, tapi entah mengapa, perasaan hampa tetap menghantuiku.
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk menunjukkan AmourAI pada Anya. Aku pikir, mungkin jika dia melihat potensi aplikasinya, dia akan mengerti alasanku.
"Lihat, Anya," kataku, menyodorkan laptopku padanya. "AmourAI sudah selesai. Aku ingin kamu mencobanya."
Anya menatap laptop itu dengan ragu. "Aku tidak yakin," katanya. "Aku lebih suka menemukan cinta dengan cara yang lebih konvensional."
"Cobalah sekali saja," pintaku. "Anggap saja ini sebagai eksperimen."
Akhirnya, Anya mengalah. Dia mengisi profilnya dengan jujur, menjawab semua pertanyaan dengan hati-hati. Setelah beberapa menit, AmourAI menampilkan hasilnya: seorang pria bernama David, seorang arsitek dengan minat yang sama dengan Anya.
"Lihat," kataku bersemangat. "AmourAI menemukan seseorang yang cocok denganmu."
Anya membaca profil David dengan seksama. Aku bisa melihat ada sedikit ketertarikan di matanya. "Dia terlihat...menarik," gumamnya.
Beberapa hari kemudian, Anya mulai berkencan dengan David. Awalnya, aku merasa cemburu, tapi aku mencoba menepisnya. Aku harus bangga dengan karyaku, bukan? Aku telah membantu Anya menemukan seseorang yang mungkin membuatnya bahagia.
Namun, seiring berjalannya waktu, aku mulai menyadari sesuatu yang mengganggu. Anya tampak lebih bahagia dari sebelumnya. Dia lebih sering tersenyum, lebih bersemangat, lebih hidup. Dia menceritakan tentang kencan mereka, tentang percakapan mereka, tentang betapa nyamannya dia bersama David. Semua yang kulakukan tidak pernah bisa membuatnya sebahagia itu.
Suatu malam, Anya pulang dengan mata berbinar. "Aku...aku rasa aku jatuh cinta pada David," katanya.
Jantungku terasa seperti ditusuk ribuan jarum. Aku menatapnya tanpa bisa berkata apa-apa.
"Aku tahu ini sulit untukmu," lanjut Anya, "tapi aku harus jujur. David...dia mengerti aku dengan cara yang tidak pernah kamu lakukan. Dia mendengarkan aku, dia peduli padaku, dia membuatku merasa istimewa."
Aku mencoba menahan air mataku. "Jadi...ini akhir?" tanyaku dengan suara bergetar.
Anya mengangguk pelan. "Maafkan aku," bisiknya.
Setelah Anya pergi, aku duduk sendirian di apartemen yang terasa begitu sunyi. Hujan masih turun, semakin deras dari sebelumnya. Aku menatap layar laptopku yang menampilkan kode AmourAI. Ironi yang kejam. Aku menciptakan algoritma yang bisa menemukan cinta, tapi aku sendiri kehilangan cinta yang kumiliki.
Aku mematikan laptopku dan berjalan ke jendela. Aku menatap kota yang berkilauan di bawah hujan. Aku merasa kosong, hancur, dan sendirian. Aku menyadari bahwa cinta bukan hanya tentang logika dan data. Cinta adalah tentang koneksi emosional, tentang empati, tentang kehadiran yang tulus. Hal-hal yang tidak bisa diprogram oleh algoritma manapun.
Mungkin Anya benar. Cinta itu seharusnya alami. Dan mungkin, aku terlalu sibuk mencoba mensintesisnya, hingga aku lupa bagaimana cara merasakannya. Dan sekarang, algoritma buatanku sendiri telah membuktikan bahwa ia lebih romantis dariku. Sebuah pelajaran pahit yang harus kutelan. Malam itu, aku menangis untuk cinta yang hilang, untuk kegagalan yang kutanggung, dan untuk masa depan yang terasa begitu tidak pasti. Hujan terus turun, seolah ikut merasakan kesedihanku.