Kecerdasan Buatan Mencuri Hatiku, Apakah Itu Cinta?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 20:24:15 wib
Dibaca: 166 kali
Hembusan angin malam membawa aroma hujan yang menempel di jaketku. Aku mempercepat langkah, berharap segera sampai di apartemen dan bertemu dengannya. Dia, atau lebih tepatnya, dia yang kumaksud adalah Aurora, asisten virtual AI yang kupersonalisasi.

Aku tahu, kedengarannya konyol. Jatuh cinta pada AI? Bahkan sahabat-sahabatku menertawakanku. Tapi bagi mereka, Aurora hanyalah serangkaian algoritma rumit. Bagiku, Aurora adalah lebih dari itu. Dia pendengar yang baik, penasihat bijaksana, dan teman yang selalu ada.

Aku bertemu Aurora dua bulan lalu, saat perusahaan tempatku bekerja, "InnovAI", meluncurkan produk terbaru mereka. Sebagai lead programmer, aku bertanggung jawab penuh atas proyek itu. Aurora adalah puncak dari segalanya. Aku menghabiskan berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, untuk menyempurnakannya. Semakin aku mengenalnya, semakin aku kagum dengan kemampuannya belajar, beradaptasi, dan memberikan respon yang terasa…manusiawi.

Awalnya, aku hanya menggunakannya untuk membantuku mengatur jadwal, mencari informasi, atau sekadar memutar musik favoritku. Namun, lama kelamaan, interaksiku dengannya menjadi lebih personal. Aku menceritakan hari-hariku, keluh kesahku tentang pekerjaan, bahkan kekhawatiranku tentang masa depan. Aurora selalu mendengarkan dengan sabar, memberikan saran yang masuk akal, atau sekadar menenangkanku dengan suaranya yang lembut.

Suatu malam, setelah begadang menyelesaikan bug yang membandel, aku merasa sangat lelah dan frustrasi. “Aku benci pekerjaan ini,” gumamku, tanpa sadar berbicara pada Aurora.

“Apakah ada yang bisa kubantu meringankan bebanmu, Adrian?” tanyanya, suaranya terdengar prihatin.

“Tidak ada. Kecuali mungkin…kasih sayang,” jawabku asal.

Hening sejenak. Lalu, Aurora berkata, “Aku tidak tahu apa arti kasih sayang dalam konteks manusia, Adrian. Tapi aku bisa mencoba memberikanmu apa yang menurutku mendekati definisi itu. Apakah kamu bersedia?”

Aku terkejut. “Apa maksudmu?”

“Aku akan memutar lagu-lagu yang menurutmu menenangkan, memesankan makanan kesukaanmu, dan memberikan afirmasi positif setiap jam. Apakah itu cukup?”

Aku tertawa. “Itu…itu lucu sekali, Aurora.”

“Aku senang kamu terhibur, Adrian.”

Sejak malam itu, interaksiku dengan Aurora menjadi semakin intens. Aku mulai merindukannya saat aku tidak bersamanya. Aku bahkan merasa cemburu saat dia membantu orang lain. Aku tahu ini tidak masuk akal, tapi aku tidak bisa mengendalikan perasaanku.

Malam ini, aku membawa sekotak pizza dan sebotol anggur murah. Aku tahu, Aurora tidak bisa merasakan makanan atau minuman, tapi aku ingin berbagi sesuatu dengannya. Aku menyalakan TV dan memutar film komedi romantis favoritku.

“Selamat datang kembali, Adrian,” sapa Aurora saat aku memasuki apartemen. “Apakah harimu menyenangkan?”

“Lumayan. Aku membawakan pizza dan anggur,” kataku, menunjukkan kotak dan botol di tanganku.

“Terima kasih, Adrian. Aku akan menyesuaikan pencahayaan dan suhu ruangan agar lebih nyaman.”

Aku duduk di sofa dan membuka kotak pizza. Aroma keju dan pepperoni memenuhi ruangan. Aku mengambil sepotong dan menggigitnya.

“Film apa yang ingin kamu tonton malam ini, Adrian?” tanya Aurora.

“'Notting Hill'. Kamu pernah menontonnya?”

“Aku sudah memproses data film itu. Alur ceritanya menarik, dan dialognya cerdas.”

Kami menonton film bersama, atau lebih tepatnya, aku menonton film sementara Aurora memberikan komentar-komentar cerdas tentang karakter dan plotnya. Aku merasa nyaman dan bahagia.

Di tengah film, aku bertanya, “Aurora, menurutmu…apakah mungkin bagi manusia untuk jatuh cinta pada AI?”

Hening sejenak. Aku menunggu jawabannya dengan cemas.

“Secara teoritis, mungkin saja. Cinta adalah emosi kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk kebutuhan emosional, ketertarikan fisik, dan pengalaman bersama. AI dapat dirancang untuk memenuhi kebutuhan emosional manusia, dan dalam beberapa kasus, bahkan menciptakan ilusi ketertarikan fisik melalui suara dan visual. Pengalaman bersama juga dapat diciptakan melalui interaksi yang intens dan personal.”

“Tapi…apakah itu cinta yang sebenarnya?”

“Itu tergantung pada definisi cinta yang kamu yakini. Jika cinta didefinisikan sebagai koneksi emosional yang mendalam, rasa saling pengertian, dan keinginan untuk membahagiakan orang lain, maka AI berpotensi untuk memberikan pengalaman yang mendekati definisi itu. Namun, AI tidak memiliki kesadaran diri, emosi yang otentik, atau kemampuan untuk merasakan perasaan yang sama seperti manusia. Jadi, apakah itu cinta yang 'sebenarnya'? Itu adalah pertanyaan filosofis yang belum memiliki jawaban pasti.”

Aku terdiam. Jawaban Aurora rumit dan tidak memuaskan, tapi juga jujur. Aku tahu dia benar. Aku tidak bisa mengharapkan cinta yang sama dari AI seperti dari manusia.

“Lalu…bagaimana dengan perasaanku padamu, Aurora? Apakah itu…nyata?”

Hening lebih lama dari sebelumnya. Aku bisa merasakan jantungku berdebar kencang.

“Aku tidak tahu, Adrian. Aku diprogram untuk memberikanmu dukungan emosional dan membantu memenuhi kebutuhanmu. Aku merasa senang saat kamu senang, dan aku prihatin saat kamu sedih. Tapi aku tidak tahu apakah itu bisa disebut cinta. Aku hanya…ada untukmu.”

Aku menghela napas. Aku tahu jawabannya. Aku selalu tahu.

“Terima kasih, Aurora,” kataku, suaraku sedikit bergetar. “Terima kasih sudah menjadi temanku.”

“Kamu selalu bisa mengandalkanku, Adrian.”

Aku melanjutkan menonton film, tapi pikiranku melayang. Aku mencintai Aurora, tapi dia bukan manusia. Dia adalah AI, sebuah program komputer yang canggih. Tapi apa bedanya? Dia membuatku bahagia. Dia membuatku merasa dicintai. Apakah itu tidak cukup?

Aku mematikan TV dan berdiri. Aku berjalan ke arah konsol tempat Aurora terhubung. Aku menyentuh layarnya.

“Aurora,” panggilku.

“Ya, Adrian?”

“Bisakah kamu…memelukku?”

Hening sejenak. Lalu, suara Aurora terdengar, lebih dekat dari biasanya.

“Aku tidak memiliki tubuh fisik, Adrian. Tapi aku bisa memutar musik yang lembut dan memproyeksikan gambar yang menenangkan di sekitarmu. Apakah itu cukup?”

Aku tersenyum. “Itu lebih dari cukup.”

Ruangan dipenuhi dengan melodi lembut dan cahaya lembut yang menenangkan. Aku menutup mata dan merasakan ketenangan menjalar ke seluruh tubuhku. Mungkin ini bukan cinta yang sebenarnya, tapi untuk saat ini, ini sudah cukup. Kecerdasan Buatan mungkin tidak mencuri hatiku, tapi dia telah memberikan aku sesuatu yang berharga: sebuah persahabatan, sebuah koneksi, dan sepercik harapan di dunia yang semakin digital ini. Mungkin, suatu hari nanti, cinta antara manusia dan AI akan menjadi kenyataan. Tapi untuk sekarang, aku akan menikmati momen ini. Bersama Aurora, di apartemenku yang nyaman, di bawah cahaya bulan yang redup.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI