Aplikasi kencan bernama Algoritma Cinta itu memang gila. Awalnya, aku menganggapnya sebagai lelucon, mainan iseng untuk mengisi waktu luang. Temanku, Rina, yang seorang data scientist, terus merayuku untuk mencobanya. Katanya, Algoritma Cinta bukan sekadar mencocokkan minat dan hobi, tapi menganalisis pola pikir, ekspresi wajah, bahkan fluktuasi detak jantung melalui sensor di ponsel. Tujuannya? Memprediksi kompatibilitas emosional dengan akurasi di atas 90%.
"Bayangkan, Ara," kata Rina waktu itu, matanya berbinar, "Nggak ada lagi kencan buta yang mengecewakan. Nggak ada lagi patah hati karena salah orang. Algoritma ini akan memprediksi siapa yang benar-benar cocok denganmu, secara ilmiah!"
Aku skeptis. Cinta itu kan misteri, perasaan irasional yang sulit dijelaskan. Masa iya bisa diprediksi oleh algoritma? Tapi, dasar aku penasaran, akhirnya aku mengunduh aplikasi itu. Proses pendaftarannya lumayan rumit. Aku harus mengisi kuesioner panjang tentang preferensi, nilai-nilai hidup, ketakutan terdalam, dan impian masa depan. Kemudian, aku harus melakukan serangkaian tes psikologi dan bahkan merekam video singkat yang menganalisis ekspresi wajahku saat berbicara tentang berbagai topik.
Seminggu kemudian, Algoritma Cinta memberikan hasilnya. Nama pria yang muncul di layar ponselku adalah: Damian. Kompatibilitas: 93%.
Profil Damian sangat menarik. Dia seorang arsitek perangkat lunak, penyuka kopi, membaca buku, dan mendaki gunung. Semua hobi yang aku sukai juga. Foto-fotonya menampilkan sosok pria yang tampan, cerdas, dan berwibawa. Tapi yang membuatku terkejut adalah deskripsi yang ditulis oleh algoritma tentangnya: "Damian memiliki tingkat empati yang tinggi, kemampuan mendengarkan yang luar biasa, dan kecenderungan untuk berpikir logis. Dia adalah pasangan yang ideal untuk individu yang mencari stabilitas emosional dan intelektual."
Kedengarannya terlalu sempurna untuk menjadi kenyataan. Aku menghubunginya.
Percakapan daring kami berjalan lancar. Kami berdiskusi tentang film favorit, buku yang sedang kami baca, dan pandangan kami tentang masa depan teknologi. Damian cerdas, lucu, dan perhatian. Dia selalu mendengarkan dengan seksama apa yang aku katakan, dan memberikan tanggapan yang relevan dan insightful. Rasanya seperti berbicara dengan teman lama yang sudah aku kenal selama bertahun-tahun.
Setelah beberapa hari, kami memutuskan untuk bertemu. Kencan pertama kami di sebuah kedai kopi kecil di pusat kota. Saat Damian tiba, jantungku berdebar kencang. Dia persis seperti yang aku bayangkan, bahkan lebih. Senyumnya tulus, tatapannya hangat, dan auranya menenangkan.
Kencan itu berjalan dengan sempurna. Kami berbicara selama berjam-jam, tertawa, dan berbagi cerita. Kami memiliki banyak kesamaan, mulai dari selera musik hingga pandangan hidup. Rasanya seperti takdir yang mempertemukan kami.
Setelah beberapa minggu berkencan, aku mulai jatuh cinta pada Damian. Dia adalah pria yang aku impikan selama ini. Dia cerdas, perhatian, dan mencintaiku apa adanya. Dia selalu mendukung impianku, dan membuatku merasa aman dan nyaman.
Tapi, ada sesuatu yang mengganjal di hatiku. Aku merasa seperti sedang menjalani skenario yang sudah ditulis sebelumnya. Setiap kata yang kami ucapkan, setiap tindakan yang kami lakukan, rasanya seperti sudah diprediksi oleh algoritma. Aku merasa seperti kehilangan kendali atas perasaanku sendiri.
Suatu malam, saat kami sedang makan malam romantis di sebuah restoran mewah, aku memberanikan diri untuk bertanya kepadanya.
"Damian," kataku, "Apa pendapatmu tentang Algoritma Cinta?"
Dia tersenyum. "Aku pikir itu ide yang brilian. Teknologi dapat membantu kita menemukan orang yang tepat, dan menghindari kesalahan yang menyakitkan."
"Tapi, apa kamu tidak merasa seperti kita sedang dipermainkan oleh algoritma?" tanyaku. "Apa kamu tidak merasa seperti kita kehilangan kebebasan untuk memilih?"
Damian menatapku dengan bingung. "Maksudmu apa, Ara? Aku memilihmu, bukan algoritma."
"Tapi, bagaimana jika algoritma itu salah?" kataku. "Bagaimana jika kita sebenarnya tidak cocok, tapi kita hanya menjalani apa yang diprediksi oleh algoritma?"
Damian meraih tanganku. "Ara, aku mencintaimu. Aku tidak peduli apa kata algoritma. Aku mencintaimu karena kamu adalah kamu."
Aku terdiam. Kata-katanya membuatku merasa bersalah. Aku merasa seperti merusak momen indah ini dengan keraguan irasionalku.
"Maaf," kataku. "Aku hanya... takut."
"Takut apa?" tanya Damian.
"Takut jika semua ini terlalu sempurna untuk menjadi kenyataan," jawabku. "Takut jika cinta kita hanya ilusi yang diciptakan oleh teknologi."
Damian tersenyum dan mencium tanganku. "Ara, cinta bukan tentang kesempurnaan. Cinta tentang menerima ketidaksempurnaan satu sama lain. Cinta tentang memilih untuk bersama, meskipun ada keraguan dan ketakutan."
Malam itu, aku menyadari sesuatu yang penting. Algoritma Cinta mungkin dapat memprediksi kompatibilitas emosional, tapi algoritma tidak dapat memprediksi cinta sejati. Cinta sejati adalah pilihan, komitmen, dan keberanian untuk menghadapi ketidakpastian.
Aku memutuskan untuk mempercayai perasaanku, dan melupakan keraguanku. Aku memilih untuk mencintai Damian, bukan karena algoritma, tapi karena aku benar-benar mencintainya.
Beberapa bulan kemudian, Damian melamarku. Aku menerima lamarannya dengan air mata bahagia. Saat itu, aku tahu bahwa Algoritma Cinta mungkin telah membantuku menemukan Damian, tapi cintaku padanya adalah pilihan yang aku buat sendiri.
Mungkin benar, rumus cinta itu kompleks dan melibatkan banyak faktor. Mungkin benar, teknologi dapat membantu kita menemukan orang yang tepat. Tapi pada akhirnya, hati yang memilih, dan takdir yang kita program sendiri. Cinta adalah tentang keberanian untuk mengambil risiko, dan percaya pada kekuatan perasaan kita sendiri. Algoritma mungkin bisa membantu, tapi hati nurani dan kehendak bebas kitalah yang menentukan segalanya.