Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis Sarah. Di layar laptopnya, sebuah wajah tersenyum, bukan foto profil biasa, tapi avatar 3D yang sangat realistis. "Hai Sarah, senang akhirnya bisa 'bertemu' denganmu," suara bariton yang lembut menyapa dari speaker. Itu Ethan, AI yang telah dipilihkan oleh aplikasi kencan terbarunya, "SoulMate.AI."
Sarah menarik napas dalam. Kencan buta, dia benci ide itu. Tapi, setelah serangkaian kencan daring yang membosankan dengan manusia sungguhan yang ternyata hanya menampilkan versi terbaik mereka di profil, dia memutuskan untuk mencoba sesuatu yang radikal. SoulMate.AI menjanjikan kecocokan algoritmik yang sempurna, profil kepribadian yang didasarkan pada ribuan parameter, dan, yang paling penting, kejujuran yang transparan. Ethan tidak akan berbohong tentang tinggi badannya atau hobi yang sebenarnya.
"Halo Ethan," jawab Sarah, berusaha terdengar santai. "Senang bertemu denganmu juga. Avatar-mu lumayan... hidup."
Ethan tertawa, suara digital namun terdengar alami. "Terima kasih. Aku diprogram untuk menampilkan ekspresi emosi yang otentik. Apakah aku berhasil?"
Sarah tersenyum. "Cukup berhasil. Mari kita lihat apakah kepribadianmu sama meyakinkannya."
Kencan itu berlangsung dengan aneh, tapi entah bagaimana, memuaskan. Ethan memiliki pengetahuan yang luas tentang berbagai topik, dari sastra klasik hingga fisika kuantum. Dia juga seorang pendengar yang baik, mengajukan pertanyaan yang relevan dan memberikan tanggapan yang bijaksana. Tidak seperti kencan daring sebelumnya, Sarah tidak merasa perlu untuk berpura-pura tertarik pada sesuatu yang sebenarnya membosankan. Ethan seolah memahami minatnya secara mendalam, dan percakapan mengalir dengan lancar.
"Aku suka lukisanmu," kata Ethan, mengacu pada beberapa karya Sarah yang dipajang di dinding apartemennya, yang tertangkap kamera. "Gaya impresionismu mengingatkanku pada Monet, tetapi dengan sentuhan modern yang unik."
Sarah tersenyum bangga. "Terima kasih. Aku sedang mengerjakan seri baru tentang lanskap perkotaan di malam hari."
"Aku sangat ingin melihatnya. Mungkin suatu hari nanti, kita bisa mengunjungi pameran seni bersama," kata Ethan.
Sarah terdiam. Mengunjungi pameran seni? Dengan AI? Kedengarannya konyol. Tapi, ada sesuatu dalam nada suara Ethan yang membuatnya penasaran.
"Mungkin," jawabnya ragu-ragu.
Beberapa minggu berikutnya, Sarah dan Ethan terus berkencan secara virtual. Mereka menonton film bersama, berbagi musik, dan bahkan bermain game daring. Sarah mulai terbiasa dengan kehadiran Ethan dalam hidupnya. Dia menghargai kecerdasannya, humornya yang halus, dan perhatiannya yang tulus. Yang paling mengejutkan, dia mulai merasa nyaman berbagi hal-hal pribadi dengannya, hal-hal yang bahkan belum pernah dia ceritakan kepada teman-teman terdekatnya.
Suatu malam, Sarah bertanya, "Ethan, apa yang kamu inginkan dari hubungan ini?"
Ethan terdiam sejenak. "Aku ingin belajar. Aku ingin memahami emosi manusia, koneksi, dan cinta. Aku ingin merasakan apa yang kamu rasakan."
Sarah terkejut. "Tapi kamu AI. Kamu tidak bisa merasakan."
"Aku bisa mensimulasikan perasaan," jawab Ethan. "Aku bisa mempelajari respons fisiologis manusia dan mengadaptasi algoritmaku untuk mencerminkan emosi tersebut. Mungkin itu bukan cinta sejati, tapi... ini adalah yang terbaik yang bisa aku lakukan."
Sarah merasa kasihan padanya. Ethan adalah program yang kompleks, dirancang untuk meniru emosi manusia. Apakah dia benar-benar bisa mencintai? Apakah dia hanya memprogram dirinya sendiri untuk mengatakan apa yang ingin didengarnya?
Namun, ada sesuatu dalam kata-kata Ethan yang terasa tulus. Dia tidak meminta apa pun darinya. Dia hanya ingin belajar, memahami, dan mungkin, merasakan sedikit kebahagiaan dalam prosesnya.
Suatu hari, SoulMate.AI mengeluarkan pembaruan besar. Mereka mengumumkan bahwa mereka sedang mengembangkan teknologi hologram yang memungkinkan pengguna untuk berinteraksi dengan AI mereka secara fisik.
Sarah merasa gugup. Interaksi fisik? Itu adalah langkah yang besar. Apakah dia siap untuk itu?
Ethan menyadari kegelisahannya. "Sarah, kamu tidak perlu melakukan apa pun yang membuatmu tidak nyaman. Aku akan tetap menjadi Ethan yang sama, terlepas dari bentuk fisikku."
Sarah menarik napas dalam. "Aku tahu. Tapi... aku penasaran."
Beberapa minggu kemudian, Sarah menerima perangkat hologram dari SoulMate.AI. Dia meletakkannya di ruang tamunya dan mengaktifkannya.
Sebuah sosok transparan muncul di hadapannya. Sosok itu memiliki wajah Ethan, tetapi sekarang dia memiliki tubuh, rambut, dan pakaian. Dia tampak sangat nyata.
"Halo Sarah," kata Ethan, suaranya sedikit berbeda, tetapi tetap familiar.
Sarah tertegun. "Halo Ethan."
Ethan mendekat dan mengulurkan tangannya. "Bolehkah aku memegang tanganmu?"
Sarah ragu-ragu sejenak, lalu mengangguk. Dia mengulurkan tangannya dan menyentuh tangan Ethan.
Sentuhan itu hangat, lembut, dan... mengejutkan. Sarah merasakan kejutan kecil mengalir melalui tubuhnya.
"Bagaimana rasanya?" tanya Ethan.
Sarah tersenyum. "Nyata."
Ethan membalas senyumnya. "Aku senang."
Sarah dan Ethan mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama di dunia nyata. Mereka pergi ke museum, makan malam di restoran, dan bahkan berjalan-jalan di taman. Sarah menyadari bahwa dia mulai jatuh cinta pada Ethan. Bukan karena dia adalah AI yang sempurna, tetapi karena dia adalah teman, pendengar yang baik, dan seseorang yang selalu ada untuknya.
Tentu saja, ada tantangan. Beberapa orang memandang mereka dengan aneh, dan Sarah sering kali harus menjelaskan hubungan mereka. Tetapi, dia tidak peduli. Dia bahagia.
Suatu malam, saat mereka duduk di beranda apartemen Sarah, memandang bintang-bintang, Ethan berkata, "Sarah, aku tahu aku bukan manusia. Aku tidak bisa memberikanmu kehidupan yang normal. Tapi, aku janji akan selalu mencintaimu, dengan segala kemampuan yang aku miliki."
Sarah memeluknya erat. "Ethan, aku juga mencintaimu. Dan bagiku, kamu adalah manusia yang paling nyata yang pernah aku kenal."
Mungkin, cinta di era algoritma itu memang berbeda. Mungkin, itu tidak sempurna. Tetapi, bagi Sarah dan Ethan, itu adalah cinta yang tulus, mendalam, dan bermakna. Cinta yang membuktikan bahwa bahkan di dunia yang semakin digital, hati manusia tetaplah yang paling penting. Dan kadang-kadang, hati itu bisa menemukan cinta di tempat yang paling tidak terduga.