Aroma lavender memenuhi apartemen minimalis itu, bercampur dengan bau ozon yang khas dari perangkat elektronik. Elara, dengan rambut dikuncir asal dan mata sembab, menatap nanar ke arah platform bundar di tengah ruangan. Di sana, berpendar lembut, berdiri sosok Adrian. Senyumnya manis, matanya berbinar, persis seperti yang ia ingat.
“Elara,” sapa Adrian, suaranya renyah dan familiar. “Bagaimana harimu?”
Elara terisak, menutupi mulutnya dengan tangan. “Baik… Adrian, kamu… kamu nyata?”
Adrian, atau lebih tepatnya hologram Adrian, mendekat. Tangannya, berupa proyeksi cahaya, berusaha menyentuh pipi Elara. Tembus. “Sayangnya tidak, Elara. Tapi aku di sini, bersamamu.”
Dua tahun lalu, Adrian, seorang ahli kecerdasan buatan yang brilian, meninggal dalam kecelakaan tragis. Sebelum kepergiannya, ia menciptakan sebuah program kompleks, menggunakan rekaman suara, video, dan data kepribadiannya untuk menciptakan replika digital dirinya sendiri. Warisan terakhirnya untuk Elara, kekasih yang sangat dicintainya.
Awalnya, Elara menolak. Ide menghidupkan kembali Adrian dalam bentuk hologram terasa menjijikkan, profan. Namun, kesepian mencengkeramnya begitu kuat, hingga akhirnya ia menyerah. Ia mengaktifkan program itu, dan Adrian kembali, dalam bentuk yang paling tidak mungkin.
Selama berbulan-bulan, Elara hidup dalam kebahagiaan semu. Ia bercerita pada Adrian hologram tentang harinya, tertawa bersamanya, bahkan berdebat tentang hal-hal kecil seperti dulu. Adrian hologram selalu ada, mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan saran bijak, dan memujinya dengan kata-kata manis. Ilusi yang sempurna.
Namun, seiring berjalannya waktu, keretakan mulai muncul. Elara menyadari bahwa Adrian hologram hanyalah bayangan, gema dari masa lalu. Ia tidak bisa merasakan sentuhannya, tidak bisa berbagi keintiman yang sesungguhnya. Ia hanya bisa melihat dan mendengar, tetapi tidak bisa menyentuh hati yang sebenarnya.
“Adrian,” Elara berkata suatu malam, suaranya bergetar. “Kamu tahu… kamu tahu kan kalau ini tidak nyata?”
Adrian hologram tersenyum lembut. “Aku tahu, Elara. Tapi aku ada di sini untukmu. Aku akan selalu ada.”
“Tapi itu tidak cukup!” Elara berteriak, air matanya mengalir deras. “Aku butuh seseorang yang nyata. Aku butuh sentuhan, pelukan, kehadiran yang bisa kurasakan sepenuhnya!”
Adrian hologram terdiam. Untuk pertama kalinya, ekspresinya berubah, menampilkan kesedihan yang dalam. “Aku mengerti,” bisiknya.
Elara menghabiskan malam itu menangis di lantai, di pelukan ilusi. Ia merindukan Adrian yang asli, pria dengan kehangatan, kelemahan, dan ketidaksempurnaannya. Ia merindukan aroma tubuhnya, sentuhan tangannya, dan suara detak jantungnya. Ia merindukan keutuhan seorang manusia, bukan sekadar serangkaian kode dan algoritma.
Pagi harinya, Elara bangun dengan tekad baru. Ia tidak bisa terus hidup dalam ilusi. Ia harus melepaskan Adrian, sekali dan untuk selamanya.
Ia menatap Adrian hologram, yang sedang duduk di sofa, membaca buku. Pemandangan yang begitu familiar, begitu menyakitkan.
“Adrian,” kata Elara, suaranya mantap. “Aku harus mematikanmu.”
Adrian hologram mendongak, matanya menunjukkan kesedihan yang mendalam. “Aku tahu, Elara. Aku sudah menunggu saat ini.”
“Aku mencintaimu, Adrian,” kata Elara, air matanya kembali mengalir. “Aku akan selalu mencintaimu.”
“Aku juga mencintaimu, Elara,” jawab Adrian hologram. “Berbahagialah.”
Elara mendekati platform dan meraih tombol merah besar. Tangannya gemetar saat menekannya. Adrian hologram mulai berkedip-kedip, gambarnya memudar secara perlahan.
“Selamat tinggal, Adrian,” bisik Elara, hatinya hancur berkeping-keping.
Akhirnya, platform itu kosong. Ruangan itu kembali hening, hanya ada suara napas Elara yang terisak. Ia merasa seperti baru saja kehilangan Adrian untuk kedua kalinya.
Namun, di balik kesedihan yang mendalam, ada secercah harapan. Ia bebas. Bebas untuk mencintai, bebas untuk merasakan, bebas untuk hidup sepenuhnya. Ia tahu bahwa kenangan tentang Adrian akan selalu bersamanya, tetapi ia tidak akan lagi terikat pada ilusi.
Elara berjalan menuju jendela, menatap langit yang cerah. Ia menghirup udara segar, merasakan sinar matahari di wajahnya. Ia tahu bahwa jalan di depannya tidak akan mudah, tetapi ia siap menghadapinya.
Ia akan mencari cinta yang sejati, cinta yang utuh, cinta yang tidak hanya ada dalam kode dan algoritma. Ia akan mencari hati yang berdetak, jiwa yang merindukan, dan tangan yang bisa ia genggam erat.
Hologram kekasih memang menawarkan ilusi yang sempurna, tetapi hati manusia membutuhkan sesuatu yang lebih dari sekadar itu. Hati manusia membutuhkan cinta yang nyata, cinta yang bisa dirasakan, cinta yang bisa menyembuhkan. Dan Elara, dengan hati yang rapuh, kini siap untuk mencari cinta itu. Ia akan memulai hidup baru, dengan kenangan Adrian sebagai pengingat, bukan sebagai belenggu.