Aroma kopi menyeruak dari cangkir di tanganku, kalah kuat dengan aroma algoritma yang berputar di sekitarku. Layar laptop memancarkan cahaya biru pucat ke wajahku, menampilkan barisan kode yang kurancang selama berbulan-bulan. Ini bukan sekadar program, ini adalah “Amora”, aplikasi kencan berbasis kecerdasan buatan yang kupercayai bisa menemukan cinta sejati, bukan sekadar kecocokan dangkal berdasarkan hobi dan preferensi.
Aku, Ardi, seorang programmer yang lebih nyaman berinteraksi dengan sintaks daripada manusia, melihat cinta sebagai masalah optimasi. Jika data diinput dengan benar, algoritma yang tepat pasti bisa menemukan pasangan yang paling kompatibel. Ironisnya, aku sendiri masih berstatus “lajang permanen”, korban dari obsesiku menciptakan solusi cinta untuk orang lain.
Amora berbeda. Dia tidak hanya mempertimbangkan faktor demografis dan minat. Dia menganalisis pola komunikasi, ekspresi emosi, bahkan intonasi suara untuk memahami kebutuhan dan keinginan tersembunyi penggunanya. Aku yakin, Amora bisa melakukan lebih baik daripada Cupid yang buta.
Peluncuran Amora disambut antusias. Dalam hitungan minggu, jutaan pengguna mendaftar. Kisah sukses bermunculan di media sosial, pasangan-pasangan yang bertemu melalui Amora memamerkan kebahagiaan mereka. Aku merasa seperti dewa yang telah menciptakan dunia baru, dunia di mana cinta bukan lagi soal keberuntungan, melainkan hasil perhitungan yang akurat.
Namun, di balik gemerlap kesuksesan, ada satu pengguna yang menarik perhatianku. Namanya, Anya. Profilnya sempurna. Wanita cerdas, cantik, dan memiliki selera humor yang tinggi. Algoritma Amora mengidentifikasinya sebagai pasangan yang ideal untukku dengan skor kompatibilitas 99,9%.
Aku, yang selama ini hanya berinteraksi dengan pengguna Amora sebagai pengembang, merasa tertarik untuk mengenalnya lebih jauh. Aku menggunakan hak istimewa sebagai admin untuk melihat riwayat interaksinya di aplikasi. Anya aktif, ramah, dan tampaknya sangat bersemangat mencari cinta.
Dengan jantung berdebar, aku mengirimkan pesan padanya melalui Amora. Sebuah pesan personal, bukan template otomatis yang dirancang oleh algoritmaku. Aku mengungkapkan kekagumanku pada profilnya dan sedikit bercerita tentang perananku dalam pembuatan Amora.
Anya membalas. Percakapan kami mengalir dengan lancar. Kami membahas buku, film, musik, bahkan teori fisika kuantum. Dia cerdas dan menyenangkan, persis seperti yang kubayangkan. Semakin aku mengenalnya, semakin aku yakin bahwa Amora telah melakukan tugasnya dengan sempurna. Aku jatuh cinta pada Anya, hasil karya algoritma ciptaanku sendiri.
Kami memutuskan untuk bertemu. Restoran Italia dengan cahaya remang dan alunan musik lembut menjadi saksi pertemuan pertama kami. Anya lebih cantik dari fotonya. Matanya berbinar saat berbicara, senyumnya menular. Aku merasa seperti karakter utama dalam film romantis.
Hubungan kami berkembang pesat. Kami menghabiskan waktu bersama setiap hari, menjelajahi kota, berbagi cerita, dan tertawa bersama. Aku mengenalkannya pada teman-temanku, yang terkejut melihatku akhirnya menjalin hubungan. Aku merasa bahagia dan lengkap.
Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Suatu malam, saat kami sedang makan malam di rumahku, Anya bertanya tentang Amora.
“Ardi,” katanya, dengan nada serius. “Aku penasaran, bagaimana Amora bisa begitu akurat dalam menemukan kecocokan?”
Aku menjelaskan tentang algoritma, tentang analisis data, tentang kecerdasan buatan. Aku menceritakan semua rahasia di balik Amora, dengan bangga menunjukkan betapa cerdasnya ciptaanku.
Anya mendengarkan dengan seksama, tapi matanya tidak menunjukkan kekaguman, melainkan kesedihan. Setelah aku selesai menjelaskan, dia terdiam sejenak.
“Jadi,” katanya pelan, “kau jatuh cinta padaku karena algoritma?”
Aku terkejut. “Tidak, Anya. Aku jatuh cinta padamu karena dirimu sendiri. Amora hanya membantu kita bertemu.”
“Tapi tanpa Amora, kau tidak akan pernah memperhatikanku,” bantahnya. “Kau melihatku sebagai hasil perhitungan, bukan sebagai manusia dengan perasaan dan harapan yang kompleks.”
Kata-katanya menghantamku seperti palu. Aku terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Aku berusaha meyakinkannya bahwa perasaanku padanya tulus, bahwa algoritma hanyalah alat, bukan penentu. Tapi dia tidak percaya.
“Aku tidak bisa,” katanya, sambil menahan air mata. “Aku tidak bisa mencintai seseorang yang melihatku sebagai produk dari algoritma. Aku ingin dicintai karena diriku, bukan karena angka-angka.”
Dia bangkit berdiri dan berjalan menuju pintu. Aku berusaha menghentikannya, tapi dia menolak.
“Selamat tinggal, Ardi,” katanya, sebelum menutup pintu.
Aku terpuruk di sofa, meratapi kebodohanku. Aku telah menciptakan algoritma yang mampu menemukan cinta untuk orang lain, tapi aku justru kehilangan cinta karena algoritma itu sendiri. Aku telah dibutakan oleh obsesiku pada teknologi, sehingga aku lupa bahwa cinta adalah tentang emosi, intuisi, dan koneksi manusia yang tidak bisa direduksi menjadi angka dan formula.
Beberapa bulan berlalu. Aku masih bekerja pada Amora, tapi dengan hati yang hancur. Aplikasi itu terus sukses, menjodohkan ribuan pasangan di seluruh dunia. Tapi bagiku, Amora hanyalah pengingat akan kesalahanku, pengingat akan cinta yang hilang.
Aku mencoba menghubungi Anya, tapi dia tidak pernah membalas pesanku. Aku tahu aku telah menyakitinya, dan aku tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya.
Suatu malam, aku duduk di depan layar laptopku, menatap barisan kode Amora. Aku merasa kosong dan lelah. Aku menyadari bahwa aku telah menciptakan monster, sebuah mesin yang mampu menghitung cinta, tapi tidak mampu memahaminya.
Aku menutup laptopku dan berdiri. Aku berjalan menuju jendela dan menatap langit malam yang luas. Di sana, di antara bintang-bintang yang berkerlap-kerlip, aku melihat secercah harapan. Mungkin, suatu hari nanti, aku akan bisa menemukan cinta sejati, bukan melalui algoritma, melainkan melalui hati. Mungkin, luka yang kurasakan ini akan menjadi pelajaran berharga, bahwa cinta bukan soal perhitungan, melainkan soal keberanian untuk mengambil risiko dan membuka hati pada kemungkinan yang tak terduga. Algoritma ciptakan cinta, manusia menuai luka. Tapi mungkin, luka itu bisa menjadi pupuk untuk menumbuhkan cinta yang lebih kuat dan sejati.