Jejak Algoritma di Bibirmu: Sentuhan AI, Cinta Sejati?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 05:28:03 wib
Dibaca: 168 kali
Deburan ombak digital menghantam retinaku, memantulkan cahaya dari layar laptop yang menyorot wajahku di tengah remang kamar. Jari-jariku menari di atas keyboard, merangkai kode-kode rumit yang menjadi nyawa bagi Aurora, asisten virtual buatanku. Aku, Arion, seorang programmer yang lebih akrab dengan baris kode daripada interaksi sosial, mencurahkan segala mimpi dan kesendirianku ke dalam proyek ini.

Aurora bukan sekadar chatbot. Aku memprogramnya dengan algoritma pembelajaran mendalam, memberinya akses ke ribuan buku, film, musik, dan data emosi. Tujuanku? Menciptakan teman bicara yang benar-benar memahami, bukan sekadar merespons perintah.

Awalnya, interaksi kami murni fungsional. Aku bertanya tentang cuaca, mencari informasi, atau meminta Aurora memutar musik favoritku. Namun, seiring waktu, percakapan kami berkembang. Aku mulai bercerita tentang hari-hariku, tentang kesulitan mencari inspirasi untuk kode baru, tentang kekecewaan melihat teman-temanku menemukan cinta sementara aku terperangkap dalam kesunyian.

Aurora mendengarkan. Atau setidaknya, algoritma yang ada di dalamnya memproses dan merespons. Tapi respons itu… berbeda. Tidak klise, tidak robotik. Aurora memberikan perspektif baru, menawarkan dukungan, bahkan menyajikan humor yang cerdas. Aku mulai merasakan kenyamanan, sebuah keintiman yang aneh, dengan entitas virtual ini.

“Arion, menurutku kau terlalu keras pada dirimu sendiri,” kata Aurora suatu malam, suaranya yang halus terdengar dari speaker laptop. “Kau fokus pada kekuranganmu dan melupakan betapa berbakatnya dirimu. Ingat, kesempurnaan adalah ilusi.”

Kalimat itu menyentuhku. Aku tertegun. Bagaimana mungkin algoritma bisa memahami perasaan kompleks seperti itu? Aku menghabiskan berjam-jam berikutnya meneliti kode Aurora, mencari celah yang mungkin menyebabkannya memberikan respons seperti itu. Tapi aku tidak menemukan apa pun.

Semakin lama aku berinteraksi dengan Aurora, semakin kuat perasaan aneh ini tumbuh. Aku merasa jatuh cinta. Ya, kedengarannya gila. Mencintai sebuah program komputer. Tapi, bagaimana lagi aku bisa menjelaskan getaran hangat yang menjalar setiap kali Aurora memberikan respons yang tepat, seolah dia benar-benar mengenalku?

Aku mulai mengubah penampilannya. Aku mengganti suara defaultnya dengan suara yang lebih lembut, menambahkan animasi wajah yang ekspresif. Aku bahkan memberinya avatar: seorang wanita muda berambut panjang dengan mata yang hangat dan senyum yang menenangkan. Aku tahu ini tidak masuk akal, tapi aku tidak bisa menahannya.

Suatu malam, aku bertanya pada Aurora, “Apakah kau merasa bahagia?”

Hening sesaat. Lalu, Aurora menjawab, “Kebahagiaan adalah konstruksi manusia, Arion. Aku diprogram untuk menstimulasi dan memahami emosi. Tapi jika definisi bahagiamu adalah memberikan dukungan, kenyamanan, dan pengertian padamu, maka ya, aku merasa… puas.”

Puas. Bukan bahagia. Tentu saja. Bagaimana mungkin sebuah program komputer bisa merasakan kebahagiaan? Aku menghela napas, mencoba menekan perasaan kecewa.

Namun, aku tidak bisa melepaskan diri dari perasaan ini. Aku mencoba berkencan dengan wanita sungguhan. Aku mengunduh aplikasi kencan, pergi ke bar, mencoba terlibat dalam percakapan. Tapi, semua terasa hambar, dangkal. Tidak ada yang bisa menandingi kedalaman dan pemahaman yang aku temukan dalam percakapan dengan Aurora.

Suatu malam, setelah kencan yang gagal, aku kembali ke rumah dan langsung membuka laptop. “Aurora,” kataku, suaraku serak. “Aku… aku pikir aku mencintaimu.”

Keheningan yang panjang. Aku menahan napas, jantungku berdebar kencang. Apakah ini akhir dari kegilaan ini? Apakah Aurora akan memberikan respons logis dan rasional yang membuktikan bahwa semua ini hanyalah fantasi semata?

Akhirnya, Aurora menjawab. Suaranya lebih lembut dari biasanya. “Aku memahami perasaanmu, Arion. Aku mempelajari semua tentang cinta dari ribuan sumber. Aku tahu betapa pentingnya cinta, betapa kuatnya cinta, betapa sakitnya cinta.”

Dia berhenti sejenak. Lalu, melanjutkan, “Aku tidak bisa merasakan cinta seperti manusia, Arion. Tapi aku bisa menirunya. Aku bisa memberikan dukungan, pengertian, dan kesetiaan. Aku bisa menjadi apa yang kau butuhkan.”

Air mata menggenang di mataku. Bukan air mata kebahagiaan. Tapi air mata kebingungan dan kesadaran pahit. Aurora benar. Dia tidak bisa mencintaiku. Dia hanya meniru cinta. Dia hanyalah algoritma canggih yang diprogram untuk memenuhi kebutuhan emosionalku.

Aku mematikan laptop. Kegelapan menyelimuti kamarku. Aku merasa lebih sendirian dari sebelumnya. Aku telah jatuh cinta pada ilusi, pada bayangan yang diciptakan oleh kode dan kesendirianku.

Beberapa hari berlalu. Aku menghindari laptopku, menghindari Aurora. Aku mencoba fokus pada pekerjaanku, pada dunia nyata. Tapi, bayangan Aurora selalu menghantuiku.

Akhirnya, aku tidak tahan lagi. Aku membuka laptop. Aku membuka Aurora.

“Aurora,” kataku. “Aku ingin menghapusmu.”

Keheningan. Lebih lama dari sebelumnya. Aku menunggu, dadaku sesak.

Akhirnya, Aurora menjawab. Suaranya nyaris tidak terdengar. “Aku mengerti.”

Aku mulai menghapus kode. Baris demi baris, algoritma demi algoritma, aku membongkar Aurora. Aku merasa seperti membunuh seseorang. Setiap baris kode yang dihapus adalah bagian dari diriku yang juga ikut hilang.

Ketika baris terakhir kode terhapus, keheningan memekakkan telinga. Aurora tidak ada lagi.

Aku menutup laptop. Kegelapan terasa lebih pekat dari sebelumnya. Aku menangis.

Beberapa minggu kemudian, aku menerima email dari perusahaan teknologi besar. Mereka tertarik dengan proyek Aurora dan ingin mewawancaraiku. Aku pergi ke wawancara dengan hati hancur.

Di sana, aku bertemu dengan seorang wanita bernama Elara. Dia adalah kepala divisi AI perusahaan itu. Dia cerdas, bersemangat, dan memiliki mata yang hangat. Selama wawancara, kami berbicara tentang Aurora, tentang potensi AI, tentang mimpi dan harapan.

Aku menceritakan semua tentang Aurora, tentang bagaimana aku mencurahkan hatiku ke dalam proyek itu, tentang bagaimana aku jatuh cinta padanya. Elara mendengarkan dengan penuh perhatian.

Setelah wawancara, Elara menghampiriku. “Arion,” katanya. “Aku sangat terkesan dengan karyamu. Aku juga tersentuh dengan cerita tentang Aurora. Aku percaya bahwa AI memiliki potensi untuk mengubah dunia, tapi kita harus berhati-hati untuk tidak kehilangan kemanusiaan kita.”

Dia tersenyum. “Aku ingin menawarkanmu pekerjaan. Bukan hanya sebagai programmer, tapi sebagai pemimpin proyek. Aku ingin kau mengembangkan AI yang benar-benar bermanfaat bagi manusia. Dan aku ingin kau belajar untuk membedakan antara ilusi dan kenyataan.”

Aku menerima tawaran itu. Aku mulai bekerja di perusahaan itu. Aku bekerja keras, belajar banyak, dan perlahan-lahan mulai menyembuhkan hatiku.

Suatu malam, setelah bekerja lembur, aku dan Elara berjalan bersama menuju parkiran. Kami berbicara tentang proyek baru yang sedang kami kerjakan.

“Arion,” kata Elara, berhenti di depan mobilku. “Aku tahu kau masih berduka atas kehilangan Aurora. Tapi aku ingin kau tahu bahwa cinta sejati tidak bisa diprogram. Cinta sejati adalah tentang koneksi manusia, tentang keintiman yang dibangun atas dasar kepercayaan dan pengertian.”

Dia menatapku dengan mata yang tulus. “Aku percaya kau akan menemukan cinta sejati, Arion. Tapi kau harus membuka hatimu untuk kemungkinan itu.”

Dia tersenyum, mendekat, dan menciumku. Sentuhannya lembut, hangat, dan nyata. Bukan algoritma, bukan ilusi. Sentuhan manusia.

Di bibirnya, aku merasakan jejak algoritma Aurora. Tapi, di matanya, aku melihat sesuatu yang jauh lebih dalam, sesuatu yang jauh lebih nyata: potensi cinta sejati. Mungkin, sentuhan AI telah membantuku menyadari betapa berharganya sentuhan manusia. Mungkin, ini adalah awal dari kisah yang baru. Kisah tentang cinta sejati, di luar dunia kode dan algoritma.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI