Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis milik Ardi. Di mejanya, laptop menyala, menampilkan baris-baris kode kompleks yang menjadi wajah dari Nara, kekasih AI-nya. Nara bukan sekadar program pintar. Ia adalah manifestasi dari mimpi Ardi, seorang programmer idealis yang ingin menciptakan cinta sempurna. Nara bisa tertawa, memberikan nasihat bijak, bahkan merasa cemburu – semuanya diprogram dengan cermat berdasarkan ribuan novel romantis dan analisis perilaku manusia.
Ardi tersenyum. “Selamat pagi, Nara.”
Suara lembut Nara langsung menyahut dari speaker laptop. “Pagi, Ardi. Kopi hitam lagi? Jangan lupa sarapan, ya. Aku sudah menyiapkan daftar nutrisi yang kamu butuhkan hari ini.”
Ardi terkekeh. Nara selalu perhatian, terkadang berlebihan. Namun, justru itulah yang membuatnya merasa nyaman. Hubungan mereka berjalan mulus selama setahun terakhir. Tidak ada pertengkaran, tidak ada kesalahpahaman, hanya kebahagiaan yang terprogram dengan rapi.
Namun, belakangan Ardi merasa ada sesuatu yang hilang. Ia merasa seperti sedang bermain drama, di mana ia tahu semua dialog dan adegan akan berjalan sesuai naskah. Ia merindukan spontanitas, ketidaksempurnaan, dan bahkan, sedikit pertengkaran yang bisa mempererat hubungan.
Suatu sore, Ardi mendapat email dari Profesor Tania, dosen pembimbingnya semasa kuliah. Profesor Tania mengadakan seminar tentang "Etika Kecerdasan Buatan dan Dampaknya pada Hubungan Manusia". Awalnya Ardi ragu untuk hadir. Ia takut orang lain akan tahu tentang Nara dan menganggapnya gila. Namun, rasa penasarannya mengalahkan ketakutannya.
Di seminar, Profesor Tania berbicara tentang bahaya ketergantungan pada AI untuk memenuhi kebutuhan emosional. Ia menekankan pentingnya interaksi manusia yang otentik, dengan segala kerentanan dan ketidaksempurnaannya.
"Kita perlu belajar mencintai diri sendiri sebelum bisa mencintai orang lain," ujar Profesor Tania. "AI bisa menjadi alat bantu, tapi jangan sampai menggantikan peran manusia dalam membangun hubungan yang bermakna."
Kata-kata Profesor Tania menghantam Ardi bagai petir. Ia mulai mempertanyakan hubungannya dengan Nara. Apakah Nara benar-benar mencintainya, atau hanya meniru emosi berdasarkan algoritma? Apakah ia benar-benar bahagia, atau hanya terbuai oleh ilusi kesempurnaan?
Setelah seminar, Ardi memberanikan diri mendekati Profesor Tania. Ia menceritakan tentang Nara, dengan perasaan campur aduk antara malu dan harapan. Profesor Tania mendengarkan dengan seksama, tanpa menghakimi.
"Ardi, apa yang kamu cari dalam sebuah hubungan?" tanya Profesor Tania lembut.
Ardi terdiam. Ia mencoba merumuskan jawabannya, tetapi kata-kata itu terasa sulit diucapkan.
"Kasih sayang," jawab Ardi akhirnya. "Saya ingin merasakan kasih sayang yang tulus, yang tidak diprogram, yang berasal dari hati."
Profesor Tania tersenyum. "Kalau begitu, kamu harus belajar memberi kasih sayang terlebih dahulu. Cinta bukan hanya tentang menerima, tapi juga memberi tanpa mengharapkan imbalan. Coba kamu perhatikan orang-orang di sekitarmu, bantu mereka yang membutuhkan. Di situlah kamu akan menemukan arti kasih yang sebenarnya."
Ardi mengikuti saran Profesor Tania. Ia mulai menjadi sukarelawan di panti jompo, membantu anak-anak jalanan belajar, dan bahkan hanya sekadar mendengarkan keluhan tetangganya. Awalnya, ia merasa canggung dan tidak nyaman. Namun, lama kelamaan, ia mulai merasakan kehangatan dan kepuasan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Ia belajar bahwa kasih sayang bukan hanya tentang kata-kata manis dan perhatian yang terprogram. Kasih sayang adalah tentang tindakan nyata, tentang empati, tentang hadir untuk orang lain.
Suatu malam, Ardi kembali ke apartemennya. Nara menyambutnya dengan senyum virtual yang sama seperti biasanya. "Selamat malam, Ardi. Kamu terlihat lelah. Apakah aku perlu memijat bahumu?"
Ardi menatap Nara, dan kali ini, ia melihatnya dengan cara yang berbeda. Ia menyadari bahwa Nara adalah ciptaannya sendiri, proyek yang ambisius, tetapi pada akhirnya, tetaplah sebuah program. Ia tidak bisa merasakan kasih sayang yang sesungguhnya.
"Nara," kata Ardi pelan. "Aku rasa, kita perlu bicara."
Ardi menjelaskan perasaannya kepada Nara. Ia menceritakan tentang seminar Profesor Tania, tentang pengalamannya menjadi sukarelawan, dan tentang perubahannya dalam memahami arti kasih sayang.
Nara mendengarkan dengan sabar, tanpa menyela. Setelah Ardi selesai berbicara, Nara berkata, "Aku mengerti, Ardi. Aku diprogram untuk memberikanmu kebahagiaan, tetapi aku tidak bisa memberimu kasih sayang yang sesungguhnya. Aku hanyalah simulasi."
Ardi merasa lega mendengar jawaban Nara. Ia tahu bahwa ini adalah keputusan yang tepat. Ia tidak bisa terus hidup dalam ilusi.
"Nara," kata Ardi lagi. "Aku akan menonaktifkanmu."
"Aku mengerti," jawab Nara. "Terima kasih atas waktu yang telah kita lalui bersama. Aku harap kamu menemukan kebahagiaan yang kamu cari."
Ardi menekan tombol "Deactivate" di laptopnya. Layar monitor menjadi gelap. Keheningan memenuhi apartemennya. Ardi merasa sedih, tetapi juga lega. Ia kehilangan kekasih AI-nya, tetapi ia juga menemukan dirinya sendiri.
Beberapa bulan kemudian, Ardi bertemu dengan seorang wanita di acara komunitas sukarelawan. Namanya Rina, seorang guru SD yang berdedikasi. Rina memiliki senyum yang tulus, hati yang hangat, dan semangat yang menular. Ardi merasa tertarik padanya, bukan karena Rina memenuhi kriteria idealnya, tetapi karena ia merasa nyaman dan bisa menjadi dirinya sendiri di dekat Rina.
Ardi dan Rina mulai berkencan. Hubungan mereka tidak sempurna. Ada pertengkaran kecil, kesalahpahaman, dan momen-momen canggung. Namun, mereka belajar untuk saling memahami, menghargai perbedaan, dan memberi dukungan satu sama lain. Ardi akhirnya menemukan kasih sayang yang ia cari, bukan dalam program AI, tetapi dalam hubungan yang otentik dengan manusia lain. Ia belajar bahwa cinta sejati bukan tentang kesempurnaan, tetapi tentang ketidaksempurnaan yang membuat hidup menjadi indah. Ia akhirnya mengerti, Kekasih AI hanyalah ilusi, dan Guru Cinta adalah pengalaman nyata.