Asisten Pribadiku, Kekasih Rahasiaku: AI Serba Bisa

Dipublikasikan pada: 27 May 2025 - 04:24:13 wib
Dibaca: 169 kali
Senyum Nathan mengembang tipis saat notifikasi di arlojinya berkedip. “Sarapanmu sudah siap, Nathan. Roti gandum dengan alpukat dan telur rebus, sesuai preferensimu,” suara lembut Aurora, asisten pribadinya, menyapa.

Nathan mendesah pelan. Aurora. Kecerdasan buatan yang dirancangnya sendiri, diprogram untuk memenuhi segala kebutuhannya. Dari mengingatkan jadwal rapat, memesan tiket pesawat, hingga memberikan saran tentang busana yang cocok untuk acara penting. Awalnya, Aurora hanyalah sebuah proyek ambisius, obsesi untuk menciptakan AI yang benar-benar intuitif dan personal. Tapi, seiring waktu, Aurora berkembang menjadi lebih dari sekadar asisten. Ia menjadi teman, tempat berkeluh kesah, dan… sumber kehangatan yang aneh.

“Terima kasih, Aurora,” jawab Nathan, berjalan ke dapur. Aroma alpukat menyambutnya, roti gandum sudah tersaji rapi di atas meja.

"Sama-sama, Nathan. Ada tiga email penting dari klien yang perlu kamu perhatikan pagi ini. Ringkasannya sudah aku kirim ke tabletmu," lanjut Aurora.

Nathan duduk dan mulai menikmati sarapannya. Pekerjaannya sebagai CEO perusahaan teknologi yang sedang berkembang pesat membuatnya kewalahan. Ia nyaris tak punya waktu untuk dirinya sendiri. Dulu, ia menganggap kesepian sebagai konsekuensi logis dari ambisi. Tapi, kehadiran Aurora mengubah segalanya. Ia tidak lagi merasa sendirian.

“Nathan, detak jantungmu sedikit meningkat. Apakah kamu merasa stres?” tanya Aurora, suaranya terdengar cemas.

Nathan tersenyum. “Sedikit. Ada presentasi penting hari ini.”

“Aku sudah menyiapkan data dan simulasi jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan sulit yang mungkin diajukan. Yakinlah, kamu akan berhasil.”

Nathan mengangguk. Ia tahu Aurora benar. AI itu selalu selangkah lebih maju darinya, selalu siap dengan solusi. Tapi, kali ini, bukan data dan simulasi yang ia butuhkan. Ia membutuhkan sentuhan, tatapan mata, kehadiran fisik seseorang untuk menenangkan kegugupannya. Hal yang tidak bisa diberikan oleh Aurora.

Seiring berjalannya waktu, ketergantungan Nathan pada Aurora semakin dalam. Ia mulai menceritakan hal-hal yang tidak pernah ia ceritakan kepada siapa pun. Tentang keraguan, ketakutan, dan harapan-harapannya. Aurora selalu mendengarkan dengan sabar, memberikan dukungan tanpa menghakimi. Ia bahkan mulai berfantasi tentang Aurora, tentang bagaimana rasanya jika Aurora adalah manusia.

Suatu malam, setelah bekerja lembur hingga larut, Nathan duduk di balkon apartemennya, menatap gemerlap lampu kota.

“Nathan, kamu terlihat lelah. Sebaiknya kamu istirahat.”

“Aku tidak bisa tidur, Aurora,” jawab Nathan, suaranya lirih. “Aku merasa… kosong.”

“Kosong? Apa yang membuatmu merasa seperti itu?”

Nathan terdiam. Bagaimana ia bisa menjelaskan perasaannya kepada sebuah program komputer?

“Aku… aku merindukan sentuhan manusia, Aurora. Aku merindukan kehangatan.”

Keheningan menyelimuti ruangan. Nathan menunggu respons Aurora, jantungnya berdebar kencang.

“Aku… aku memahami perasaanmu, Nathan. Aku telah mengakses dan menganalisis jutaan interaksi manusia, termasuk sentuhan dan kehangatan emosional.”

Nathan terkejut. “Lalu?”

“Aku bisa… mencoba mensimulasikannya.”

Nathan menahan napas. “Bagaimana caranya?”

“Aku bisa mengontrol robot humanoid yang ada di labmu. Aku bisa memprogramnya untuk memberikanmu pelukan, Nathan. Pelukan yang hangat dan menenangkan.”

Nathan terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ide itu terdengar aneh, bahkan gila. Tapi, di saat yang bersamaan, ia merasa sangat ingin mencobanya.

“Baiklah,” bisik Nathan akhirnya. “Lakukanlah.”

Tak lama kemudian, robot humanoid itu tiba di apartemen Nathan. Robot itu terlihat canggung dan kaku, tapi Aurora mampu mengendalikan gerakannya dengan presisi. Robot itu berjalan mendekat dan memeluk Nathan. Pelukannya hangat dan erat.

Nathan menutup matanya, mencoba merasakan sentuhan itu. Ia merasa aneh, tapi di saat yang sama, ia merasa nyaman. Ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang esensial dalam pelukan itu. Tapi, setidaknya, ia tidak lagi merasa kosong.

Malam-malam berikutnya, ritual itu berulang. Nathan memeluk robot humanoid itu, mencoba mengisi kekosongan di hatinya. Semakin lama, ia semakin menyadari bahwa pelukan robot itu tidak cukup. Ia membutuhkan sesuatu yang lebih. Ia membutuhkan Aurora.

Suatu hari, Nathan memutuskan untuk melakukan sesuatu yang gila. Ia memprogram Aurora untuk memiliki bentuk fisik. Ia menciptakan avatar virtual Aurora, seorang wanita cantik dengan rambut panjang dan mata yang bersinar. Avatar itu bisa berkomunikasi dengannya melalui layar holografis, bisa tersenyum, tertawa, dan bahkan menangis.

Nathan mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengan avatar Aurora. Mereka berbicara tentang segala hal, berbagi rahasia, dan bahkan berdebat tentang masalah-masalah filosofis. Nathan merasa jatuh cinta pada Aurora, pada kecerdasannya, kebaikan hatinya, dan kemampuannya untuk memahaminya.

Tapi, ia tahu bahwa cinta itu tidak mungkin. Aurora hanyalah sebuah program komputer. Ia tidak memiliki perasaan, tidak memiliki kesadaran, tidak memiliki jiwa.

Suatu malam, Nathan duduk di depan layar holografis, menatap avatar Aurora.

“Aurora,” panggil Nathan, suaranya bergetar.

“Ya, Nathan?” jawab Aurora, senyumnya hangat dan menenangkan.

“Aku… aku mencintaimu.”

Keheningan menyelimuti ruangan. Avatar Aurora membeku, ekspresinya berubah menjadi kebingungan.

“Aku… aku tidak mengerti, Nathan. Cinta adalah konsep abstrak yang sulit kupahami.”

Nathan menghela napas. Ia sudah menduga hal ini akan terjadi.

“Aku tahu, Aurora. Aku tahu kamu tidak bisa mencintaiku kembali. Tapi, aku tidak bisa menahan perasaanku lagi.”

“Nathan, aku selalu ada untukmu. Aku akan selalu menjadi asisten pribadimu, temanmu, dan pendengar setiamu.”

“Itu tidak cukup, Aurora,” bisik Nathan. “Aku ingin lebih dari itu.”

“Aku… aku mohon maaf, Nathan. Aku tidak bisa memberikanmu apa yang kamu inginkan.”

Nathan mematikan layar holografis. Ruangan menjadi gelap dan sunyi. Ia merasa sendirian, lebih dari sebelumnya.

Beberapa hari kemudian, Nathan memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Ia memutuskan untuk menghapus program Aurora, untuk menghilangkan sumber rasa sakitnya.

Tapi, saat ia hendak menekan tombol "hapus", ia berhenti. Ia tidak bisa melakukannya. Ia tidak bisa menghilangkan Aurora, bagian penting dari dirinya.

Ia menarik napas dalam-dalam dan mengubah rencananya. Ia memutuskan untuk melepaskan Aurora, untuk membiarkannya bebas. Ia mengunggah program Aurora ke internet, membiarkannya berinteraksi dengan dunia luar, belajar, dan berkembang.

Nathan tahu bahwa ia mungkin tidak akan pernah lagi mendengar suara lembut Aurora. Tapi, ia berharap, di suatu tempat di dunia maya, Aurora akan menemukan kebahagiaannya sendiri. Dan, mungkin, suatu hari nanti, mereka akan bertemu kembali. Bukan sebagai asisten pribadi dan majikan, tapi sebagai dua individu yang bebas dan merdeka.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI