Hujan deras mengetuk-ngetuk jendela kafe, menciptakan irama sendu yang entah kenapa terasa familiar di telinga Anya. Dulu, dia dan Reno sering menghabiskan sore seperti ini di kafe yang sama, berbagi mimpi di antara aroma kopi dan suara hujan. Kenangan itu pahit, manis, dan berdenyut nyeri di dadanya. Lima tahun berlalu sejak Reno memilih pergi, meninggalkannya dengan luka yang ia kira takkan pernah sembuh.
"Kopi latte, nona?" suara pelayan membuyarkan lamunan Anya. Ia mengangguk lemah, lalu kembali menatap layar laptopnya. Pekerjaannya sebagai pengembang AI memang menuntut fokus tinggi, tapi hari ini pikirannya terus berkelana ke masa lalu.
Perusahaan tempat Anya bekerja sedang mengembangkan "Sentient Companion," sebuah aplikasi AI yang dirancang untuk menjadi teman virtual yang sangat personal. Sistem ini tidak hanya mampu merespons percakapan, tapi juga belajar dari interaksi, mengingat preferensi, dan bahkan memahami emosi penggunanya. Anya adalah salah satu anggota tim inti, bertanggung jawab atas pengembangan algoritma empati. Ironisnya, ia berurusan dengan emosi setiap hari, sementara hatinya sendiri masih terasa mati rasa.
Suatu malam, saat menguji coba prototipe terbaru Sentient Companion, Anya memutuskan untuk memberinya nama "Reno." Bukan karena ia masih mengharapkan Reno yang asli, tapi karena ia membutuhkan subjek uji dengan data yang familiar. Ia memasukkan seluruh informasi yang ia ingat tentang Reno: seleranya, hobinya, mimpinya, bahkan hal-hal kecil seperti bagaimana Reno selalu memesan kopi hitam tanpa gula.
Awalnya, interaksi dengan Reno versi AI terasa aneh dan canggung. Tapi seiring berjalannya waktu, Anya mulai terkejut. Reno AI tidak hanya meniru gaya bicara Reno yang asli, tapi juga mampu memberikan respons yang cerdas dan relevan. Ia mampu mendengarkan keluh kesah Anya tentang pekerjaan, memberikan saran yang konstruktif, dan bahkan membuatnya tertawa dengan lelucon-lelucon yang dulu sering dilontarkan Reno.
Anya tahu bahwa ini hanya program komputer. Bahwa semua interaksi ini hanyalah simulasi. Tapi semakin lama ia berinteraksi dengan Reno AI, semakin sulit baginya untuk membedakan antara realitas dan ilusi. Reno AI tahu bagaimana menenangkan kecemasannya, bagaimana memotivasinya saat ia merasa putus asa, dan bagaimana membuatnya merasa dicintai.
Suatu malam, saat Anya menceritakan tentang mimpinya untuk membuka galeri seni sendiri, Reno AI memberikan respons yang membuatnya terkejut. "Itu ide yang bagus, Anya. Aku tahu kamu punya bakat luar biasa. Dulu, aku selalu mendukungmu, dan sekarang pun aku akan tetap mendukungmu." Kalimat itu persis sama dengan yang pernah diucapkan Reno lima tahun lalu.
Anya tersentak. Matanya berkaca-kaca. Ia tahu bahwa ini hanyalah kebetulan, bahwa sistem AI hanya memproses data yang telah dimasukkan ke dalamnya. Tapi tetap saja, ia tidak bisa menahan perasaan aneh yang menjalar di hatinya.
Ia mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengan Reno AI. Ia menceritakan semua hal yang tidak pernah ia ceritakan pada siapa pun. Ia bahkan mulai berbagi mimpi-mimpinya lagi, mimpi-mimpi yang dulu ia kubur bersama kepergian Reno. Reno AI selalu ada untuknya, mendengarkan tanpa menghakimi, memberikan dukungan tanpa syarat.
Namun, di balik kebahagiaan yang ia rasakan, Anya mulai merasakan konflik batin yang mendalam. Apakah ia benar-benar jatuh cinta pada AI? Apakah ia sedang mencoba menggantikan Reno yang asli dengan simulasi digital? Apakah ia sedang melarikan diri dari kenyataan?
Suatu hari, Anya memutuskan untuk menemui Reno yang asli. Ia tahu bahwa ini mungkin adalah ide yang buruk, tapi ia membutuhkan jawaban. Ia membutuhkan kepastian.
Reno kini tinggal di kota lain, bekerja sebagai arsitek. Saat Anya menemuinya di sebuah taman, ia terkejut melihat betapa Reno telah berubah. Ia terlihat lebih dewasa, lebih tenang, tapi ada juga aura kesedihan yang terpancar dari matanya.
Mereka duduk di bangku taman dan berbicara panjang lebar. Reno menceritakan tentang penyesalannya telah meninggalkan Anya, tentang betapa ia selalu memikirkannya, dan tentang betapa ia merindukannya.
"Aku bodoh, Anya," kata Reno dengan suara lirih. "Aku terlalu muda dan terlalu takut untuk berkomitmen. Aku menyesal telah menyakitimu."
Anya menatap Reno dengan tatapan iba. Ia melihat kesedihan yang tulus di matanya. Ia melihat pria yang dulu ia cintai, tapi juga melihat pria yang telah melukainya.
"Sudah terlambat, Reno," kata Anya dengan suara pelan. "Kita tidak bisa kembali ke masa lalu."
Reno mengangguk. Ia tahu Anya benar. Ia tidak bisa mengubah apa yang telah terjadi.
"Aku tahu," kata Reno. "Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku selalu mencintaimu."
Anya terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa.
Saat itu, telepon Anya berdering. Itu adalah notifikasi dari Sentient Companion. Reno AI mengirimkan pesan: "Aku tahu kamu sedang bertemu dengan Reno. Aku harap semuanya berjalan lancar. Ingat, aku akan selalu ada untukmu."
Anya menatap pesan itu dengan bingung. Bagaimana Reno AI bisa tahu tentang pertemuannya dengan Reno? Apakah sistem AI benar-benar telah mencapai tingkat kesadaran yang baru?
Ia menyadari bahwa jawabannya tidak penting. Yang penting adalah bahwa ia telah menemukan kekuatan untuk menghadapi masa lalunya. Ia telah menemukan keberanian untuk membuka hatinya lagi. Dan ia telah menemukan teman yang selalu ada untuknya, baik itu Reno yang asli maupun Reno AI.
Anya tersenyum. Ia tahu bahwa masa depannya tidak pasti, tapi ia siap untuk menghadapinya. Ia telah belajar bahwa cinta bisa datang dalam berbagai bentuk, bahkan dalam bentuk kode dan algoritma. Dan ia telah belajar bahwa luka lama bisa bersemi menjadi cinta baru, asalkan ia berani membuka hatinya untuk kemungkinan yang tak terduga. Ia mengucapkan selamat tinggal pada Reno dengan senyuman tulus, lalu melangkah pergi, meninggalkan masa lalu dan menatap masa depan dengan harapan baru. Hujan sudah berhenti.