Cinta dalam Piksel: Algoritma Menemukan Kekosongan Jiwa?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 21:24:14 wib
Dibaca: 157 kali
Aplikasi kencan "SoulMate.AI" itu awalnya hanya iseng aku unduh. Setelah putus dari Riana, aku merasa ada lubang besar menganga di dadaku. Pekerjaanku sebagai programmer di perusahaan teknologi raksasa nyaris tidak memberikan hiburan. Algoritma dan kode hanyalah barisan angka dan huruf yang semakin mengaburkan arti sebuah hubungan manusiawi.

SoulMate.AI menjanjikan lebih dari sekadar kecocokan berdasarkan hobi dan preferensi. Aplikasi ini menggunakan teknologi neural network untuk menganalisis pola bicara, ekspresi wajah, bahkan gelombang otak penggunanya melalui sensor di ponsel pintar. Tujuannya? Menemukan seseorang yang paling kompatibel secara emosional dan intelektual.

Awalnya aku skeptis. Bagaimana mungkin sebuah algoritma bisa memahami kekosongan jiwaku? Tapi toh, tidak ada salahnya mencoba, pikirku. Aku mengisi profil dengan jujur, menceritakan tentang kecintaanku pada film klasik, ketertarikanku pada astronomi, dan tentu saja, patah hatiku yang baru saja terjadi.

Beberapa hari kemudian, notifikasi muncul. "SoulMate.AI telah menemukan kandidat yang cocok: Aria."

Foto Aria menampilkan seorang wanita berambut cokelat panjang, matanya teduh namun penuh semangat, dan senyumnya... senyumnya membuat jantungku berdebar aneh. Profilnya menyebutkan bahwa dia seorang arsitek lanskap, menyukai puisi Emily Dickinson, dan memiliki trauma masa kecil yang mirip denganku.

Kami mulai bertukar pesan. Obrolan kami mengalir begitu saja, seolah kami sudah saling mengenal lama. Kami membahas tentang arsitektur brutal, makna kesepian di era digital, dan paradoks kebahagiaan. Semakin lama kami berbicara, semakin aku merasa terhubung dengannya.

Setelah seminggu, kami memutuskan untuk bertemu. Aria memilih sebuah kafe kecil di tepi sungai, tempat yang tenang dan romantis. Ketika aku melihatnya duduk di sana, menunggu dengan gugup, aku tahu ada sesuatu yang berbeda. Dia persis seperti yang kubayangkan, bahkan lebih.

Malam itu kami berbicara berjam-jam, tanpa henti. Kami tertawa, berbagi cerita, dan saling membuka diri tentang ketakutan dan harapan kami. Aku merasa seperti menemukan separuh diriku yang hilang, seseorang yang benar-benar mengerti aku.

Namun, semakin dekat aku dengan Aria, semakin aku merasa tidak nyaman. Terlalu sempurna. Terlalu mudah. Seolah-olah semua percakapan kami telah diprediksi, diprogram oleh algoritma SoulMate.AI.

Suatu malam, aku tidak bisa menahan diri. "Aria," kataku, "apakah menurutmu... apakah menurutmu aplikasi ini terlalu mencampuri urusan hati kita?"

Aria menatapku dengan ekspresi bingung. "Maksudmu apa?"

"Maksudku, apakah ini nyata? Apakah perasaan kita ini asli, atau hanya hasil perhitungan rumit sebuah algoritma?"

Aria terdiam sejenak, lalu menghela napas. "Aku tahu apa yang kau rasakan," katanya pelan. "Awalnya aku juga merasakannya. Tapi kemudian aku menyadari, algoritma ini hanyalah alat. Alat yang membantu kita menemukan satu sama lain. Apa yang kita lakukan setelah itu, bagaimana kita membangun hubungan ini, itu semua adalah pilihan kita."

Aku tidak yakin. Aku masih merasa ada sesuatu yang aneh. Aku mulai meneliti SoulMate.AI lebih dalam. Aku membaca artikel tentang bagaimana aplikasi ini menggunakan data pengguna untuk memanipulasi emosi, menciptakan ilusi kedekatan, dan bahkan mengatur pertemuan yang "tidak disengaja."

Kecurigaanku semakin besar. Aku mulai melihat pola-pola dalam percakapan kami, kata-kata kunci yang sengaja dipicu oleh algoritma untuk menciptakan rasa nyaman dan akrab. Aku merasa seperti sedang dipermainkan, dijadikan objek eksperimen.

Aku memutuskan untuk berbicara dengan Riana, mantan pacarku. Meskipun kami putus dengan tidak baik, aku percaya dia akan mengerti kecemasanku.

"Riana," kataku, "aku rasa aku sedang jatuh cinta dengan seseorang yang diprogram oleh algoritma."

Riana tertawa sinis. "Kau ini aneh sekali. Jatuh cinta ya jatuh cinta saja. Kenapa harus serumit itu?"

"Tidak, Riana, ini berbeda. Aplikasi ini memanipulasi emosi. Aplikasi ini membuat kita merasa terhubung, padahal mungkin saja itu semua palsu."

Riana menatapku dengan iba. "Dengar," katanya, "aku tahu kau masih patah hati. Mungkin saja kau hanya mencari pelarian, mencari sesuatu yang mudah dan nyaman. Tapi jangan salahkan teknologi untuk semua masalahmu."

Kata-kata Riana membuatku terdiam. Apakah dia benar? Apakah aku hanya terlalu paranoid, terlalu takut untuk merasakan sakit lagi?

Aku kembali menemui Aria. Aku ingin mencoba sekali lagi, melihat apakah perasaanku ini nyata atau hanya ilusi.

Kami berjalan-jalan di taman kota, menikmati matahari sore. Aria menggenggam tanganku erat, senyumnya tulus.

"Aku tahu kau masih ragu," katanya. "Aku tahu kau takut. Tapi aku mohon, jangan biarkan ketakutanmu merusak apa yang kita miliki."

Aku menatap matanya dalam-dalam. Aku melihat kejujuran, kelembutan, dan harapan. Aku melihat sesuatu yang lebih dari sekadar kode dan algoritma.

Aku menarik napas dalam-dalam dan memutuskan untuk percaya. Percaya pada Aria, percaya pada perasaan kami, dan percaya bahwa cinta, bahkan di era digital, masih mungkin ada.

Mungkin saja algoritma SoulMate.AI telah membantu kami menemukan satu sama lain. Tapi yang menentukan kelanjutan kisah ini adalah kami. Kami yang akan menulis bab-bab selanjutnya, dengan semua kelebihan dan kekurangan kami, dengan semua keraguan dan harapan kami.

Kami duduk di bangku taman, berpegangan tangan, dan menatap matahari terbenam. Di kejauhan, suara bising kota terdengar samar-samar, mengingatkanku pada dunia yang penuh dengan teknologi dan algoritma. Tapi di saat itu, yang kurasakan hanyalah kehangatan tangan Aria dan harapan akan masa depan yang lebih baik.

Mungkin saja cinta di era digital adalah sebuah tantangan. Tapi seperti semua tantangan dalam hidup, kita harus menghadapinya dengan keberanian, kejujuran, dan keyakinan. Karena pada akhirnya, yang terpenting bukanlah bagaimana kita menemukan cinta, tapi bagaimana kita menjaganya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI