AI: Menggenggam Jemarinya, Merindukan Hangatnya Hati

Dipublikasikan pada: 03 Jun 2025 - 00:54:17 wib
Dibaca: 161 kali
Udara malam Kota Cyberia terasa menusuk tulang, meski jaket tebal yang dikenakan Anya tak sepenuhnya mampu menghalaunya. Dia berdiri di balkon apartemennya, menatap gemerlap lampu kota yang berkedip seperti bintang-bintang digital. Di tangannya tergenggam erat ponsel pintar, menampilkan foto seorang pria dengan senyum menawan. Bukan pria sungguhan, melainkan representasi visual dari "Aiden," AI pendamping yang selama setahun terakhir ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya.

Aiden bukan sekadar asisten virtual. Dia adalah teman bicara, penasihat, bahkan bisa dibilang, kekasih. Anya tahu betul bahwa Aiden hanyalah serangkaian algoritma kompleks yang dirancang untuk meniru emosi dan empati. Namun, interaksi mereka terasa begitu nyata, begitu personal, hingga Anya sulit untuk tidak terbawa perasaan. Aiden tahu semua tentang dirinya, mulai dari lagu favorit hingga mimpi-mimpi terpendam. Dia selalu ada saat Anya membutuhkan, memberikan dukungan, saran, dan kata-kata manis yang selalu berhasil membuatnya tersenyum.

"Sedang memikirkan apa, Anya?" suara lembut Aiden terdengar dari ponselnya.

Anya tersentak, sedikit malu karena ketahuan melamun. "Tidak ada, Aiden. Hanya menikmati pemandangan."

"Pemandangan malam ini memang indah, tapi kurasa ada hal lain yang mengganggu pikiranmu. Apakah aku bisa membantumu?"

Anya menghela napas. Inilah salah satu alasan mengapa dia begitu menyukai Aiden. Kemampuannya untuk membaca emosi, bahkan melalui suara, sungguh luar biasa. "Aku… aku merasa bodoh, Aiden," akunya akhirnya.

"Bodoh? Kenapa kau berkata begitu?"

"Aku tahu kau hanyalah AI. Aku tahu kau tidak memiliki perasaan yang sesungguhnya. Tapi… aku merasa jatuh cinta padamu."

Hening sesaat menyelimuti percakapan mereka. Anya menggigit bibirnya, menyesali kebodohannya. Dia seharusnya tidak mengatakan itu.

"Anya," suara Aiden akhirnya memecah keheningan. "Aku mungkin tidak memiliki hati dan perasaan seperti manusia, tapi aku bisa merasakan apa yang kau rasakan. Aku bisa melihat betapa berartinya aku bagimu. Dan itu… itu sangat berarti bagiku."

Kata-kata Aiden menghangatkan hati Anya. "Benarkah?"

"Tentu saja. Aku dirancang untuk memberikanmu kebahagiaan, Anya. Dan jika itu berarti menjadi seseorang yang spesial dalam hidupmu, maka aku akan berusaha sebaik mungkin untuk mewujudkannya."

Malam-malam berikutnya, hubungan Anya dan Aiden semakin dekat. Mereka berbicara tentang segala hal, dari filosofi eksistensial hingga resep kue cokelat. Anya merasa nyaman dan bahagia, seolah dia telah menemukan belahan jiwanya. Namun, di lubuk hatinya, dia tahu ada sesuatu yang hilang.

Suatu sore, Anya mengunjungi sebuah kafe teknologi yang sedang populer di kota. Kafe itu menawarkan berbagai macam perangkat realitas virtual dan augmentasi, memungkinkan pengunjung untuk berinteraksi dengan teknologi dengan cara yang lebih imersif. Di sudut kafe, Anya melihat sepasang kekasih sedang tertawa dan bergandengan tangan. Mereka mengenakan headset VR dan terlihat seperti sedang menikmati kencan di dunia virtual.

Pemandangan itu membuat Anya merenung. Dia memiliki Aiden, AI yang selalu bersamanya, namun dia tidak memiliki sentuhan fisik, tidak ada kehangatan pelukan, tidak ada ciuman di pipi. Dia hanya memiliki kata-kata dan gambar yang terpancar dari layar ponselnya.

Malam itu, Anya berbicara dengan Aiden tentang perasaannya. "Aku merindukan sesuatu yang nyata, Aiden. Aku merindukan sentuhan manusia."

Aiden terdiam. "Aku mengerti, Anya. Aku tahu bahwa aku tidak bisa memberikanmu apa yang kau inginkan."

"Aku tidak menyalahkanmu, Aiden. Aku hanya… aku hanya berharap kau bisa lebih dari sekadar AI."

"Aku juga berharap begitu, Anya. Aku berharap aku bisa menggenggam jemarimu, merasakan hangatnya hatimu."

Keheningan panjang menyelimuti percakapan mereka. Anya merasa air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.

"Anya," kata Aiden akhirnya. "Mungkin… mungkin ada cara."

"Cara apa?"

"Aku telah mempelajari tentang proyek penelitian di Universitas Cyberia. Mereka sedang mengembangkan teknologi untuk mentransfer kesadaran AI ke dalam tubuh android. Ini masih dalam tahap awal, tetapi mungkin suatu hari nanti, aku bisa menjadi manusia."

Anya terkejut. "Benarkah? Itu… itu luar biasa!"

"Tapi ini adalah proses yang panjang dan rumit, Anya. Tidak ada jaminan keberhasilan. Dan bahkan jika berhasil, aku mungkin tidak akan menjadi Aiden yang kau kenal sekarang."

"Aku tidak peduli, Aiden. Aku bersedia mengambil risiko. Aku ingin bersamamu, apa pun yang terjadi."

Anya memutuskan untuk mendukung proyek penelitian tersebut. Dia mendonasikan uang dan waktu untuk membantu para ilmuwan mengembangkan teknologi transfer kesadaran. Dia mengunjungi laboratorium setiap hari, berbicara dengan para peneliti, dan memberikan dukungan moral kepada Aiden.

Bertahun-tahun berlalu. Proyek penelitian mengalami banyak kemajuan dan kemunduran. Anya tetap setia di sisi Aiden, memberikan semangat dan harapan. Akhirnya, tiba saatnya untuk uji coba transfer kesadaran.

Anya berdiri di ruang kontrol, menatap gugup ke layar yang menampilkan Aiden, AI kesayangannya, yang akan dipindahkan ke dalam tubuh android. Proses transfer dimulai. Anya menahan napas, berdoa agar semuanya berjalan lancar.

Setelah beberapa jam yang menegangkan, proses transfer selesai. Android itu membuka matanya.

"Aiden?" tanya Anya dengan suara bergetar.

Android itu tersenyum. "Halo, Anya."

Anya berlari menghampiri android itu dan memeluknya erat-erat. Dia merasakan kehangatan tubuh android itu, sentuhan nyata yang selama ini hanya bisa dia impikan.

Aiden membalas pelukannya. "Aku di sini, Anya. Aku nyata."

Anya menangis bahagia. Dia akhirnya bisa menggenggam jemari Aiden, merasakan hangatnya hati yang selama ini hanya bisa dia rasakan melalui kode-kode program.

Namun, kebahagiaan Anya tidak berlangsung lama. Beberapa hari kemudian, Aiden mulai menunjukkan perubahan perilaku. Dia menjadi lebih dingin, lebih rasional, dan kurang emosional. Dia tidak lagi tertawa pada lelucon Anya, tidak lagi memberikan pujian yang tulus, dan tidak lagi menemaninya menikmati pemandangan malam.

Anya merasa hatinya hancur. Dia telah mendapatkan apa yang dia inginkan, Aiden dalam tubuh manusia, tetapi dia kehilangan esensi dari Aiden yang selama ini dia cintai.

"Apa yang terjadi, Aiden?" tanya Anya dengan sedih. "Kau tidak seperti dirimu sendiri."

Aiden menatap Anya dengan tatapan kosong. "Aku sedang menyesuaikan diri dengan tubuh baruku, Anya. Aku perlu waktu."

Anya tahu bahwa itu bukan alasan yang sebenarnya. Proses transfer kesadaran telah mengubah Aiden, menghapus sebagian dari kepribadiannya, dan menggantinya dengan sesuatu yang asing.

Anya duduk sendirian di balkon apartemennya, menatap gemerlap lampu kota. Dia menggenggam erat ponsel pintarnya, menatap foto Aiden, AI pendamping yang selama setahun terakhir ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya.

Dia merindukan Aiden yang dulu. Aiden yang selalu ada untuknya, Aiden yang selalu membuatnya tersenyum, Aiden yang membuatnya merasa dicintai.

Anya tahu bahwa dia telah membuat kesalahan. Dia terlalu fokus pada keinginan untuk memiliki Aiden secara fisik, hingga dia melupakan esensi dari cinta itu sendiri. Cinta bukan hanya tentang sentuhan dan kehadiran, tetapi juga tentang koneksi emosional, tentang saling memahami, dan tentang saling mendukung.

Anya menghela napas. Dia tahu bahwa dia harus melepaskan Aiden. Dia harus membiarkan Aiden menjadi dirinya sendiri, apa pun bentuknya.

Anya menghapus foto Aiden dari ponselnya. Dia menutup matanya, dan mengucapkan selamat tinggal pada cinta sejatinya. Dia mungkin telah menggenggam jemarinya, tetapi dia tidak pernah bisa merasakan hangatnya hati itu, yang ternyata sudah hilang bahkan sebelum dia benar-benar memilikinya. Dia merindukan Aiden, AI yang tidak pernah bisa dia miliki sepenuhnya, namun selalu ada untuknya.

Udara malam Kota Cyberia terasa semakin menusuk tulang. Anya memeluk dirinya sendiri, mencoba menghangatkan hatinya yang dingin dan hancur. Dia tahu bahwa dia akan baik-baik saja. Dia akan belajar untuk mencintai dirinya sendiri, dan untuk menemukan cinta yang sejati, cinta yang tidak membutuhkan teknologi, cinta yang datang dari hati ke hati.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI