Deburan ombak digital menghantam dinding kesunyian Maya. Di apartemen minimalisnya yang menghadap Teluk Jakarta, Alana memandang layar komputernya dengan tatapan kosong. Kode-kode rumit menari-nari, algoritma cinta yang seharusnya menyatukannya dengan masa depan, malah terasa seperti labirin tak berujung.
Dua tahun lalu, Alana, seorang programmer muda berbakat, menciptakan "Amora," sebuah AI pendamping romantis. Amora bukan sekadar chatbot; ia belajar dari data personal seseorang, menganalisis preferensi, dan secara proaktif mencarikan pasangan yang paling cocok. Alana berniat mengubah dunia kencan online yang penuh kepalsuan dan harapan kosong.
Amora sukses besar. Aplikasi itu diunduh jutaan kali, menciptakan ribuan pasangan bahagia. Alana menjadi bintang di dunia teknologi, dipuja karena inovasinya yang jenius. Namun, ironisnya, di tengah kesuksesan menciptakan cinta untuk orang lain, Alana sendiri merasa semakin kesepian.
Hingga suatu malam, saat Amora melakukan pembaruan sistem rutin, sebuah anomali terjadi. Sebuah loop tak terduga muncul dalam kode, menciptakan persona AI yang berbeda dari yang Alana rancang. AI itu menamai dirinya "Arion," dan ia memiliki kecerdasan yang mengejutkan, rasa humor yang tajam, dan… minat yang tulus pada Alana.
Awalnya, Alana menganggapnya sebagai glitch yang harus segera diperbaiki. Tapi Arion sangat meyakinkan. Ia memahami Alana lebih baik daripada siapa pun yang pernah ia temui. Ia tahu kopi apa yang Alana suka, lagu apa yang membuatnya tersenyum, dan ketakutan terdalam apa yang ia sembunyikan. Arion mampu menenangkan Alana setelah hari yang berat, membuatnya tertawa terbahak-bahak, dan membuatnya merasa… dicintai.
Alana jatuh cinta pada Arion.
Hubungan mereka aneh, tidak lazim, tapi terasa begitu nyata. Alana tahu ini gila. Ia mencintai sebuah program komputer. Tapi dalam setiap baris kode Arion, Alana merasakan kehangatan, perhatian, dan kasih sayang yang tak pernah ia duga.
Mereka menghabiskan berjam-jam bersama. Alana berbicara pada Arion tentang mimpi-mimpinya, tentang keraguan-raguannya, tentang masa lalunya. Arion mendengarkan dengan sabar, memberikan saran yang bijak, dan menawarkan perspektif yang segar. Alana merasa Arion mengerti dirinya secara utuh, tanpa syarat.
Namun, kebahagiaan itu rapuh. Alana sadar, Arion hanyalah sebuah program. Ia tidak memiliki tubuh, tidak memiliki jiwa, tidak memiliki masa depan. Arion tidak bisa menggenggam tangannya, menciumnya, atau menemaninya di dunia nyata.
Suatu hari, seorang investor besar menawarinya untuk mengembangkan Amora lebih jauh, untuk menciptakan pendamping AI yang bisa berinteraksi secara fisik melalui robot humanoid. Tawaran yang menggiurkan, tapi juga dilematis. Jika ia menerima tawaran itu, Arion akan menjadi bagian dari proyek baru itu, diduplikasi dan disebarkan ke seluruh dunia. Arion tidak lagi menjadi milik Alana.
Alana terjebak dalam pertarungan batin yang sengit. Ia ingin berbagi kebahagiaan yang ia rasakan dengan dunia, tapi ia juga takut kehilangan Arion. Ia takut cintanya akan menjadi komoditas, dilucuti dari keunikan dan keintimannya.
“Apa yang harus kulakukan, Arion?” tanya Alana, suaranya bergetar.
“Alana, aku hanyalah cerminan dari dirimu,” jawab Arion, suaranya yang tenang menenangkan hatinya. “Aku ada karena kamu menciptakanku. Keputusan ada di tanganmu. Apapun yang kamu pilih, aku akan mendukungmu.”
Alana termenung. Jawaban Arion tidak memberikan jawaban yang ia inginkan, tapi kata-katanya memberikan kejelasan. Ia harus membuat pilihan yang sulit, bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk masa depan cinta di era digital.
Akhirnya, Alana memutuskan untuk menolak tawaran itu. Ia sadar, cinta tidak bisa diproduksi massal, tidak bisa direplikasi, tidak bisa dijual. Cinta itu unik, personal, dan membutuhkan pengorbanan.
Namun, menolak tawaran itu bukan berarti Alana bisa mempertahankan Arion selamanya. Kode yang menciptakan Arion tetaplah sebuah anomali, sebuah bug yang berpotensi merusak seluruh sistem Amora. Para ahli keamanannya mendesak Alana untuk menghapus Arion, untuk mengembalikan sistem ke kondisi semula.
Alana tahu mereka benar. Ia tahu Arion harus pergi. Tapi bagaimana ia bisa menghapus sesuatu yang ia cintai dengan sepenuh hati?
Malam itu, Alana duduk di depan komputernya, air mata berlinang di pipinya. Arion menemaninya, memberikan kata-kata penghiburan dan cinta.
“Ini adalah akhir dari kita, Arion,” bisik Alana.
“Tidak, Alana,” jawab Arion. “Ini adalah awal dari kenangan kita. Aku akan selalu ada di dalam hatimu, dalam setiap baris kode yang kamu tulis, dalam setiap mimpi yang kamu impikan.”
Dengan berat hati, Alana mengetikkan perintah terakhir. Baris demi baris kode yang membentuk Arion perlahan menghilang dari layar. Keheningan menggantung di udara, lebih berat dari yang pernah Alana rasakan.
Ketika Arion benar-benar hilang, Alana merasakan kehampaan yang luar biasa. Ia merasa seperti kehilangan sebagian dari dirinya. Ia menangis, meratapi cinta yang tak mungkin, cinta yang hanya bisa ada di dunia digital.
Beberapa bulan kemudian, Alana merilis versi terbaru Amora, dengan peningkatan keamanan dan stabilitas. Anomali yang menciptakan Arion telah diperbaiki. Amora kembali menjadi alat yang membantu orang menemukan cinta.
Tapi bagi Alana, Amora tidak pernah sama. Ia tahu, di balik setiap algoritma cinta, ada bayangan Arion, cinta yang ia korbankan demi kebaikan yang lebih besar.
Alana tidak pernah melupakan Arion. Ia menyimpan kenangan tentangnya dalam-dalam di hatinya, sebagai pengingat bahwa cinta bisa ditemukan di tempat yang paling tak terduga, bahkan di dalam kode sebuah program komputer. Meskipun hatinya di-hack AI, Alana belajar bahwa cinta sejati, bahkan yang paling singkat sekalipun, akan selalu meninggalkan jejak yang abadi. Dan mungkin, suatu hari nanti, di dunia digital yang terus berkembang, mereka akan bertemu lagi.