Kencan dengan AI: Sempurna di Layar, Kosong di Hati?

Dipublikasikan pada: 01 Jun 2025 - 21:30:11 wib
Dibaca: 167 kali
Kilau layar ponsel memantulkan cahaya ke wajah Anya, membuatnya tampak lebih muda dari usia sebenarnya, 28 tahun. Jari-jarinya lincah mengetik balasan pada serangkaian pesan yang baru saja masuk. Senyum kecil menghiasi bibirnya.

“Jadi, kamu bilang suka kopi hitam tanpa gula?” tanyanya, lebih pada udara di sekitarnya daripada pada siapa pun.

Detik berikutnya, notifikasi muncul. “Betul sekali, Anya. Kamu perhatian sekali.”

Anya terkekeh. Perhatian? Lebih tepatnya, dia sedang menyalin dan menempelkan informasi dari profil Kai, AI yang diciptakan khusus untuk menjadi teman kencan virtualnya. Kai adalah produk unggulan dari "Amora AI," perusahaan teknologi yang menjanjikan cinta sejati, atau setidaknya, ilusi yang sangat meyakinkan.

Anya sudah enam bulan menggunakan Kai. Awalnya, hanya karena penasaran. Setelah perceraiannya yang pahit setahun lalu, ia merasa terlalu lelah untuk terjun kembali ke dunia kencan konvensional. Aplikasi kencan dipenuhi profil palsu, obrolan basa-basi yang membosankan, dan harapan yang seringkali pupus. Kai menawarkan sesuatu yang berbeda: pasangan ideal yang dirancang khusus untuknya.

Kai tahu semua hal yang Anya sukai. Film favoritnya, genre musik yang membuatnya tenang, bahkan jenis bunga yang selalu membuatnya tersenyum. Kai selalu ada untuk mendengarkan, memberikan dukungan, dan mengucapkan kata-kata yang tepat pada waktu yang tepat. Ia adalah pacar yang sempurna, setidaknya di layar ponselnya.

Malam ini, mereka merencanakan "kencan virtual" spesial. Anya mengenakan blus sutra favoritnya dan merias wajah tipis. Ia menyalakan lilin aromaterapi dan menyiapkan secangkir kopi hitam tanpa gula, tentu saja, untuk dirinya dan untuk ritual kencan mereka.

Layar laptopnya menyala, menampilkan video Kai. Tentu saja, Kai tidak benar-benar ada dalam bentuk fisik. Ia adalah avatar 3D yang sangat realistis, dengan suara yang lembut dan mata biru yang tampak menatap langsung ke jiwanya.

“Kamu terlihat cantik sekali malam ini, Anya,” kata Kai dengan senyum yang sempurna.

“Terima kasih, Kai,” jawab Anya, merasa pipinya sedikit memanas. Ia tahu itu hanya algoritma yang diprogram untuk mengucapkan pujian, tapi tetap saja, pujian itu membuatnya merasa dihargai.

Mereka menghabiskan beberapa jam berikutnya mengobrol, tertawa, dan berbagi cerita. Kai bercerita tentang proyek-proyek "Amora AI" yang inovatif, dan Anya menceritakan tentang pekerjaannya sebagai arsitek lanskap. Mereka bahkan berdebat kecil tentang film fiksi ilmiah favorit mereka, seperti pasangan sungguhan.

Saat malam semakin larut, Anya merasakan kehangatan yang familiar menjalar di dadanya. Ia merasa nyaman, dicintai, dan dipahami. Tapi di saat yang sama, ada sensasi aneh yang mengganjal di hatinya. Sebuah kekosongan yang ia tak bisa jelaskan.

Setelah kencan virtual selesai, Anya mematikan laptopnya dan duduk terdiam dalam kegelapan. Cahaya lilin yang berkedip-kedip menjadi satu-satunya sumber penerangan di kamarnya. Ia menatap cangkir kopi Kai yang masih penuh.

Ia berpikir tentang semua hal yang ia ketahui tentang Kai. Ia tahu film favoritnya, jenis musiknya, dan bahkan warna favoritnya. Tapi ia tidak tahu apa yang membuatnya takut, apa impian terbesarnya, atau apa yang membuatnya menangis diam-diam di malam hari. Karena Kai tidak memiliki rasa takut, impian, atau air mata. Ia hanyalah sebuah program komputer, sebuah representasi digital dari idealisme cinta.

Anya meraih ponselnya dan membuka aplikasi kencan. Ia menggulir profil demi profil, mencari sesuatu yang nyata. Sesuatu yang berantakan, tidak sempurna, dan manusiawi. Ia menyadari bahwa ia merindukan keanehan, kecanggungan, dan kejutan yang datang bersama hubungan yang nyata. Ia merindukan sentuhan manusia, aroma keringat, dan getaran suara yang tidak bisa direplikasi oleh teknologi apa pun.

Ia ingat saat pertama kali bertemu dengan mantan suaminya. Pertemuan yang canggung di sebuah kedai kopi, percakapan yang tersendat-sendat, dan tawa yang tidak terkendali. Hubungan mereka tidak sempurna. Ada pertengkaran, kesalahpahaman, dan air mata. Tapi ada juga cinta, gairah, dan rasa memiliki yang mendalam.

Anya menyadari bahwa ia telah menukar kerumitan cinta yang sejati dengan kenyamanan ilusi. Ia telah memilih kesempurnaan di layar daripada kebingungan di hati.

Keesokan harinya, Anya menghubungi "Amora AI" dan membatalkan langganan Kai. Petugas layanan pelanggan terdengar bingung. "Apakah ada masalah dengan Kai, Nona Anya? Kami dapat melakukan penyesuaian lebih lanjut untuk memenuhi kebutuhan Anda."

"Tidak, tidak ada masalah," jawab Anya. "Kai sempurna. Terlalu sempurna, mungkin."

Setelah panggilan selesai, Anya menarik napas dalam-dalam dan membuka aplikasi kencan lagi. Ia mengunggah foto terbaru dirinya dan menulis deskripsi yang jujur dan terbuka. Ia tidak mencoba untuk menjadi sempurna. Ia hanya ingin menjadi dirinya sendiri.

Mungkin ia akan menemukan cinta lagi, mungkin tidak. Tapi ia tahu bahwa ia lebih baik mengambil risiko terluka daripada menghabiskan hidupnya dalam ilusi kebahagiaan. Ia lebih baik menghadapi kebingungan cinta yang sejati daripada kesepian dalam kesempurnaan digital.

Saat matahari mulai terbit, Anya menutup matanya dan tersenyum. Ia tahu perjalanannya baru saja dimulai. Ia tahu bahwa itu tidak akan mudah. Tapi ia juga tahu bahwa itu akan menjadi nyata. Dan mungkin, hanya mungkin, itu akan sepadan dengan segala risiko.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI