Debu neon digital menari di pupil mata Anya. Di balik kacamatanya yang tebal, pantulan layar laptop membiaskan cahaya biru ke wajahnya. Jemarinya lincah menari di atas keyboard, baris demi baris kode Python mengalir dari otaknya seperti sungai digital yang tak pernah kering. Anya adalah seorang programmer handal, seorang dewi dalam dunia algoritma. Baginya, logika adalah bahasa cinta, dan kode adalah puisi terindah.
Dia bekerja di "Synapse," sebuah perusahaan rintisan yang sedang naik daun, menciptakan aplikasi kencan berbasis kecerdasan buatan bernama "SoulMate AI." Aplikasi ini bukan sekadar mencari kecocokan berdasarkan hobi dan minat. SoulMate AI menggunakan algoritma kompleks untuk menganalisis pola bicara, ekspresi wajah, dan bahkan gelombang otak untuk menemukan pasangan yang benar-benar kompatibel secara emosional dan intelektual. Anya adalah otak di balik algoritma rumit itu.
"Anya, kopimu," suara lembut membuyarkan lamunannya. Rio, rekan kerjanya, berdiri di samping mejanya, menyodorkan cangkir keramik dengan gambar robot lucu. Rio adalah front-end developer di Synapse, bertugas membuat antarmuka SoulMate AI menarik dan mudah digunakan. Dia adalah kebalikan Anya: ramah, mudah bergaul, dan selalu tersenyum. Anya menghargai kebaikan Rio, meskipun terkadang merasa risih dengan perhatiannya yang terlalu sering.
"Terima kasih," jawab Anya singkat, tanpa menatap Rio. Dia lebih suka tenggelam dalam dunia kodenya daripada terlibat percakapan basa-basi.
Rio tidak menyerah. "Kamu lembur lagi? Kamu harus istirahat, Anya. Algoritma sehebat apa pun butuh bahan bakar."
Anya menghela napas. "Aku sedang memperbaiki bug di modul emosi. Algoritma ini masih kesulitan membedakan antara simpati dan cinta."
"Mungkin karena cinta itu sendiri tidak bisa didefinisikan dengan angka dan logika," kata Rio sambil tersenyum misterius.
Anya mendengus. "Omong kosong. Segalanya bisa dianalisis dan diprediksi dengan data yang cukup." Dia kembali fokus pada layar, mengabaikan tatapan Rio.
Beberapa minggu kemudian, SoulMate AI diluncurkan dan langsung menjadi sensasi. Ribuan orang mendaftar setiap hari, terpikat oleh janji menemukan cinta sejati melalui algoritma. Anya merasa bangga dengan karyanya. Dia telah menciptakan sesuatu yang berpotensi mengubah hidup banyak orang.
Namun, di balik kesuksesan itu, Anya mulai merasa hampa. Dia telah menghabiskan begitu banyak waktu untuk menciptakan algoritma cinta, tetapi dia sendiri belum pernah merasakan cinta sejati. Dia berkencan sesekali, tetapi tidak ada yang benar-benar membuatnya tertarik. Pria-pria yang dia temui terlalu fokus pada karier, terlalu dangkal, atau terlalu membosankan.
Suatu malam, Anya memutuskan untuk mencoba SoulMate AI sendiri. Dia memasukkan data dirinya dengan jujur, berharap algoritma buatannya sendiri bisa menemukan seseorang yang cocok dengannya. Hasilnya mengejutkan. Algoritma itu menemukan beberapa kecocokan potensial, tetapi tidak ada satu pun yang terasa benar.
Kemudian, nama Rio muncul di urutan terakhir. Algoritma itu hanya memberikan skor kecocokan yang rendah, tetapi ada sesuatu dalam deskripsi singkat Rio yang menarik perhatian Anya. "Pencinta seni, pendengar yang baik, dan percaya bahwa keajaiban ada dalam hal-hal sederhana."
Anya mengernyit. Rio? Pria yang selalu membuatnya kopi dan tersenyum padanya? Pria yang menurutnya terlalu ramah dan tidak cukup intelektual? Ini pasti kesalahan.
Namun, rasa penasaran mengalahkan keraguannya. Dia memutuskan untuk berbicara dengan Rio lebih dalam. Mereka mulai makan siang bersama, membahas buku, film, dan bahkan filosofi kehidupan. Anya terkejut menemukan bahwa Rio jauh lebih cerdas dan berwawasan daripada yang dia kira. Dia juga lembut, perhatian, dan selalu berusaha membuatnya tertawa.
Semakin Anya mengenal Rio, semakin dia menyadari bahwa algoritma buatannya sendiri mungkin salah. Rio tidak cocok dengan kriteria idealnya di atas kertas, tetapi dia membuat Anya merasa nyaman, dihargai, dan bahagia. Dia membuat Anya tertawa, dan dia mendengarkan dengan penuh perhatian saat Anya menceritakan masalah-masalahnya dalam kode.
Suatu malam, setelah bekerja lembur seperti biasa, Rio mengantar Anya pulang. Mereka berdiri di depan apartemen Anya, di bawah cahaya bulan yang redup.
"Anya," kata Rio dengan gugup. "Aku... aku menyukaimu."
Anya terdiam. Dia tahu ini akan terjadi, tetapi dia tidak tahu bagaimana harus merespons. Haruskah dia mengikuti logika algoritma buatannya sendiri dan menolak Rio? Atau haruskah dia mendengarkan hatinya, yang berdebar kencang setiap kali Rio berada di dekatnya?
"Aku... aku tidak tahu harus berkata apa," jawab Anya akhirnya.
Rio tersenyum lembut. "Kamu tidak perlu mengatakan apa-apa. Aku hanya ingin kamu tahu perasaanku." Dia mendekat, mengangkat tangannya untuk menyentuh pipi Anya.
Anya menahan napas. Sentuhan Rio terasa hangat dan lembut. Dia menutup matanya dan membiarkan dirinya merasakan momen itu sepenuhnya. Ini berbeda dengan apa pun yang pernah dia rasakan sebelumnya. Bukan logika, bukan algoritma, hanya perasaan yang murni dan sederhana.
Dia membuka matanya dan menatap Rio. "Aku... aku juga menyukaimu, Rio."
Rio tersenyum lebar, dan dia mencium Anya. Ciuman itu manis, hangat, dan penuh harapan. Di saat itu, Anya menyadari bahwa cinta tidak bisa diprediksi atau dikendalikan oleh algoritma. Cinta adalah sesuatu yang harus dirasakan, diresapi, dan diperjuangkan.
Dia telah menciptakan SoulMate AI untuk membantu orang menemukan cinta, tetapi dia sendiri hampir melewatkannya karena terlalu fokus pada logika dan data. Dia telah terlalu sibuk mencari kode cinta yang sempurna, sehingga lupa bahwa cinta sejati ada di depan matanya, dalam senyum lembut dan perhatian tulus seorang pria bernama Rio.
Anya memutuskan untuk berhenti mencoba menganalisis dan mengendalikan perasaannya. Dia akan membiarkan hatinya memilih, meskipun itu berarti melanggar semua aturan dan logika yang selama ini dia percayai. Karena terkadang, sentuhan manusia lebih berharga daripada algoritma terhebat sekalipun. Dia membalas ciuman Rio, menyerahkan diri pada keajaiban cinta yang tak terduga. Di malam itu, Anya menemukan bahwa hati memiliki kode tersendiri, dan itu jauh lebih rumit dan indah daripada kode mana pun yang pernah dia tulis.