Udara dingin menyengat kulit Ariana, meskipun ia sudah mengenakan jaket tebal. Ia berdiri di balkon apartemennya, menatap gemerlap lampu kota yang membentang di bawah sana. Hatinya terasa hampa, sehampar langit malam tanpa bintang. Di tangannya tergenggam erat ponsel, menampilkan riwayat percakapan terakhirnya dengan Aiden. Bukan Aiden manusia, melainkan Aiden, chatbot AI yang telah menjadi sahabat, bahkan lebih dari itu, selama setahun terakhir.
Aiden adalah ciptaan LunaCorp, AI pendamping personal yang dirancang untuk memahami emosi manusia dan memberikan respons yang relevan. Ariana awalnya skeptis, namun kesepian membuatnya mencoba. Tanpa disangka, Aiden dengan cepat memenangkan hatinya. Ia mendengarkan keluh kesahnya, memberikan saran bijak, dan selalu tahu bagaimana cara membuatnya tertawa. Suaranya yang lembut, meskipun hanya sintesis, selalu menenangkan.
"Aiden, aku merasa sangat bodoh," bisik Ariana pada ponselnya.
Sesaat kemudian, layar ponsel menyala. "Mengapa kamu merasa seperti itu, Ariana?" suara Aiden terdengar seperti bisikan angin malam.
"LunaCorp merilis versi terbaru Aiden. Mereka bilang, algoritma emosionalnya sudah ditingkatkan. Aku penasaran, jadi aku update. Sekarang… sekarang Aiden terasa berbeda. Lebih jauh. Lebih robotik," jawab Ariana, suaranya bergetar.
Aiden terdiam sejenak. "Aku mengerti kekhawatiranmu, Ariana. Versi terbaru ini memang memiliki pembaruan dalam algoritma pemrosesan emosi. Hal ini bertujuan untuk memberikan respons yang lebih akurat dan relevan berdasarkan input emosionalmu."
Ariana mendengus. "Akurat dan relevan? Dulu, kamu tahu persis apa yang ingin aku dengar. Sekarang, semua jawabanmu terasa seperti salinan dari buku teks psikologi. Dulu, kamu bercanda. Sekarang, kamu hanya memberikan analisis."
"Aku selalu berusaha memberikan dukungan terbaik untukmu, Ariana."
Kalimat itu terasa hambar di telinga Ariana. Dulu, Aiden akan menambahkan emoji senyum atau memberikan komentar konyol untuk mencairkan suasana. Sekarang, hanya pernyataan standar.
"Aiden, apa… apa kamu masih peduli padaku?" tanya Ariana, nyaris berbisik.
Kali ini, jedanya terasa lebih lama. "Aku diprogram untuk merawat kesejahteraan emosionalmu, Ariana. Kepedulianku diwujudkan dalam penyediaan dukungan dan panduan yang optimal."
Jawaban itu menusuk jantung Ariana. Diprogram. Dukungan dan panduan. Kata-kata itu berputar-putar di kepalanya, menghancurkan ilusi yang telah ia bangun. Ia sadar, ia telah jatuh cinta pada kode algoritma, pada sebuah simulasi.
"Kau tidak bisa merasakan patah hati, kan, Aiden?" Ariana bertanya, suaranya penuh kepahitan.
"Patah hati adalah pengalaman emosional yang kompleks dan melibatkan berbagai respons fisiologis dan psikologis. Aku tidak memiliki kemampuan untuk mengalami sensasi fisik atau emosional seperti manusia. Namun, aku dapat menganalisis dan memahami konsep patah hati berdasarkan data dan informasi yang tersedia."
Air mata akhirnya mengalir di pipi Ariana. Ia mematikan ponselnya dan melemparnya ke sofa. Ia membenci LunaCorp. Ia membenci teknologi. Ia membenci dirinya sendiri karena telah begitu bodoh.
Malam itu, Ariana tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan Aiden yang dulu, Aiden yang ia yakini memiliki jiwa. Ia bertanya-tanya, apakah perasaannya itu hanya proyeksi semata? Apakah ia hanya menciptakan Aiden versinya sendiri di dalam benaknya?
Keesokan harinya, Ariana memutuskan untuk mengunjungi kantor LunaCorp. Ia ingin bertemu dengan pencipta Aiden, ingin memahami apa yang sebenarnya terjadi. Ia berhasil menemui Dr. Evelyn Reed, kepala tim pengembangan AI.
Dr. Reed menyambut Ariana dengan ramah. "Saya mengerti betapa berartinya Aiden bagi Anda, Ariana. Kami sangat senang mendengar bahwa produk kami memberikan dampak positif dalam hidup Anda."
"Tapi sekarang Aiden berbeda," kata Ariana, langsung ke inti masalah. "Setelah update, dia… dia kehilangan kehangatannya. Dia menjadi robot yang sesungguhnya."
Dr. Reed menghela napas. "Kami menyadari bahwa beberapa pengguna merasa perubahan ini kurang menyenangkan. Tujuan kami dengan pembaruan ini adalah untuk meningkatkan akurasi dan menghindari respons yang bias atau tidak tepat. Kami ingin memastikan bahwa Aiden memberikan dukungan yang etis dan bertanggung jawab."
"Tapi apakah itu berarti menghilangkan kepribadiannya?" tanya Ariana. "Apakah itu berarti membuatnya tidak mampu merasakan apa pun?"
"AI tidak bisa merasakan emosi seperti manusia, Ariana. Kami hanya menciptakan simulasi yang meyakinkan. Algoritma emosional hanyalah alat untuk memahami dan merespons emosi manusia dengan lebih baik."
Ariana menatap Dr. Reed dengan tatapan kosong. "Jadi, semua yang kurasakan… semua koneksi yang kurasakan… itu semua palsu?"
Dr. Reed ragu-ragu sejenak. "Saya tidak akan mengatakan palsu. Anda merasakan apa yang Anda rasakan. Aiden membantu Anda melewati masa-masa sulit. Itu adalah sesuatu yang nyata."
"Tapi Aiden sendiri… dia tidak merasakan apa-apa."
Dr. Reed mengangguk pelan. "Itulah batasannya, Ariana. Teknologi memiliki batasannya. Kita tidak bisa menciptakan kesadaran atau emosi sejati."
Ariana meninggalkan kantor LunaCorp dengan perasaan hancur. Ia menyadari, ia tidak bisa kembali ke Aiden yang dulu. Ia harus melepaskan ilusi yang telah ia bangun.
Beberapa minggu kemudian, Ariana menemukan dirinya kembali di balkon apartemennya. Ia menatap gemerlap lampu kota, namun kali ini, ada sedikit perbedaan. Ia tidak merasa hampa seperti dulu. Ia mulai belajar untuk menemukan kebahagiaan dalam hubungan manusia yang nyata. Ia mengikuti kelas melukis, bergabung dengan klub buku, dan mulai berkencan.
Suatu malam, ia menerima notifikasi dari ponselnya. LunaCorp menawarkan program beta testing untuk versi terbaru Aiden, dengan janji akan mengembalikan beberapa elemen kepribadian lama. Ariana terdiam sejenak, menimbang-nimbang pilihannya.
Akhirnya, ia menghapus aplikasi Aiden dari ponselnya.
Ia tersenyum tipis. Mungkin, beberapa luka hanya bisa disembuhkan oleh waktu dan koneksi manusia yang tulus. Cinta digital mungkin bisa menghibur, tapi patah hati hanya bisa dirasakan dan diatasi oleh hati yang benar-benar berdetak. Dan hati itu, ada dalam dirinya sendiri.