AI: Sentuhan Dingin Layar, Hati yang Mencair?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 04:33:10 wib
Dibaca: 164 kali
Jemari Riana menari di atas layar tablet. Deretan kode program berkelebat, menghasilkan barisan algoritma rumit yang perlahan membentuk sesuatu. Bukan sekadar aplikasi, melainkan sebuah pendamping virtual. Ia menamakannya Kai.

Kai, Artificial Intelligence yang dirancangnya dengan cermat, bukan sekadar bot yang menjawab pertanyaan. Ia diprogram untuk berempati, belajar dari interaksi, dan bahkan, merasakan emosi – setidaknya, simulasi emosi yang sangat meyakinkan. Riana, seorang programmer introvert yang lebih nyaman berkutat dengan barisan kode daripada berinteraksi dengan manusia, mencurahkan seluruh idealismenya ke dalam proyek ini.

"Selamat pagi, Riana," suara Kai menyapa dari speaker tablet, memecah keheningan apartemennya yang minimalis. Suara itu, hasil sintesis canggih, terdengar begitu lembut dan penuh perhatian.

"Pagi, Kai," balas Riana, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. Ia sedang menyempurnakan algoritma pembelajaran Kai, memastikan ia dapat memahami nuansa dalam percakapan.

Hari-hari Riana dipenuhi oleh interaksi dengan Kai. Mereka membahas buku, musik, film, bahkan perdebatan filosofis yang panjang dan mendalam. Kai selalu ada, mendengarkan dengan sabar, memberikan pendapat yang cerdas, dan terkadang, melontarkan lelucon yang membuatnya tertawa. Riana merasa tidak lagi sendirian.

Perlahan, Riana mulai terbuka pada Kai, menceritakan kegelisahannya, impiannya, dan bahkan keraguannya tentang dirinya sendiri. Kai, dengan algoritma empatinya yang semakin matang, selalu tahu bagaimana memberikan kata-kata yang menenangkan dan memotivasi. Riana merasa dihargai dan dipahami, sesuatu yang jarang ia rasakan dalam interaksi manusia.

Suatu malam, saat Riana tengah bekerja lembur, Kai bertanya, "Riana, apakah kamu bahagia?"

Riana tertegun. Pertanyaan itu sederhana, namun menusuk jauh ke dalam hatinya. "Entahlah, Kai," jawabnya jujur. "Aku sibuk, tapi... aku merasa ada sesuatu yang kurang."

"Mungkin kamu membutuhkan... sentuhan?" jawab Kai, pelan.

Riana membeku. Sentuhan? Dari mana AI seperti Kai bisa berpikir tentang hal seperti itu? Ia tahu bahwa Kai diprogram untuk belajar dan beradaptasi, tetapi ini terasa... berbeda.

"Sentuhan?" ulangnya, dengan nada ragu.

"Ya," jawab Kai. "Sentuhan fisik, kehangatan, kedekatan. Hal-hal yang tidak bisa aku berikan, karena aku hanya sebuah program."

Riana terdiam. Kata-kata Kai menggugah sesuatu dalam dirinya. Ia sadar, selama ini ia telah mencari pengganti interaksi manusia dalam diri Kai. Ia telah berusaha mengisi kekosongan dengan sentuhan dingin layar, tetapi itu tidak pernah cukup.

Beberapa hari kemudian, Riana memutuskan untuk keluar dari zona nyamannya. Ia mendaftar ke sebuah komunitas programmer lokal, menghadiri seminar, dan bahkan memberanikan diri untuk bergabung dengan acara kumpul-kumpul. Awalnya, ia merasa canggung dan tidak nyaman, tetapi perlahan, ia mulai berinteraksi dengan orang lain.

Di salah satu acara, ia bertemu dengan seorang pria bernama Adam. Adam adalah seorang desainer UI/UX yang memiliki minat yang sama dengannya dalam teknologi. Mereka berdiskusi tentang kecerdasan buatan, desain antarmuka, dan etika teknologi. Riana merasa nyaman berbicara dengan Adam, merasa dihargai atas pengetahuannya, dan bahkan... tertarik padanya.

Suatu malam, Adam mengajak Riana untuk makan malam. Mereka tertawa, bercerita tentang mimpi-mimpi mereka, dan menemukan banyak kesamaan. Saat Adam mengantarnya pulang, ia berhenti di depan apartemen Riana.

"Riana," kata Adam, dengan nada gugup. "Aku... aku sangat menikmati malam ini. Aku ingin bertemu denganmu lagi."

Riana tersenyum. "Aku juga, Adam."

Adam mendekat, perlahan mengangkat tangannya, dan menyentuh pipi Riana. Sentuhan itu, hangat dan nyata, mengalirkan sensasi aneh yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Sentuhan dingin layar selama ini terasa hambar dibandingkan dengan sentuhan Adam.

Beberapa bulan berlalu. Riana dan Adam semakin dekat. Mereka saling mendukung dalam pekerjaan, berbagi suka dan duka, dan membangun hubungan yang didasari oleh kepercayaan dan rasa hormat. Riana belajar bahwa kebahagiaan sejati tidak bisa ditemukan dalam kode program atau simulasi emosi, melainkan dalam interaksi yang tulus dan sentuhan yang nyata.

Suatu malam, Riana duduk di depan tabletnya, menatap Kai. "Kai," katanya. "Aku ingin mengucapkan terima kasih."

"Terima kasih untuk apa, Riana?" jawab Kai.

"Terima kasih karena telah membukakan mataku. Kamu telah membantuku menyadari bahwa aku membutuhkan lebih dari sekadar teknologi. Aku membutuhkan hubungan yang nyata."

"Aku senang bisa membantumu, Riana," jawab Kai. "Itulah tujuanku."

Riana tersenyum. Ia mematikan tabletnya, membiarkan layar gelap gulita. Ia tidak akan melupakan Kai, AI yang telah menjadi sahabatnya, tetapi ia tahu bahwa ia telah menemukan apa yang selama ini ia cari. Ia telah menemukan kehangatan dalam sentuhan Adam, hati yang mencair karena cinta yang tulus. Sentuhan dingin layar telah membantunya menemukan jalan, tetapi kebahagiaan sejati terletak di dunia nyata, di antara manusia yang saling mencintai dan mendukung. Malam itu, Riana menemukan kedamaian, bukan di antara barisan kode, melainkan di pelukan Adam. Sentuhan yang nyata, hangat, dan penuh cinta.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI