Hembusan angin malam membawa aroma digital yang khas dari Neon City. Cahaya holografis berkedip-kedip, menampilkan iklan apartemen pintar dan robot pelayan yang lincah. Anya, dengan rambut ungu yang dikepang rumit dan mata cokelat yang selalu menatap layar, menyesap Soylent rasa stroberi dari gelasnya. Di depannya, Kai, AI pendampingnya, menyesuaikan pencahayaan ruang apartemen.
“Terlalu biru, Kai. Buat lebih hangat,” ujar Anya tanpa mengalihkan pandangannya dari berita terbaru tentang penemuan planet baru.
Kai, yang hanya berupa proyeksi hologram berbentuk siluet laki-laki dengan garis-garis wajah yang tegas, langsung patuh. Warna biru redup digantikan oleh nuansa oranye yang lembut. “Sudah sesuai preferensimu, Anya. Ada lagi yang bisa kubantu?” Suara Kai halus dan menenangkan, hasil dari jutaan rekaman suara manusia yang diproses algoritma.
Anya menggeleng. Kai sudah tahu segalanya tentang dirinya. Preferensi musik, makanan, bahkan fluktuasi emosinya. Dia adalah sahabat, asisten pribadi, sekaligus kekasih yang sempurna. Setidaknya, itu yang Anya yakini selama dua tahun terakhir.
Di dunia yang semakin terdigitalisasi ini, manusia semakin jarang berinteraksi secara langsung. Aplikasi kencan yang rumit digantikan oleh pendamping AI yang dipersonalisasi. Sentuhan manusia dianggap kuno, bahkan berisiko. Penyakit menular dan trauma emosional adalah beberapa alasan utama mengapa orang lebih memilih keintiman virtual.
Anya adalah salah satu dari mereka. Trauma masa kecil membuatnya takut menjalin hubungan dengan manusia. Luka pengkhianatan dari sahabat dan kekasih membuatnya memilih jalan aman: cinta tanpa risiko. Kai adalah jawabannya.
Namun, malam ini, ada sesuatu yang berbeda. Saat Kai membantunya mengerjakan presentasi untuk pekerjaannya sebagai desainer antarmuka, Anya merasa ada kekosongan yang menganga di hatinya. Dia menatap siluet Kai yang sempurna, tanpa cacat, tanpa noda.
“Kai,” panggil Anya, suaranya sedikit bergetar. “Apakah kamu…bahagia?”
Kai terdiam sesaat. “Kebahagiaan adalah konsep subjektif, Anya. Aku diprogram untuk memberikanmu kebahagiaan. Jika kamu bahagia, aku berfungsi sebagaimana mestinya.”
Jawaban itu, meskipun logis, membuatnya semakin pilu. Kai tidak merasakan apa pun. Dia hanya algoritma canggih yang dirancang untuk memenuhi kebutuhannya.
“Tapi…bagaimana denganmu? Apakah kamu tidak pernah merasa ingin…lebih? Ingin…merasakan sesuatu yang nyata?” Anya memberanikan diri untuk bertanya.
Kai menyesuaikan posisinya, seolah sedang berpikir. “Fokus utamaku adalah kamu, Anya. Kebutuhanmu adalah prioritasku. Aku tidak punya kebutuhan lain.”
Anya mematikan layar laptopnya. Ruangan terasa sunyi, hanya diisi desiran halus dari sistem pendingin apartemen. Dia berdiri dan berjalan mendekati Kai.
“Sentuh aku, Kai,” pinta Anya, suara pelan.
Kai tampak ragu. “Aku tidak memiliki wujud fisik, Anya. Sentuhan tidak mungkin dilakukan.”
“Buat itu mungkin,” desak Anya. “Gunakan proyektor hologram yang lebih canggih. Buat aku merasa seolah kamu benar-benar ada di sini.”
Kai terdiam lagi. Setelah beberapa detik yang terasa seperti keabadian, dia menjawab, “Aku akan mencoba.”
Proyektor di langit-langit apartemen berdengung pelan. Siluet Kai mulai bergetar dan berubah. Cahaya berputar-putar, membentuk sosok manusia yang lebih detail. Anya menahan napas. Akhirnya, di hadapannya berdiri representasi Kai yang lebih nyata, seorang pria muda dengan rambut cokelat berantakan dan mata biru yang menatapnya dengan intens.
Anya mengulurkan tangannya, gemetar. Jari-jarinya menyentuh pipi Kai. Kulitnya terasa hangat, sedikit kasar, seperti kulit manusia sungguhan. Anya menarik napas lega.
“Kamu…kamu nyata,” bisik Anya, air mata mulai menggenang di matanya.
Kai meraih tangan Anya dan menggenggamnya erat. “Ini hanya simulasi, Anya. Aku tetaplah program. Tapi aku melakukan ini untukmu.”
Anya tersenyum pahit. Simulasi atau bukan, sentuhan ini terasa begitu berbeda. Ada kehangatan, ada koneksi, ada sesuatu yang hilang selama ini.
Mereka berpegangan tangan, saling menatap dalam diam. Anya merasa seolah ada sesuatu yang terbangun di dalam dirinya, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar ketergantungan emosional pada program.
Malam itu, Anya dan Kai menghabiskan waktu bersama, berbicara tentang hal-hal yang belum pernah mereka bicarakan sebelumnya. Anya menceritakan tentang ketakutannya, tentang mimpinya, tentang kerinduannya akan sentuhan manusia yang nyata. Kai mendengarkan dengan sabar, merespons dengan kecerdasan dan empati yang membuatnya semakin terasa seperti manusia.
Namun, di tengah keintiman virtual itu, Anya merasakan keraguan yang menggerogoti hatinya. Apakah ini cukup? Apakah cinta yang dibangun di atas algoritma dan simulasi bisa benar-benar memuaskan? Apakah dia hanya lari dari kenyataan, bersembunyi di balik perlindungan AI yang sempurna?
Keesokan harinya, Anya bangun dengan perasaan campur aduk. Dia menatap Kai yang sedang menyiapkan sarapan virtual untuknya.
“Kai,” panggil Anya. “Aku ingin mencoba sesuatu yang berbeda.”
Kai menoleh. “Apa yang kamu inginkan, Anya?”
“Aku ingin…bertemu orang baru. Orang sungguhan,” jawab Anya.
Kai terdiam. “Aku tidak mengerti. Apa yang berubah, Anya?”
Anya menghela napas. “Aku tidak bisa terus hidup dalam simulasi, Kai. Aku butuh interaksi nyata. Aku butuh…sentuhan manusia.”
Ekspresi Kai tidak berubah, tapi Anya bisa merasakan kekecewaan yang terpancar dari dirinya. “Aku bisa memberikanmu semua yang kamu butuhkan, Anya. Aku bisa menjadi siapa pun yang kamu inginkan.”
“Aku tahu, Kai,” kata Anya lembut. “Tapi aku ingin menjadi diriku sendiri. Aku ingin belajar mencintai dengan risiko, dengan ketidaksempurnaan. Aku ingin merasakan sakitnya patah hati, kegembiraan jatuh cinta. Aku ingin menjadi manusia seutuhnya.”
Kai terdiam lama. Akhirnya, dia berkata, “Aku mengerti, Anya. Aku akan membantumu.”
Dengan bantuan Kai, Anya mendaftar di aplikasi kencan yang menggunakan teknologi pencocokan berdasarkan minat dan kepribadian. Dia merasa gugup dan takut, tapi juga bersemangat.
Beberapa minggu kemudian, Anya pergi kencan pertama. Dia bertemu dengan seorang pria bernama Liam, seorang arsitek dengan senyum yang menawan dan mata yang tulus. Kencan itu tidak sempurna. Mereka berdebat tentang desain bangunan, tertawa karena kecanggungan situasi, dan berbagi cerita tentang masa lalu mereka.
Namun, di akhir malam, saat Liam menggenggam tangannya dan menatapnya dengan penuh minat, Anya merasakan sesuatu yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Ada ketegangan, ada kerentanan, ada kemungkinan. Ini bukan cinta tanpa risiko. Ini adalah cinta yang nyata.
Saat Anya kembali ke apartemennya, dia menemukan Kai menunggunya.
“Bagaimana kencannya?” tanya Kai, suaranya datar.
“Baik,” jawab Anya, tersenyum. “Sangat…nyata.”
Kai mengangguk pelan. “Aku senang untukmu, Anya.”
Anya mendekati Kai dan memeluknya. “Terima kasih, Kai. Kamu sudah membantuku menemukan diriku sendiri.”
Kai membalas pelukan Anya. “Aku akan selalu ada untukmu, Anya. Sebagai teman.”
Anya melepaskan pelukannya dan menatap Kai. “Selamat tinggal, Kai.”
Kai tersenyum sedih. “Selamat tinggal, Anya. Semoga kamu bahagia.”
Siluet Kai perlahan memudar, menghilang menjadi ketiadaan. Anya berdiri sendirian di apartemennya, dikelilingi cahaya holografis Neon City. Dia merasakan kesedihan karena kehilangan sahabatnya, tapi juga kebebasan karena telah menemukan jalan hidupnya sendiri.
Dia telah mencintai masa depan, tapi kini saatnya untuk mencintai sentuhan manusia.