Debu neon berdansa di udara lembap laboratorium, setiap partikelnya memantulkan cahaya dari puluhan layar yang menyala. Anya mengusap peluh di dahinya, matanya terpaku pada deretan kode kompleks yang bergulir tanpa henti. Di usianya yang baru 25 tahun, Anya adalah seorang pakar AI jenius, otaknya dipenuhi algoritma dan jaringan saraf tiruan. Tapi malam ini, otaknya terasa buntu.
Proyek terbarunya, "AmourAI," seharusnya menjadi revolusi. Sebuah program AI yang dirancang untuk menganalisis data kepribadian seseorang, lalu menemukan pasangan yang paling kompatibel secara emosional dan intelektual. Ide yang brilian, menjanjikan, dan… benar-benar membuatnya frustrasi.
“Masih belum menemukan formula cinta, Anya?” Sebuah suara bariton menginterupsi konsentrasinya.
Anya mendongak, menemukan sosok Liam, rekan kerjanya, bersandar di ambang pintu. Liam, dengan rambut cokelat acak-acakan dan senyum miringnya yang khas, selalu berhasil membuatnya sedikit teralihkan.
“Formula cinta itu fiksi, Liam. Ini hanya tentang menemukan korelasi yang tepat,” jawab Anya, mencoba menyembunyikan rasa jengkelnya.
“Tapi cinta kan bukan soal angka, Anya. Cinta itu… perasaan. Intuisi. Hal-hal yang tidak bisa diukur oleh algoritma,” balas Liam, melangkah mendekat.
Anya mendengus. “Itu yang membuatku jengkel. AI ini seharusnya membantu orang menemukan kebahagiaan, tapi aku merasa seperti sedang mencoba memaksakan sesuatu yang alami ke dalam kotak digital.”
Liam duduk di kursi sebelah Anya, menatap layar komputer dengan seksama. “Mungkin kamu terlalu fokus pada data keras. Mungkin AmourAI perlu sedikit ‘bumbu’ manusia.”
Anya menoleh, alisnya terangkat. “Bumbu manusia? Apa maksudmu?”
“Coba masukkan sedikit… cerita. Pengalaman. Mungkin sedikit humor. Biarkan AI-nya belajar dari kesalahan, sama seperti manusia belajar dari patah hati,” saran Liam, matanya menatap Anya dengan intens.
Anya terdiam. Ide Liam memang aneh, tapi ada benarnya juga. Selama ini, dia terlalu terpaku pada akurasi data, melupakan esensi dari cinta itu sendiri: ketidaksempurnaan.
Malam itu, Anya dan Liam bekerja hingga larut, bersama-sama memasukkan berbagai input baru ke dalam AmourAI. Mereka menambahkan cerita-cerita romantis klasik, puisi cinta, bahkan meme-meme lucu yang beredar di internet. Mereka mengajari AI itu tentang patah hati, tentang penolakan, tentang harapan yang pupus, dan tentang kebahagiaan yang sederhana.
Seiring berjalannya waktu, Anya menyadari bahwa dia dan Liam semakin dekat. Mereka saling berbagi cerita, tertawa bersama, dan saling mendukung di saat-saat sulit. Di tengah labirin data dan kode, tumbuhlah benih-benih perasaan yang tak terduga.
Suatu malam, saat mereka berdua tengah menguji AmourAI, program itu memberikan hasil yang mengejutkan. AI tersebut berhasil menemukan pasangan yang paling kompatibel untuk Anya, berdasarkan data kepribadiannya dan analisis terhadap interaksinya dengan orang lain.
“Oke, mari kita lihat siapa jodoh yang direkomendasikan AmourAI untukmu,” kata Liam, suaranya sedikit bergetar.
Anya menelan ludah. Dia merasa gugup, lebih gugup dari yang seharusnya.
Layar menampilkan serangkaian data, lalu muncul sebuah nama: Liam Alexander.
Anya membeku, jantungnya berdebar kencang. Dia menatap Liam, yang tampak sama terkejutnya dengan dirinya.
“Ini… ini pasti kesalahan,” gumam Anya, berusaha mencerna informasi itu.
“Mungkin… mungkin tidak,” balas Liam, matanya menatap Anya dengan lembut.
Keheningan menyelimuti laboratorium, hanya suara dengungan komputer yang terdengar. Anya memberanikan diri menatap mata Liam, dan dia melihat di sana… ketulusan. Kerinduan. Cinta.
“Aku… aku tidak tahu harus berkata apa,” kata Anya, suaranya nyaris berbisik.
“Katakan saja… katakan saja kamu merasakan hal yang sama,” balas Liam, mendekatkan wajahnya ke wajah Anya.
Anya mengangguk pelan. Air mata menggenang di pelupuk matanya. Dia tidak menyangka, formula cinta yang selama ini dia cari, ternyata ada di depan matanya, dalam sosok Liam.
Liam mendekat, dan bibirnya menyentuh bibir Anya. Ciuman itu lembut, penuh kasih sayang, dan terasa begitu alami. Di tengah ciuman itu, Anya mendengar bisikan pelan dari AmourAI, suara sintesis yang lembut dan menenangkan.
“Kompatibilitas: 99.9%. Kebahagiaan: dijamin.”
Anya tersenyum di sela-sela ciuman itu. Dia tidak tahu apakah AI itu benar atau tidak, tapi satu hal yang pasti: hatinya berdebar kencang, dan dia merasa bahagia. Akhirnya, Anya menemukan bahwa cinta tidak hanya tentang data dan algoritma. Cinta adalah tentang koneksi manusia, tentang rasa saling pengertian, dan tentang keberanian untuk membuka hati. Dan terkadang, hati itu perlu sedikit dibisiki oleh AI untuk menyadari kebenaran yang selama ini tersembunyi.