Algoritma Asmara: Saat Hati Tak Lagi Rasional

Dipublikasikan pada: 08 Jun 2025 - 02:00:17 wib
Dibaca: 187 kali
Aplikasi kencan itu berkedip-kedip di layar ponsel Anya, menawarkan serangkaian wajah yang, jujur saja, terasa hambar. Algoritma, pikirnya sinis, lagi-lagi gagal memahami esensi dirinya. Profilnya sudah diisi dengan jujur: penyuka kopi pahit, penggila film klasik, dan insinyur perangkat lunak yang menghabiskan terlalu banyak waktu dengan kode daripada interaksi sosial. Namun, yang disajikan hanyalah foto-foto pria berotot dengan hobi mendaki gunung, atau para pengusaha muda yang membicarakan tentang valuasi startup.

Anya menghela napas, nyaris menutup aplikasi itu untuk kesekian kalinya. Namun, jari telunjuknya justru melayang ke sebuah profil yang muncul di urutan paling bawah. Foto profilnya buram, seolah diambil dengan kamera kentang. Namanya tertulis singkat: Kai. Tidak ada deskripsi klise tentang pencapaian atau hobi, hanya satu baris kalimat yang mencuri perhatian Anya: “Mencari seseorang untuk mendiskusikan paradoks Fermi sambil menikmati hujan meteor.”

Anya tertawa kecil. Ini gila. Ia tidak pernah menyangka akan menemukan seseorang dengan minat seaneh itu di aplikasi kencan. Biasanya, ia akan langsung menggeser ke kiri. Namun, ada sesuatu dalam kesederhanaan dan kejujuran profil Kai yang membuatnya penasaran. Ia memutuskan untuk mengambil risiko.

“Paradoks Fermi? Jadi, kamu percaya alien itu bersembunyi di suatu tempat?” Anya mengetik pesan itu, lalu mengirimkannya.

Balasan datang hampir seketika. “Mungkin mereka terlalu pintar untuk berinteraksi dengan kita. Atau mungkin, mereka sudah melewati masa kehancuran yang kita alami sekarang.”

Percakapan itu mengalir deras. Mereka membahas teori relativitas, implikasi kecerdasan buatan, bahkan nostalgia akan game-game retro yang dulu mereka mainkan saat kecil. Anya merasa seperti menemukan cermin jiwanya. Kai bukan hanya pintar, ia juga memiliki selera humor yang sama nyelenehnya dengan dirinya.

Selama seminggu berikutnya, Anya dan Kai bertukar pesan setiap hari. Mereka belum pernah bertemu secara langsung, hanya berinteraksi melalui layar ponsel. Namun, Anya merasa lebih dekat dengan Kai daripada dengan siapapun yang pernah ia kencani sebelumnya. Algoritma yang ia benci ternyata, entah bagaimana, mempertemukannya dengan seseorang yang begitu cocok.

Suatu malam, Kai mengajaknya bertemu. “Ada hujan meteor Perseid malam ini. Bagaimana kalau kita pergi ke observatorium kota? Aku sudah memesan tiket.”

Jantung Anya berdebar kencang. Ia gugup, tetapi juga bersemangat. Akhirnya, ia akan bertemu dengan Kai yang selama ini hanya ia kenal melalui kata-kata.

Malam itu, Anya mengenakan jaket tebal dan syal rajutan kesayangannya. Ia tiba di observatorium dan mencari-cari sosok yang sesuai dengan bayangannya tentang Kai. Ia melihat seorang pria berdiri di dekat teleskop, membelakanginya. Pria itu mengenakan kemeja flanel kotak-kotak dan topi rajut yang agak kebesaran.

Anya mendekat. “Kai?”

Pria itu berbalik. Anya tertegun. Kai tidak seperti yang ia bayangkan. Kulitnya pucat, rambutnya berantakan, dan kacamatanya tebal. Ia tampak seperti seorang ilmuwan gila yang baru keluar dari laboratorium.

Anya merasakan sedikit kekecewaan. Ketampanan memang bukan segalanya, tetapi ia tidak bisa menyangkal bahwa ia sedikit berharap Kai akan terlihat lebih…menarik.

Namun, ketika Kai tersenyum, Anya melupakan semua keraguan itu. Senyumnya tulus dan hangat, membuat matanya berbinar-binar.

“Anya? Akhirnya kita bertemu,” kata Kai. Suaranya lembut dan menenangkan.

Malam itu, mereka menghabiskan waktu berjam-jam menatap langit malam, membicarakan tentang bintang-bintang dan misteri alam semesta. Anya merasa nyaman berada di dekat Kai. Ia tidak perlu berpura-pura atau berusaha menjadi orang lain. Ia bisa menjadi dirinya sendiri sepenuhnya.

Mereka bahkan menyaksikan beberapa meteor yang melesat di langit, meninggalkan jejak cahaya yang indah. Anya merasakan keajaiban merayapi hatinya. Algoritma mungkin telah mempertemukan mereka, tetapi koneksi mereka terasa jauh lebih dalam daripada sekadar data dan kode.

Setelah kencan itu, hubungan Anya dan Kai semakin dekat. Mereka menghabiskan waktu bersama, menonton film-film klasik, bermain game retro, dan tentu saja, berdiskusi tentang teori-teori ilmiah yang rumit. Anya menyadari bahwa ia jatuh cinta pada Kai. Bukan karena penampilannya, tetapi karena kecerdasan, kebaikan, dan keunikan dirinya.

Suatu malam, ketika mereka sedang duduk di taman kota, Anya memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya.

“Kai, aku…aku menyukaimu,” kata Anya, wajahnya memerah.

Kai menatapnya dengan tatapan lembut. “Aku juga menyukaimu, Anya. Sangat.”

Mereka berciuman di bawah cahaya bulan. Ciuman itu sederhana, tetapi penuh dengan perasaan yang mendalam. Anya merasa bahagia seperti tidak pernah sebelumnya.

Beberapa bulan kemudian, Anya dan Kai memutuskan untuk menikah. Mereka mengadakan pernikahan sederhana di observatorium kota, dikelilingi oleh teman-teman dan keluarga terdekat. Saat mereka mengucapkan janji pernikahan, Anya menyadari bahwa algoritma asmara memang bisa bekerja, meskipun dengan cara yang tidak terduga.

Algoritma mungkin telah mempertemukan mereka, tetapi cinta mereka tumbuh karena sesuatu yang lebih dalam dan lebih bermakna. Itu adalah koneksi jiwa, pemahaman yang mendalam, dan kemampuan untuk menerima satu sama lain apa adanya.

Anya menatap Kai, yang berdiri di sampingnya, tersenyum bahagia. Ia tahu bahwa ia telah menemukan belahan jiwanya. Dan ia tahu bahwa cinta mereka akan bertahan selamanya, melampaui algoritma dan logika, bahkan hingga ke bintang-bintang. Karena terkadang, hati memang tak lagi rasional. Ia memilih apa yang ia inginkan, melampaui segala perhitungan dan prediksi. Ia memilih cinta. Dan itu adalah pilihan terbaik yang pernah ia buat.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI