Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis milik Anya. Di usia 28 tahun, ia adalah seorang AI ethicist di sebuah perusahaan teknologi raksasa. Pekerjaannya memastikan algoritma tetap adil dan tidak bias, tugas yang berat di dunia yang semakin dikendalikan oleh kode. Tapi malam ini, pikirannya melayang jauh dari machine learning. Ia membuka aplikasi kencan "SoulMate," yang menggunakan algoritma kecocokan kepribadian terdepan. Ia sudah mencoba berbagai aplikasi, namun selalu berakhir kecewa. Kali ini, ia berharap SoulMate bisa menemukan seseorang yang benar-benar mengerti dirinya.
Anya menggeser foto-foto. Senyum palsu, hobi generik, dan bio yang terlalu dipoles. Setiap profil terasa seperti salinan karbon dari yang sebelumnya. Ia hampir menyerah ketika sebuah profil menarik perhatiannya. Namanya, Kai. Foto profilnya menunjukkan ia sedang memandangi langit berbintang dengan senyum tulus. Bio-nya singkat: "Mencari koneksi yang lebih dalam dari sekadar permukaan."
Anya terpancing. Ia mengirimkan pesan sederhana, "Langit malam memang indah, ya?"
Balasan datang hampir seketika. "Terutama jika ada seseorang untuk memandangnya bersamamu," jawab Kai.
Percakapan mereka mengalir dengan mudah. Mereka membahas buku favorit, film yang menginspirasi, dan mimpi-mimpi mereka yang terdalam. Kai ternyata seorang software engineer yang bekerja di perusahaan startup kecil yang fokus pada pengembangan AI untuk membantu orang-orang dengan disabilitas. Ia memiliki idealisme yang sama dengan Anya, keyakinan bahwa teknologi bisa digunakan untuk kebaikan.
Setelah beberapa hari saling bertukar pesan, mereka memutuskan untuk bertemu. Anya gugup. Ia sudah terlalu lama melindungi hatinya, takut terluka lagi. Tapi ada sesuatu tentang Kai yang membuatnya merasa aman dan penasaran.
Mereka bertemu di sebuah kedai kopi kecil yang tersembunyi di balik gedung-gedung perkantoran. Kai ternyata lebih menawan dari fotonya. Matanya berbinar ketika ia berbicara tentang coding dan cita-citanya. Anya merasa nyaman berada di dekatnya. Mereka tertawa, berdebat tentang etika AI, dan berbagi cerita tentang masa lalu mereka.
Malam itu, Anya merasa ada sesuatu yang berbeda. Ia merasa terhubung dengan Kai pada tingkat yang lebih dalam daripada dengan siapa pun sebelumnya. Ia mulai membayangkan masa depan bersama Kai, sebuah masa depan di mana mereka bisa saling mendukung dan membangun dunia yang lebih baik.
Namun, kebahagiaan Anya tidak berlangsung lama. Seminggu setelah kencan pertama mereka, Kai tiba-tiba menghilang. Pesan-pesannya tidak dibalas, panggilannya tidak diangkat. Anya mencoba mencari tahu apa yang terjadi, tapi usahanya sia-sia.
Kebingungan dan kekecewaan melanda Anya. Apakah ini kesalahan SoulMate? Apakah algoritmanya salah menilai kompatibilitas mereka? Apakah Kai hanyalah penipu ulung yang berhasil menipunya?
Ia kembali pada pekerjaannya, mencoba mengubur perasaannya dalam kode dan algoritma. Ia semakin skeptis terhadap aplikasi kencan dan janji-janji palsu tentang cinta sejati. Ia memutuskan untuk fokus pada karirnya dan melupakan Kai.
Beberapa bulan kemudian, Anya diundang untuk menjadi pembicara di sebuah konferensi teknologi bergengsi. Ia akan membahas tentang pentingnya etika dalam pengembangan AI. Ketika ia naik ke panggung, matanya tertuju pada seorang pria yang duduk di barisan depan. Itu Kai.
Jantung Anya berdebar kencang. Ia berusaha untuk tetap tenang dan fokus pada presentasinya, tapi pikirannya terus melayang pada Kai. Setelah presentasi selesai, ia langsung menghampirinya.
"Kai?" sapa Anya dengan suara bergetar.
Kai tersenyum, tapi senyumnya tampak sedih. "Anya, aku senang melihatmu."
"Kenapa kamu menghilang?" tanya Anya dengan nada sedikit menuduh.
Kai menghela napas panjang. "Itu cerita yang panjang. Aku didiagnosis dengan penyakit langka beberapa hari setelah kencan pertama kita. Aku harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit."
Anya terkejut. Ia tidak tahu harus berkata apa.
"Aku tidak ingin membebani kamu dengan masalahku," lanjut Kai. "Aku tahu kamu memiliki masa depan yang cerah dan aku tidak ingin menghalanginya."
"Kamu bodoh," kata Anya, air mata mulai menggenang di matanya. "Kenapa kamu tidak memberitahuku? Aku bisa membantumu. Kita bisa menghadapinya bersama."
Kai meraih tangan Anya. "Aku takut. Aku takut kamu akan meninggalkanku ketika kamu tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Anya menggenggam tangan Kai erat-erat. "Aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Aku peduli padamu, Kai. Aku peduli dengan apa yang kamu alami."
Kai memeluk Anya erat-erat. "Aku juga peduli padamu, Anya. Aku sangat peduli."
Saat itu, Anya menyadari bahwa algoritma memang bisa membantu menemukan seseorang yang cocok, tapi cinta sejati membutuhkan lebih dari sekadar data dan kode. Cinta membutuhkan keberanian untuk membuka hati, menerima kekurangan, dan saling mendukung dalam suka dan duka.
Mereka menghabiskan sisa hari itu untuk berbicara, saling berbagi cerita tentang apa yang telah mereka alami. Anya berjanji untuk selalu berada di sisi Kai, membantunya melewati masa-masa sulit. Kai berjanji untuk tidak lagi menyembunyikan perasaannya dan mempercayai cinta yang mereka miliki.
Malam itu, mereka memandangi langit berbintang bersama. Kali ini, mereka tidak hanya melihat keindahan alam, tapi juga keindahan cinta yang mereka temukan di balik algoritma dan kode. Anya tersenyum. Ia tahu perjalanan mereka tidak akan mudah, tapi ia yakin mereka bisa menghadapinya bersama. Karena pada akhirnya, yang terpenting bukanlah bagaimana mereka bertemu, tapi bagaimana mereka memilih untuk saling mencintai. Hatinya yang sempat terprogram untuk berhati-hati, kini sepenuhnya terbuka untuk Kai, cinta yang ditemukan di balik algoritma, cinta yang terasa begitu nyata.