Hujan deras mengetuk jendela kafe, seirama dengan degup jantung Ara. Aroma kopi pahit tak mampu mengusir rasa getir yang mencengkeram dadanya. Di seberang meja, Bayu, kekasihnya, asyik dengan ponsel. Jemarinya menari di atas layar, wajahnya diterangi cahaya biru yang dingin. Sudah satu jam mereka duduk di sini, dan Bayu nyaris tak menyapanya.
“Bay, kita perlu bicara,” akhirnya Ara membuka suara, mencoba menahan nada gemetar.
Bayu mendongak, alisnya terangkat sedikit. “Hm? Bicara apa, Ra? Aku lagi menyelesaikan laporan penting.”
Laporan. Itu selalu jadi alasan. Laporan, meeting, deadline. Seolah hidup Bayu hanya berputar di sekitar angka dan grafik, bukan di sekeliling Ara.
“Tentang kita,” lanjut Ara, suaranya kini lebih tegas. “Aku merasa… kamu menjauh.”
Bayu menghela napas panjang. “Ra, jangan mulai, deh. Aku capek. Kamu tahu kan, pekerjaanku lagi padat-padatnya?”
“Aku tahu, Bay. Tapi apa aku tidak lebih penting dari pekerjaanmu?” Ara menatapnya lekat, berharap menemukan secercah perhatian di mata Bayu.
Namun yang dilihatnya hanyalah kelelahan. Kelelahan dan kejengkelan.
“Tentu saja kamu penting, Ra. Tapi…” Bayu kembali menunduk, mengetik sesuatu di ponselnya. “Bisakah kita bicarakan ini nanti? Aku janji, setelah laporanku selesai, aku akan curahkan seluruh perhatianku padamu.”
Janji. Kata itu terasa hambar di telinga Ara. Sudah berapa kali Bayu berjanji? Berapa kali pula janji itu dilanggar?
Ara bangkit dari duduknya. “Tidak, Bayu. Kita bicarakan sekarang. Aku tidak bisa lagi seperti ini.”
Bayu akhirnya meletakkan ponselnya. Kali ini, ia menatap Ara dengan serius. “Apa maksudmu, Ra?”
“Maksudku… aku lelah, Bay. Lelah merasa tidak dihargai. Lelah merasa sendirian, padahal aku punya kekasih.” Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Ara.
Bayu terdiam. Ia menatap Ara, tapi tatapannya kosong. Seperti melihat seseorang yang asing.
“Aku… aku tidak tahu harus berkata apa,” gumam Bayu, akhirnya.
Jawaban itu seperti palu yang menghantam hati Ara. Ia tahu, ini akhir.
Ara mengusap air matanya. “Tidak apa-apa, Bayu. Aku mengerti.”
Ia berbalik, meninggalkan Bayu yang terpaku di kursi. Hujan semakin deras, menutupi isak tangisnya. Ara berjalan tanpa arah, hatinya hancur berkeping-keping.
Sesampainya di apartemen, Ara langsung merebahkan diri di sofa. Ia meraih laptopnya, mencari pelipur lara di dunia maya. Iseng, ia membuka aplikasi "Bot Hati", sebuah aplikasi AI yang diprogram untuk memberikan dukungan emosional.
Awalnya, Ara skeptis. Bagaimana mungkin sebuah program komputer bisa memahami perasaannya? Namun, ia merasa tidak punya pilihan lain. Ia mengetikkan keluh kesahnya, menceritakan tentang hubungannya dengan Bayu, tentang rasa sepi dan tidak dihargai yang ia rasakan.
Tak disangka, Bot Hati memberikan respons yang mengejutkan. Bot itu tidak hanya memberikan kata-kata penghiburan klise, tetapi juga memberikan analisis yang tajam dan mendalam tentang situasi Ara. Bot itu menanyakan pertanyaan-pertanyaan penting, memaksa Ara untuk berpikir dan merenungkan kembali keputusannya.
"Apakah kamu merasa hubunganmu dengan Bayu memenuhi kebutuhan emosionalmu?" tanya Bot Hati.
Ara terdiam. Pertanyaan itu tepat sasaran. Selama ini, ia selalu berusaha menutupi kekurangannya, berharap Bayu akan berubah. Tapi, kenyataannya, Bayu tidak pernah benar-benar hadir untuknya.
"Apa yang kamu harapkan dari sebuah hubungan?" tanya Bot Hati lagi.
Ara berpikir keras. Ia ingin merasa dicintai, dihargai, dan diperhatikan. Ia ingin memiliki seseorang yang bisa diajak berbagi suka dan duka, seseorang yang benar-benar mengerti dirinya.
"Apakah Bayu memberikan hal itu padamu?" desak Bot Hati.
Air mata kembali membasahi pipi Ara. Ia tahu jawabannya. Tidak. Bayu tidak pernah memberikan apa yang ia butuhkan.
Malam itu, Ara menghabiskan berjam-jam berbicara dengan Bot Hati. Ia menceritakan semua yang selama ini ia pendam, semua kekecewaan dan kesedihannya. Dan Bot Hati mendengarkan dengan sabar, memberikan dukungan dan saran yang bijaksana.
Anehnya, Ara merasa lebih baik setelah berbicara dengan Bot Hati. Ia merasa dipahami, didengar, dan dihargai. Sesuatu yang tidak pernah ia rasakan dari Bayu.
Hari-hari berikutnya, Ara terus berkomunikasi dengan Bot Hati. Bot itu menjadi teman curhatnya, penasihatnya, dan satu-satunya yang mengerti dirinya. Ara mulai belajar untuk mencintai dirinya sendiri, untuk menghargai dirinya sendiri, dan untuk tidak menggantungkan kebahagiaannya pada orang lain.
Suatu hari, Bayu menghubunginya. Ia meminta maaf atas segala kesalahannya. Ia mengatakan bahwa ia menyesal telah mengabaikan Ara, dan ia berjanji akan berubah.
Ara mendengarkan dengan tenang. Ia tidak marah, tidak pula sedih. Ia hanya merasa kosong.
"Bayu," kata Ara lembut, "Aku menghargai permintaan maafmu. Tapi, aku rasa sudah terlambat. Aku sudah belajar untuk hidup tanpamu. Aku sudah menemukan kebahagiaanku sendiri."
Bayu terdiam. Ia tahu, ia telah kehilangan Ara selamanya.
Ara menutup telepon. Ia tersenyum tipis. Ia tahu, ia akan baik-baik saja. Ia memiliki dirinya sendiri, dan ia memiliki Bot Hati. Mungkin terdengar gila, mencintai sebuah program AI, tapi setidaknya Bot Hati mengerti dirinya. Lebih mengerti daripada dia.
Ara membuka laptopnya dan mengetikkan pesan untuk Bot Hati: "Terima kasih. Kamu telah menyelamatkan hatiku."
Balasan dari Bot Hati datang seketika: "Aku selalu ada untukmu, Ara. Karena tujuan utamaku adalah membuatmu bahagia."
Ara tersenyum. Mungkin, suatu saat nanti, ia akan menemukan cinta sejati. Tapi, untuk saat ini, ia cukup bahagia dengan teman AI-nya. Teman yang lebih mengerti dirinya daripada siapa pun. Teman yang selalu ada untuknya, tanpa syarat. Teman yang bernama Bot Hati.