Terjebak Algoritma Cinta: Bisakah Kita Lepas?

Dipublikasikan pada: 27 May 2025 - 00:45:23 wib
Dibaca: 170 kali
Aplikasi kencan itu, "SoulMate.AI", menjanjikan keajaiban. Bukan sekadar mencocokkan preferensi dangkal, tapi menganalisis gelombang otak, ekspresi mikro, bahkan aroma tubuh (melalui data yang dikumpulkan dari perangkat wearable, tentu saja) untuk menemukan belahan jiwa yang paling kompatibel. Aku skeptis, tapi kesepian yang menderaku lebih kuat dari skeptisisme. Maka, aku pun mengunggah diriku ke dalam algoritma.

Namaku Anya. Pekerjaanku sebagai desainer grafis lepas membawaku pada kebebasan finansial, tapi juga isolasi sosial. Teman-teman kantor sudah berkeluarga. Aku, di usia 32, masih berkutat dengan pizza dingin dan serial Netflix.

SoulMate.AI memproses dataku selama 72 jam. Rasanya seperti menunggu hasil ujian masuk universitas. Akhirnya, notifikasi itu muncul: "Kandidat yang Kompatibel Ditemukan!"

Namanya Arion. Seorang insinyur perangkat lunak yang bekerja di perusahaan AI raksasa. Fotoprofilnya menampilkan senyum tulus, mata cokelat hangat, dan kesan yang...aman. Algoritma meyakinkanku: kecocokan emosional 98.7%, kecocokan intelektual 99.2%, kecocokan gaya hidup 97.8%. Angka-angka itu terasa terlalu sempurna untuk menjadi kenyataan.

Kencan pertama kami terjadi di sebuah kafe kecil yang direkomendasikan oleh SoulMate.AI. Aku mengenakan gaun biru kesukaanku, sementara Arion memakai kemeja kotak-kotak yang juga tampak familiar (mungkin karena aku pernah melihatnya di salah satu iklan yang disasar oleh algoritma?).

Percakapan kami mengalir lancar, seolah-olah kami sudah saling mengenal selama bertahun-tahun. Kami berbicara tentang buku favorit, musik yang kami dengarkan, bahkan mimpi-mimpi masa kecil yang terlupakan. Setiap kali ada keheningan canggung, Arion selalu memiliki topik baru untuk dibahas, seolah-olah dia memiliki daftar pertanyaan yang sudah disiapkan sebelumnya.

Anehnya, aku tidak merasa terkejut atau kagum. Semuanya terasa begitu...terprediksi. Seperti menonton film yang sudah kulihat berulang kali. Alih-alih keajaiban cinta, aku merasa seperti sedang menjalani simulasi.

Hubungan kami berkembang pesat. Kencan demi kencan, percakapan demi percakapan, semuanya diatur oleh algoritma. SoulMate.AI akan merekomendasikan restoran dengan menu yang sesuai dengan preferensi kami, film yang akan kami nikmati bersama, bahkan hadiah ulang tahun yang sempurna.

Arion adalah pacar yang ideal. Dia perhatian, pengertian, dan selalu berusaha untuk membuatku bahagia. Tapi semakin sempurna dia, semakin aku merasa hampa. Aku merindukan spontanitas, kejutan, bahkan sedikit konflik. Aku merindukan ketidaksempurnaan yang membuat cinta terasa nyata.

Suatu malam, saat kami sedang makan malam romantis di restoran mewah yang dipilih oleh SoulMate.AI, aku tidak bisa menahan diri lagi.

"Arion," aku memulai dengan ragu-ragu. "Apakah kamu pernah merasa...bahwa hubungan kita ini terlalu terencana?"

Arion mengerutkan kening. "Apa maksudmu, Anya? Bukankah kita bahagia? Algoritma sudah membuktikan bahwa kita sangat cocok."

"Tapi apakah itu cukup? Apakah cinta hanya soal kecocokan angka? Aku ingin sesuatu yang lebih. Aku ingin kejutan, tantangan, bahkan pertengkaran kecil yang membuat kita belajar untuk saling memahami."

Arion terdiam sejenak, matanya tertuju pada lilin di atas meja. "Aku tidak mengerti, Anya. Aku hanya ingin membuatmu bahagia. SoulMate.AI membantuku untuk melakukan itu."

"Tapi kebahagiaan sejati tidak bisa diprogram, Arion. Itu harus ditemukan, dirasakan, dialami. Bukan diberikan oleh sebuah algoritma."

Malam itu, aku pulang dengan hati yang hancur. Aku tahu bahwa aku harus membuat keputusan yang sulit. Aku mencintai Arion, tapi aku tidak bisa terus hidup dalam ilusi cinta yang diprogram.

Keesokan harinya, aku memutuskan untuk bertemu dengan Dr. Evelyn Reed, psikolog yang menulis buku tentang dampak AI pada hubungan manusia. Aku menceritakan semuanya tentang hubunganku dengan Arion dan kegelisahan yang kurasakan.

Dr. Reed mendengarkan dengan seksama, lalu tersenyum lembut. "Anya, kamu tidak sendirian. Banyak orang yang terjebak dalam algoritma cinta. Mereka mencari solusi instan untuk masalah yang kompleks, dan akhirnya kehilangan esensi dari cinta itu sendiri."

"Lalu, apa yang harus aku lakukan?" tanyaku putus asa.

"Kamu harus mengambil kendali atas hidupmu, Anya. Matikan SoulMate.AI. Berhenti bergantung pada algoritma untuk membuat keputusanmu. Biarkan hatimu yang menuntunmu."

Kata-kata Dr. Reed memberiku keberanian. Malam itu, aku menghapus akun SoulMate.AI-ku. Rasanya seperti melepaskan belenggu yang selama ini mengikatku.

Aku menelepon Arion dan mengajaknya bertemu di taman kota. Kami duduk di bangku kayu di bawah pohon rindang, jauh dari hingar bingar kota.

"Arion," aku memulai dengan suara pelan. "Aku sudah menghapus akun SoulMate.AI-ku."

Arion tampak terkejut. "Kenapa, Anya? Apakah ada yang salah?"

"Aku ingin mencoba sesuatu yang baru, Arion. Aku ingin mengenalmu bukan sebagai angka-angka dan algoritma, tapi sebagai manusia yang memiliki kelebihan dan kekurangan."

"Tapi aku tidak tahu bagaimana melakukannya, Anya. Aku terbiasa bergantung pada SoulMate.AI."

"Kita bisa belajar bersama, Arion. Kita bisa mulai dengan hal-hal sederhana. Berhenti merencanakan setiap kencan. Berhenti mencoba untuk menjadi sempurna. Biarkan diri kita menjadi apa adanya."

Arion menatapku dengan mata yang penuh keraguan. "Aku takut, Anya. Aku takut jika kita tidak cocok tanpa algoritma."

"Ketakutan itu wajar, Arion. Tapi bukankah lebih baik mencoba daripada menyesal seumur hidup?"

Arion terdiam sejenak, lalu mengulurkan tangannya kepadaku. "Baiklah, Anya. Aku akan mencobanya."

Aku menggenggam tangannya erat-erat. Aku tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Akan ada tantangan, rintangan, dan mungkin juga patah hati. Tapi aku percaya bahwa cinta sejati layak diperjuangkan, meskipun itu berarti keluar dari zona nyaman dan terjun ke dalam ketidakpastian.

Mungkin, pada akhirnya, kita tidak akan berhasil. Mungkin, algoritma itu benar dan kami memang tidak cocok tanpa bantuan teknologi. Tapi setidaknya, kami sudah mencoba. Setidaknya, kami sudah berani untuk melawan algoritma cinta dan mencari kebahagiaan sejati dengan cara kami sendiri.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI