Cinta Digital: Algoritma Membaca Hati, Salah Mengartikan?

Dipublikasikan pada: 07 Dec 2025 - 03:40:13 wib
Dibaca: 118 kali
Hembusan angin malam membawa aroma digital dari kafe favorit Maya. Di balik laptopnya, jemarinya menari di atas keyboard, merangkai baris kode yang rumit. Bukan untuk pekerjaan, melainkan untuk "Project Cupid," algoritma kencan revolusioner yang sedang ia kembangkan. Maya, seorang programmer jenius dengan kacamata tebal dan rambut dikuncir asal, percaya bahwa cinta bisa dihitung.

"Semua orang punya pola," gumamnya, matanya terpaku pada layar. "Preferensi, ketakutan, harapan… semua bisa diterjemahkan menjadi data."

Project Cupid, cita-cita Maya, akan memindai profil media sosial, riwayat pencarian, bahkan kebiasaan belanja untuk menemukan pasangan yang paling kompatibel. Bukan hanya kecocokan superficial, tetapi koneksi yang dalam, yang didasarkan pada kesamaan nilai dan tujuan hidup.

Di tengah hiruk pikuk kafe, seorang pria duduk di meja seberang. Namanya Ardi, seorang desainer grafis dengan senyum menawan dan mata yang selalu tampak berpikir. Ardi sering memerhatikan Maya, terkagum-kagum pada konsentrasinya dan aura kecerdasan yang terpancar darinya. Dia tahu Maya selalu sibuk dengan proyeknya, tetapi dia tidak pernah menyangka proyek itu adalah tentang cinta.

Suatu malam, keberanian Ardi akhirnya terkumpul. Dia menghampiri meja Maya, jantungnya berdebar kencang.

"Permisi, Maya, ya?" sapanya ragu.

Maya terkejut, melepas earphone-nya. "Eh, iya. Maaf, aku tidak menyadari ada orang di sekitar sini."

"Tidak apa-apa. Aku Ardi, sering lihat kamu di sini. Boleh aku gabung?"

Maya mengangguk, sedikit gugup. Ardi duduk, dan keheningan canggung menyelimuti mereka. Akhirnya, Ardi membuka percakapan.

"Kamu selalu sibuk sekali. Sedang mengerjakan apa?" tanyanya, berusaha terdengar santai.

Maya terdiam sejenak. Haruskah dia menceritakan Project Cupid? Itu adalah bagian besar dari dirinya, tetapi dia juga takut dianggap aneh.

"Aku… sedang mengembangkan algoritma," jawabnya akhirnya, berusaha menyederhanakan. "Algoritma untuk mencari pasangan yang cocok."

Ardi mengerutkan kening. "Algoritma cinta? Kedengarannya… rumit."

Maya terkekeh. "Memang rumit. Tapi aku percaya bisa menemukan pola di balik ketertarikan manusia. Mengurangi patah hati, meningkatkan kebahagiaan."

Ardi terdiam, menatap Maya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Bagaimana jika… algoritma itu salah?"

Maya tertegun. Pertanyaan Ardi menyentuh titik terlemahnya. Dia terlalu fokus pada logika dan data, sampai lupa bahwa cinta seringkali tidak masuk akal.

"Tentu saja ada kemungkinan salah," akunya. "Tapi aku akan terus menyempurnakannya. Mencari variabel baru, menguji akurasinya."

Malam itu, mereka berbicara panjang lebar tentang cinta, algoritma, dan segala sesuatu di antaranya. Ardi mengajukan pertanyaan-pertanyaan menantang, memaksa Maya untuk melihat Project Cupid dari sudut pandang yang berbeda. Maya, di sisi lain, terpesona oleh pemikiran Ardi yang intuitif dan kreativitasnya yang tak terbatas.

Seiring berjalannya waktu, Ardi menjadi bagian penting dari hidup Maya. Dia sering mampir ke kafe untuk menemaninya bekerja, memberikan saran desain untuk tampilan Project Cupid, dan menawarkan bahu untuk bersandar ketika Maya frustrasi dengan kode yang bandel.

Tanpa disadari, Maya mulai jatuh cinta pada Ardi. Bukan karena algoritma, bukan karena data, melainkan karena hal-hal sederhana: senyumnya, tawanya, dan cara dia menatapnya dengan penuh perhatian.

Namun, Project Cupid terus berjalan. Algoritma itu semakin canggih, semakin akurat. Dan suatu hari, algoritma itu memberikan hasil yang mengejutkan: Maya dan Ardi tidak cocok.

"Kecocokan nilai: 62%," bunyi laporan itu dengan dingin. "Ketidaksesuaian signifikan dalam preferensi karier dan gaya hidup sosial."

Maya terpaku pada layar, hatinya mencelos. Bagaimana mungkin? Dia merasakan koneksi yang begitu kuat dengan Ardi, tetapi algoritmanya mengatakan sebaliknya. Apakah dia telah salah mengartikan perasaannya selama ini?

Maya menghadapi Ardi dengan hasil Project Cupid. Ardi mendengarkan dengan seksama, tanpa ekspresi.

"Jadi… algoritma kamu bilang kita tidak cocok?" tanyanya setelah hening beberapa saat.

Maya mengangguk, air mata mulai menggenang di matanya. "Aku… aku tidak tahu apa yang harus kupikirkan. Aku merasa bodoh karena mempercayai algoritma lebih dari perasaanku sendiri."

Ardi meraih tangan Maya, menggenggamnya erat. "Maya, algoritma itu hanya program. Itu tidak bisa mengukur perasaan, tidak bisa memahami kompleksitas manusia. Aku tahu kita berbeda, tapi perbedaan itu yang membuat kita menarik. Aku menyukaimu apa adanya, dengan semua logika dan algoritma anehmu."

Maya menatap Ardi, air matanya tumpah. Dia menyadari bahwa Ardi benar. Cinta bukan tentang data, bukan tentang kesempurnaan, melainkan tentang menerima ketidaksempurnaan satu sama lain.

"Aku juga menyukaimu, Ardi," bisiknya. "Meskipun algoritma sialan itu bilang kita tidak cocok."

Ardi tersenyum. "Lupakan algoritma itu. Mari kita tulis algoritma cinta kita sendiri. Algoritma yang didasarkan pada senyuman, tawa, dan saling mendukung."

Maya tertawa, air matanya mengering. Dia menyadari bahwa cinta memang tidak bisa dihitung, tetapi bisa dirasakan. Dan perasaannya pada Ardi adalah bukti yang tak terbantahkan.

Maya kemudian memutuskan untuk menunda Project Cupid. Dia menyadari bahwa cinta tidak bisa dipaksa dengan data, tidak bisa diprediksi dengan algoritma. Cinta adalah misteri yang indah, yang harus dinikmati dan dirayakan, bukan dianalisis dan dikuantifikasi. Dia belajar bahwa terkadang, intuisi dan perasaan jauh lebih penting daripada data dan logika. Dan terkadang, cinta yang salah mengartikan algoritma justru adalah cinta yang paling benar. Bersama Ardi, ia ingin mempelajari cinta yang sesungguhnya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI