Hembusan AC di Co.Lab terasa dingin menusuk tulang, kontras dengan kehangatan yang berusaha dipancarkan layar laptop di hadapanku. Jemariku menari di atas keyboard, merangkai baris demi baris kode, mencoba memecahkan masalah yang sama sekali tak ada hubungannya dengan algoritma rumit yang sedang kupelajari. Masalahnya bernama Anya, seorang programmer andal yang membuat logika pikiranku berantakan seperti program yang penuh bug.
Anya adalah legenda di kalangan junior developer seperti aku. Ia bagaikan penyihir yang mampu menaklukkan bahasa pemrograman apa pun, dari Python yang elegan hingga C++ yang kompleks. Bukan hanya kemampuannya yang mengagumkan, tetapi juga aura misterius yang mengelilinginya. Ia jarang bicara, lebih suka menghabiskan waktu di depan layar, seolah tenggelam dalam dunia digitalnya sendiri.
Aku, di sisi lain, adalah tipikal programmer pemula yang bersemangat, penuh ide, tapi seringkali kurang sabar. Aku mengagumi Anya dari jauh, mengumpulkan keberanian untuk sekadar menyapanya di pantry saat jam makan siang. Interaksi kami selalu singkat, canggung, dan berakhir dengan aku yang salah tingkah.
Semuanya berubah ketika Co.Lab mengadakan Hackathon tahunan. Temanya, "Cinta di Era Digital". Anya ditunjuk sebagai mentor, dan secara ajaib, aku tergabung dalam kelompoknya. Aku berusaha menyembunyikan kegugupanku, berusaha tampil profesional dan kompeten.
"Kita akan membuat aplikasi kencan berbasis AI," kata Anya datar, memecah keheningan dalam ruang kerja yang penuh dengan kaleng minuman energi dan bungkus makanan ringan. "Aplikasi ini akan menganalisis data pengguna, mempelajari preferensi mereka, dan mencocokkan mereka dengan kandidat yang paling sesuai."
Ide yang brilian, pikirku. Tapi aku lebih tertarik melihat Anya menjelaskan algoritma kompleks di balik aplikasi itu. Matanya berbinar-binar, suaranya terdengar lebih hidup, lebih bersemangat. Aku tersihir.
Hari-hari Hackathon terasa seperti mimpi. Aku dan anggota tim lainnya bekerja keras, saling membantu, dan belajar banyak dari Anya. Aku mengamati bagaimana Anya mengatasi masalah, bagaimana ia berpikir logis dan kreatif, bagaimana ia memimpin tim dengan tenang dan efektif. Setiap interaksi kecil, setiap senyum singkat, setiap pujian yang ia berikan, terasa bagaikan suntikan semangat yang luar biasa.
Di tengah hiruk pikuk Hackathon, aku menyadari bahwa perasaanku pada Anya lebih dari sekadar kekaguman. Aku jatuh cinta padanya. Tapi bagaimana mungkin? Ia adalah dewi teknologi, sementara aku hanyalah seorang pemuja yang baru belajar merangkai sintaks.
Malam terakhir Hackathon, ketika aplikasi kami hampir selesai, aku memberanikan diri untuk berbicara dengan Anya. Kami duduk berdua di sudut ruangan, ditemani cahaya redup dari layar laptop.
"Anya," aku memulai dengan gugup, "Aku… aku ingin mengucapkan terima kasih. Aku belajar banyak darimu."
Anya menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. "Kamu juga hebat, [Nama Saya]. Kamu punya potensi yang besar."
"Bukan hanya itu," aku melanjutkan, jantungku berdegup kencang. "Aku… aku merasa ada koneksi antara kita. Mungkin terdengar aneh, tapi aku… aku menyukaimu."
Keheningan menyelimuti ruangan. Aku menunduk, malu dan takut. Aku yakin ia akan menolakku, mentertawakanku, atau bahkan melaporkanku ke HR karena perilaku tidak pantas.
Tiba-tiba, aku merasakan sentuhan lembut di tanganku. Anya meraih tanganku dan menggenggamnya erat.
"Aku juga," bisiknya pelan. "Aku juga merasakan sesuatu, [Nama Saya]. Awalnya aku tidak yakin, aku takut ini hanya karena kita bekerja bersama. Tapi… aku rasa ini lebih dari itu."
Aku mendongak, menatap matanya yang indah. Aku melihat kelembutan, keraguan, dan harapan di sana.
"Tapi bagaimana mungkin?" tanyaku bingung. "Kita sangat berbeda. Kamu seorang jenius, sementara aku…"
"Itulah yang membuat kita menarik," jawab Anya sambil tersenyum. "Kamu punya semangat dan antusiasme yang aku butuhkan. Aku punya pengalaman dan pengetahuan yang kamu cari. Kita saling melengkapi."
Ia melanjutkan, "Aku selalu berpikir bahwa cinta itu rumit, penuh drama, dan tidak masuk akal. Tapi bersamamu, aku merasa tenang, nyaman, dan bahagia. Rasanya seperti menemukan sintaks yang tepat untuk hatiku."
Aku tertawa, lega dan bahagia. Aku tidak menyangka Anya merasakan hal yang sama. Aku tidak menyangka dewi teknologi itu bisa jatuh cinta pada programmer biasa seperti aku.
Aplikasi kencan berbasis AI yang kami buat memenangkan hadiah utama Hackathon. Tapi hadiah yang sebenarnya adalah Anya. Kami berkencan, saling mengenal lebih dalam, dan menemukan bahwa kami memiliki lebih banyak kesamaan daripada yang kami bayangkan. Kami berdua mencintai teknologi, kami berdua ambisius, dan kami berdua mencari cinta sejati.
Aku belajar bahwa cinta tidak mengenal bahasa pemrograman, tidak mengenal latar belakang, dan tidak mengenal logika. Cinta adalah algoritma yang unik, yang bekerja dengan cara misterius dan tak terduga. Cinta adalah ketika dua hati yang berbeda menemukan titik temu, saling memahami, dan saling mencintai.
Dan aku, seorang programmer pemula yang jatuh cinta pada dewi teknologi, akhirnya menemukan cintaku di dunia digital. Sentuhan AI telah mempertemukan kami, dan bahasa pemrograman telah menjadi jembatan yang menghubungkan hati kami. Kini, aku tak sabar untuk menulis kode cinta bersama Anya, membangun masa depan yang penuh dengan inovasi, kebahagiaan, dan tentu saja, banyak sekali debugging.