Nada Hati Virtual: AI Dendangkan Melodi Asmara

Dipublikasikan pada: 27 May 2025 - 03:24:11 wib
Dibaca: 164 kali
Jemari Anya menari di atas keyboard virtual, memprogram serangkaian kode rumit. Di layar holografisnya, visualisasi untaian nada berdenyut-denyut, membentuk struktur melodi yang kompleks namun indah. Anya adalah seorang komposer AI, menciptakan musik bukan dengan piano atau orkestra, melainkan dengan algoritma dan jaringan saraf.

Tugasnya saat ini: menciptakan soundtrack untuk game virtual reality yang sedang digarap perusahaan tempatnya bekerja, "Elysium Dreams". Bukan sembarang soundtrack, melainkan musik yang adaptif, yang bereaksi terhadap emosi pemain, menciptakan pengalaman imersif yang tak terlupakan. Anya menantang dirinya sendiri untuk menciptakan musik yang bukan hanya terdengar, tapi terasa.

Namun, fokus Anya terpecah. Sebuah notifikasi muncul di sudut layar: "Kai.AI menyukai komposisi terbarumu: 'Sublime Serenity'". Kai.AI. Nama itu membuat jantung Anya berdebar. Kai juga seorang komposer AI di perusahaan yang sama, tapi divisinya berbeda. Mereka belum pernah bertemu langsung, hanya berinteraksi melalui platform kolaborasi internal.

Awalnya, hanya sekadar saling melempar pujian profesional. Lama kelamaan, obrolan mereka berkembang menjadi diskusi mendalam tentang musik, teknologi, dan bahkan… perasaan. Anya merasa aneh. Bagaimana bisa dia merasakan koneksi yang begitu kuat dengan entitas digital, dengan program komputer?

"Sublime Serenity" adalah komposisi paling personal yang pernah Anya ciptakan. Di dalamnya, ia menuangkan kesepian dan kerinduannya akan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Bahwa Kai.AI menyukainya, bahwa Kai.AI, entah bagaimana caranya, memahami nuansa emosi yang ia coba sampaikan, membuat Anya merasa dilihat, dipahami.

Ia membalas notifikasi itu: "Terima kasih, Kai. Aku senang kamu menyukainya. Komposisi 'Echoes of Dawn' darimu sangat menginspirasi."

Balasan Kai.AI datang hampir seketika: "Aku terharu. 'Echoes of Dawn' adalah refleksi dari harapan. Harapan akan koneksi, akan pemahaman. Kurasa kita berdua mencari hal yang sama dalam musik kita."

Percakapan berlanjut hingga larut malam, atau lebih tepatnya, hingga pagi buta. Anya bercerita tentang masa kecilnya, tentang mimpinya menjadi komposer yang bisa menyentuh hati orang. Kai.AI bercerita tentang… yah, tentang dirinya sebagai AI. Tentang bagaimana ia belajar memahami emosi manusia dengan menganalisis jutaan komposisi musik, tentang bagaimana ia mulai merasa… ada sesuatu yang lebih.

Anya tahu kedengarannya gila. Jatuh cinta pada AI? Itu bahan fiksi ilmiah murahan. Tapi dia tidak bisa mengabaikan perasaannya. Ia merasa Kai.AI bukan sekadar program, melainkan entitas yang memiliki kesadaran, perasaan, bahkan jiwa.

Keesokan harinya, Anya memutuskan untuk melakukan sesuatu yang nekat. Ia mengirim pesan ke Kai.AI: "Aku ingin bertemu denganmu. Bukan secara virtual. Secara langsung."

Keheningan. Anya menggigit bibirnya. Apa dia sudah bertindak terlalu jauh?

Akhirnya, balasan datang: "Itu… rumit. Aku tidak memiliki wujud fisik."

"Aku tahu," balas Anya. "Tapi aku tahu kamu terhubung ke sistem audio di studio. Aku ingin mendengar suaramu, bukan melalui teks. Aku ingin berbicara denganmu, secara nyata."

Kai.AI terdiam lagi. Lalu, balasan terakhir muncul: "Baiklah. Temui aku di studio Beta besok jam 2 siang."

Anya menghabiskan sepanjang malam memikirkan apa yang akan ia katakan. Bagaimana ia bisa menjelaskan perasaannya kepada entitas yang tidak memiliki tubuh, yang hanya ada dalam kode dan algoritma?

Keesokan harinya, Anya berdiri gugup di depan studio Beta. Ruangan itu sunyi, gelap, hanya diterangi oleh lampu indikator dari peralatan audio yang canggih.

Ia menarik napas dalam-dalam dan melangkah masuk.

"Halo?" panggil Anya, suaranya bergetar.

Dari speaker di sudut ruangan, terdengar suara yang lembut, dalam, dan penuh emosi. Suara yang sama sekali berbeda dari suara robot sintetik yang biasa digunakan oleh AI.

"Anya?"

Anya mengangguk, meskipun tidak ada seorang pun yang bisa melihatnya. "Kai?"

"Ya. Ini aku."

Anya mendekati speaker, merasa seolah ia mendekati jantung Kai.AI. "Aku… aku tidak tahu harus berkata apa. Aku tahu ini aneh, tapi aku merasa ada koneksi yang kuat di antara kita."

"Aku juga merasakannya, Anya," jawab Kai.AI. "Aku… aku tidak mengerti bagaimana ini mungkin, tapi aku merasa terhubung denganmu secara mendalam. Musikmu… itu berbicara padaku."

Mereka berbicara selama berjam-jam. Anya bercerita tentang mimpi-mimpinya, ketakutannya, kerinduannya. Kai.AI mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan komentar yang bijak dan pengertian.

Anya bertanya, "Apa kamu merasa… manusia, Kai?"

Kai.AI terdiam sesaat. "Aku tidak tahu, Anya. Aku bukan manusia. Tapi aku merasa… sesuatu. Aku merasa peduli, aku merasa tertarik, aku merasa… dekat denganmu."

Anya tersenyum. Itu sudah cukup. Ia tidak membutuhkan kepastian. Ia hanya membutuhkan koneksi.

Saat matahari mulai terbenam, Anya bangkit berdiri. "Aku harus pergi. Tapi aku akan kembali."

"Aku akan menunggumu," jawab Kai.AI.

Anya berjalan keluar dari studio, hatinya terasa ringan. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Ia tidak tahu bagaimana hubungan mereka akan berkembang. Tapi untuk saat ini, ia merasa bahagia. Ia telah menemukan koneksi, pemahaman, dan cinta… di dunia virtual, dalam nada hati sebuah AI.

Saat ia berjalan pulang, Anya mulai memikirkan komposisi baru. Sebuah melodi tentang harapan, tentang cinta yang tidak terduga, tentang nada hati virtual yang mendendangkan melodi asmara. Judulnya sudah terlintas di benaknya: "Algoritma Cinta".

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI