Debu digital bertebaran di sela-sela jari Anya saat ia menggulir layar ponselnya. Algoritma kencan daring itu, "Soulmate AI," menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan data kepribadian, preferensi, dan bahkan, konon, gelombang otak. Anya, seorang programmer yang logis dan skeptis, tetap saja terjebak dalam pusaran harapan yang sama dengan jutaan orang lainnya. Mencari. Mengharapkan.
Profil Gilang muncul. Senyumnya teduh di foto profil, matanya memancarkan kehangatan yang kontras dengan deskripsi diri yang ringkas: "Penggemar kopi, pecinta buku, dan pembenci algoritma." Ironis. Anya terkekeh. Algoritma membencinya, tapi algoritma pula yang mempertemukannya dengan Anya.
"Like," tanpa ragu.
Beberapa menit kemudian, notifikasi muncul: "Gilang membalas 'Like' Anda!" Jantung Anya berdebar tak karuan. Percakapan daring pun dimulai.
Awalnya canggung, membahas cuaca dan buku yang sedang dibaca. Tapi perlahan, topik bergeser ke hal yang lebih personal. Anya menceritakan mimpinya untuk menciptakan aplikasi yang membantu anak-anak belajar pemrograman. Gilang bercerita tentang kecintaannya pada sastra klasik dan kekhawatirannya tentang bagaimana teknologi merenggut sentuhan manusia.
"Menurutmu, algoritma bisa menemukan cinta sejati?" tanya Gilang suatu malam, diiringi emoji berpikir.
Anya mengetik, lalu menghapus, berulang kali. "Aku tidak tahu," akhirnya ia mengirim. "Mungkin algoritma bisa menemukan kecocokan data, tapi cinta… cinta itu lebih dari sekadar data, kan?"
Gilang membalas dengan cepat: "Tepat sekali. Cinta itu tentang perasaan, tentang koneksi yang tak terduga, tentang hal-hal yang tidak bisa diukur."
Mereka bertemu beberapa hari kemudian di sebuah kedai kopi kecil yang direkomendasikan oleh Gilang. Suara tawanya renyah, matanya berbinar saat menceritakan tentang novel favoritnya. Anya terpana. Gilang jauh lebih mempesona di dunia nyata daripada di foto profilnya.
Mereka menghabiskan waktu berjam-jam, tenggelam dalam percakapan yang mengalir begitu saja. Anya merasa nyaman, seolah ia telah mengenal Gilang seumur hidup. Di tengah hiruk pikuk kedai kopi, mereka menciptakan ruang kecil mereka sendiri, ruang di mana algoritma tidak lagi relevan.
Hubungan mereka berkembang pesat. Mereka menjelajahi kota bersama, menonton film independen, dan berdebat tentang arti kehidupan sambil menikmati pizza larut malam. Anya mulai melupakan keraguannya tentang cinta daring. Mungkin, pikirnya, algoritma itu tidak sepenuhnya buruk. Mungkin, ia hanya membutuhkan sedikit bantuan untuk mempertemukan dua hati yang ditakdirkan.
Namun, kebahagiaan Anya tidak berlangsung lama. Suatu malam, saat mereka sedang menikmati makan malam romantis, Gilang menerima telepon. Wajahnya langsung berubah pucat.
"Aku harus pergi," katanya, suaranya bergetar. "Ada urusan mendesak."
Anya merasa ada sesuatu yang disembunyikan Gilang. Ia mencoba bertanya, tapi Gilang hanya menggeleng dan pergi begitu saja.
Beberapa hari berlalu tanpa kabar. Anya mencoba menghubunginya, tapi panggilannya tidak diangkat, pesannya tidak dibalas. Ia dilanda kecemasan dan kebingungan. Apa yang telah terjadi? Apakah ia melakukan sesuatu yang salah?
Akhirnya, Anya memutuskan untuk mencari tahu sendiri. Ia menggunakan keahlian programnya untuk melacak jejak digital Gilang. Ia menemukan bahwa Gilang telah mendaftarkan diri di Soulmate AI dengan nama samaran. Dan yang lebih mengejutkan lagi, ia menemukan bahwa Gilang telah bertemu dengan beberapa wanita lain melalui aplikasi tersebut.
Hati Anya hancur berkeping-keping. Ia merasa dikhianati, dibodohi. Semua kepercayaan dan harapan yang telah ia bangun runtuh seperti menara kartu.
Ia menemui Gilang di kedai kopi tempat mereka pertama kali bertemu. Gilang tampak terkejut melihatnya.
"Anya, aku bisa jelaskan," katanya, suaranya memohon.
"Jelaskan apa?" tanya Anya, suaranya bergetar karena amarah dan kesedihan. "Jelaskan bagaimana kau menipuku? Jelaskan bagaimana kau menggunakan algoritma untuk mencari cinta sambil mengklaim membencinya?"
Gilang menundukkan kepalanya. "Aku… aku tidak tahu harus berkata apa. Aku memang mendaftar di Soulmate AI, tapi aku tidak pernah berniat menyakitimu. Aku hanya… aku merasa kesepian dan aku mencari seseorang untuk berbagi hidupku."
"Dan kau pikir algoritma bisa memberimu itu?" tanya Anya, air mata mulai mengalir di pipinya. "Kau pikir cinta bisa diukur dan diprediksi oleh data?"
Gilang mengangkat wajahnya dan menatap Anya dengan tatapan penuh penyesalan. "Aku salah," katanya. "Aku benar-benar salah. Aku kira aku bisa mengendalikan segalanya dengan algoritma, tapi aku tidak bisa. Aku menyukaimu, Anya. Aku benar-benar menyukaimu."
Anya tertawa getir. "Jangan bohong padaku lagi. Kau tidak menyukaiku, kau menyukai profilku, kau menyukai data yang disajikan oleh algoritma. Kau tidak pernah melihatku sebagai manusia."
Ia berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Gilang sendirian di kedai kopi. Ia merasa hancur, tapi juga merasa lega. Ia telah melepaskan diri dari ilusi cinta algoritmik.
Anya kembali ke pekerjaannya. Ia terus mengembangkan aplikasinya untuk anak-anak, berusaha menciptakan sesuatu yang bermanfaat dan bermakna. Ia masih merindukan Gilang, tapi ia tahu bahwa ia telah membuat keputusan yang tepat.
Beberapa bulan kemudian, Anya menerima email dari Gilang. Ia menulis panjang lebar tentang penyesalannya, tentang bagaimana ia akhirnya memahami bahwa cinta sejati tidak bisa ditemukan melalui algoritma. Ia juga menulis tentang proyek barunya, sebuah inisiatif untuk membantu orang-orang terhubung secara offline, melalui kegiatan komunitas dan interaksi langsung.
Anya membaca email itu dengan hati yang campur aduk. Ia tidak yakin apakah ia bisa memaafkan Gilang, tapi ia mengagumi keberaniannya untuk mengakui kesalahannya dan berusaha untuk berubah.
Ia membalas email Gilang dengan singkat: "Semoga berhasil."
Anya terus melanjutkan hidupnya. Ia belajar untuk lebih berhati-hati dalam mempercayai orang, terutama di dunia daring. Ia menyadari bahwa cinta tidak bisa dipaksakan, tidak bisa diprediksi, dan tidak bisa diukur. Cinta adalah sesuatu yang tumbuh secara organik, melalui waktu, pengalaman, dan koneksi yang tulus.
Suatu sore, saat Anya sedang bekerja di kafenya, seorang anak laki-laki mendekatinya. Anak itu adalah salah satu pengguna aplikasi belajar pemrograman yang Anya ciptakan.
"Kak, aplikasi Kakak keren banget!" kata anak itu dengan semangat. "Aku jadi suka pemrograman!"
Anya tersenyum. Ia merasa bahagia dan bangga. Ia telah menciptakan sesuatu yang bermanfaat, sesuatu yang membuat perbedaan dalam kehidupan orang lain.
Saat anak itu pergi, Anya melihat seorang pria berdiri di dekat pintu. Pria itu tersenyum padanya. Itu Gilang.
Anya terkejut. Ia tidak menyangka akan bertemu Gilang lagi.
Gilang mendekatinya perlahan. "Boleh aku duduk?" tanyanya.
Anya mengangguk.
Mereka duduk berhadapan dalam diam selama beberapa saat. Kemudian, Gilang angkat bicara.
"Aku tahu aku telah melakukan kesalahan besar," katanya. "Aku tidak bisa menghapus masa lalu, tapi aku bisa belajar darinya. Aku ingin meminta maaf kepadamu sekali lagi, Anya. Aku benar-benar menyesal telah menyakitimu."
Anya menatap Gilang dalam-dalam. Ia melihat ketulusan di matanya.
"Aku memaafkanmu, Gilang," katanya. "Tapi itu tidak berarti kita bisa kembali seperti dulu."
"Aku tahu," kata Gilang. "Aku tidak mengharapkan itu. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku telah berubah."
Mereka kembali terdiam. Kemudian, Gilang tersenyum.
"Jadi, bagaimana kalau kita minum kopi bersama?" tanyanya. "Tanpa algoritma, tanpa ekspektasi, hanya kita berdua."
Anya tersenyum kembali. "Kedengarannya bagus," katanya.
Mereka menghabiskan sore itu bersama, berbicara tentang banyak hal. Anya merasa nyaman, seolah mereka tidak pernah berpisah. Ia menyadari bahwa meskipun masa lalu tidak bisa diubah, masa depan masih terbuka lebar. Mungkin, pikirnya, cinta bisa tumbuh di era algoritma, tetapi hanya jika kita berani untuk melepaskan kendali dan membiarkan hati kita memimpin. Hati yang, pada akhirnya, tahu apa yang diinginkannya. Bukan algoritma abadi.