Hujan deras malam itu seperti sengaja menutupi isak tangis Riana. Jari-jarinya menari di atas keyboard, menghasilkan barisan kode yang rumit. Di layar laptop, sebuah program tengah berjalan, mengurai benang kusut algoritma yang dulu pernah ia ciptakan bersama. Lima tahun lalu, di laboratorium kampus yang dingin, ia dan Arya bahu-membahu membangun program pendeteksi kecocokan berdasarkan jejak digital. Mereka menyebutnya "Soulmate Finder." Ironisnya, program itu pula yang kini menjadi saksi bisu hancurnya hati Riana.
Dulu, Soulmate Finder adalah simbol cinta mereka. Arya, dengan kecerdasannya yang brilian, merancang algoritma inti. Riana, dengan intuisi artistiknya, menciptakan antarmuka yang ramah dan menarik. Setiap baris kode, setiap desain tombol, diwarnai dengan tawa, diskusi panjang, dan harapan masa depan. Program itu sukses besar, menjadi sensasi di kalangan mahasiswa. Banyak pasangan yang menemukan cinta melalui Soulmate Finder, dan Riana selalu bangga menjadi bagian dari kisah bahagia mereka.
Namun, kebahagiaan itu rapuh. Dua tahun setelah kelulusan, Arya diterima bekerja di perusahaan teknologi raksasa di Silicon Valley. Jarak memisahkan mereka. Awalnya, mereka berjanji untuk saling setia. Video call setiap malam, pesan singkat yang penuh rindu, menjadi jembatan penghubung. Namun, kesibukan Arya semakin menjadi-jadi. Jam kerjanya tidak mengenal waktu. Perlahan tapi pasti, komunikasi mereka merenggang.
Riana mencoba memahami. Ia tahu betapa besarnya impian Arya, betapa pentingnya pekerjaan itu baginya. Ia mencoba mendukung, menyemangati dari jauh. Namun, hatinya terasa semakin kosong. Ia merasa seperti peran pembantu dalam drama kehidupan Arya, bukan lagi pemeran utama bersamanya.
Puncaknya terjadi dua minggu lalu. Riana menemukan foto Arya bersama seorang wanita lain di akun media sosialnya. Wanita itu cantik, sukses, dan terlihat sangat bahagia bersamanya. Hati Riana hancur berkeping-keping. Ia menelepon Arya, namun panggilannya tidak diangkat. Pesan-pesannya tidak dibalas. Ia merasa seperti orang asing di mata pria yang dulu sangat ia cintai.
Malam itu, Riana memutuskan untuk menghapus Soulmate Finder. Bukan programnya secara keseluruhan, tetapi algoritma inti yang dirancang oleh Arya. Ia ingin menghilangkan jejak digital cinta mereka, menghapus kenangan yang terlalu menyakitkan untuk dikenang.
Namun, saat ia mulai menghapus baris demi baris kode, ia menemukan sesuatu yang aneh. Sebuah celah dalam algoritma, sebuah bug yang tidak pernah ia sadari sebelumnya. Celah itu memungkinkan pengguna untuk memanipulasi hasil pencarian, untuk memalsukan kecocokan dengan orang lain.
Riana tertegun. Mungkinkah Arya tahu tentang celah ini? Mungkinkah ia sengaja menciptakan celah itu untuk dirinya sendiri? Pertanyaan-pertanyaan itu menghantuinya. Ia merasa dikhianati, bukan hanya oleh cinta, tetapi juga oleh kepercayaan.
Dengan tangan gemetar, ia memperbaiki bug tersebut. Ia membersihkan algoritma, memastikan bahwa Soulmate Finder hanya menampilkan hasil yang jujur dan akurat. Ia ingin program itu tetap bermanfaat bagi orang lain, meskipun hatinya sendiri terluka.
Setelah selesai, ia bersandar di kursi, merasa lelah dan kosong. Hujan di luar masih deras, seolah ikut merasakan kesedihannya. Ia menatap layar laptop yang menampilkan barisan kode yang telah diperbaiki.
Tiba-tiba, sebuah notifikasi muncul. Sebuah pesan dari Arya.
"Riana, maafkan aku. Aku tahu aku sudah menyakitimu. Aku tahu aku membuat kesalahan besar."
Riana membaca pesan itu dengan hati berdebar. Ia menunggu kelanjutannya.
"Aku tidak pernah bermaksud untuk menyakitimu. Aku terlalu fokus pada pekerjaanku, terlalu ambisius. Aku lupa betapa berharganya dirimu bagiku."
"Foto itu... wanita itu hanya rekan kerja. Kami sedang merayakan keberhasilan proyek. Aku akui, aku terlalu dekat dengannya. Tapi aku tidak pernah mencintainya."
Riana terdiam. Ia tidak tahu apa yang harus ia rasakan. Ia ingin marah, ia ingin membenci Arya. Tapi ia juga tidak bisa memungkiri bahwa ia masih mencintainya.
"Aku tahu kata-kata saja tidak cukup. Aku tahu aku harus membuktikan cintaku padamu. Aku akan kembali ke Indonesia. Aku akan meninggalkan pekerjaanku di sini."
"Aku tahu ini mungkin terlalu terlambat. Aku tahu mungkin kamu tidak akan pernah memaafkanku. Tapi aku harus mencoba. Aku harus memperjuangkanmu."
Riana meneteskan air mata. Bukan air mata kesedihan, tetapi air mata kebingungan. Ia tidak tahu apakah ia harus mempercayai Arya. Ia tidak tahu apakah ia bisa memberinya kesempatan kedua.
Ia menekan tombol "Balas."
"Arya, kamu tahu aku selalu mencintaimu. Tapi kamu juga tahu bahwa kepercayaan itu seperti cermin. Sekali pecah, tidak akan pernah bisa utuh kembali."
"Aku butuh waktu. Aku butuh waktu untuk memikirkan semuanya. Aku butuh waktu untuk memutuskan apakah aku bisa memaafkanmu."
"Jangan kembali ke Indonesia hanya karena aku. Kembali karena kamu benar-benar ingin kembali. Kembali karena kamu benar-benar mencintaiku."
Ia mengirim pesan itu dan menutup laptopnya. Hujan di luar mulai mereda. Ia berdiri dan berjalan menuju jendela. Ia menatap langit yang mulai cerah.
Ia tahu bahwa perjalanan cintanya masih panjang dan berliku. Ia tahu bahwa ada banyak hal yang harus ia pertimbangkan. Tapi ia juga tahu bahwa di balik algoritma luka, masih ada jejak digital hati yang tulus. Ia hanya perlu waktu untuk menemukan jejak itu kembali.