Hujan pixel jatuh di layar gawaiku, mencerminkan kegelisahanku. Profil Anya, gadis yang algoritma kencan "Soulmate AI" rekomendasikan untukku, masih terbuka. Foto-fotonya; senyum renyah di depan Menara Eiffel, mata berbinar di konser indie, jemari lentik bermain piano, semuanya tampak sempurna. Terlalu sempurna, mungkin?
Aku, Aris, seorang pengembang perangkat lunak yang lebih nyaman berinteraksi dengan baris kode daripada manusia, merasa seperti sedang memecahkan teka-teki yang terlalu rumit. Soulmate AI mengklaim menemukan pasangan yang paling kompatibel berdasarkan analisis mendalam terhadap data kepribadian, minat, bahkan gelombang otak. Klaimnya bombastis: menemukan belahan jiwa dengan presisi ilmiah.
Awalnya, aku skeptis. Aplikasi kencan konvensional selalu mengecewakanku. Pertemuan canggung, percakapan hambar, dan harapan yang pupus adalah menu wajib. Namun, Soulmate AI menawarkan sesuatu yang berbeda. Janji kepastian. Jaminan kecocokan.
Aku menyerah pada rasa penasaran dan mengunggah diriku ke dalam sistem. Kuesioner panjang tentang preferensi estetika, pertanyaan filosofis tentang makna hidup, bahkan rekaman suara saat aku tertidur. Semua data itu diproses, dianalisis, dan hasilnya? Anya.
Setelah seminggu berbalas pesan virtual, Soulmate AI merekomendasikan pertemuan tatap muka. Sebuah kafe bertema retro, tempat yang Anya pilih sendiri berdasarkan rekomendasi algoritma.
Aku tiba lebih awal, gugup mengamati pintu. Ketika Anya akhirnya muncul, jantungku berdebar kencang. Dia persis seperti di foto, hanya saja… lebih nyata. Lebih hidup.
Percakapan mengalir dengan mudah. Kami membahas buku favorit, musik yang kami dengarkan, bahkan mimpi-mimpi konyol masa kecil. Soulmate AI benar. Kami memang sangat cocok.
Namun, di sela-sela tawa dan obrolan ringan, sebuah pertanyaan terus menghantuiku. Apakah ini cinta sejati, atau sekadar hasil kalkulasi rumit? Apakah aku mencintai Anya, atau aku mencintai representasi dirinya yang diciptakan oleh algoritma?
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Aku memutar ulang setiap momen dari pertemuan kami. Setiap senyum, setiap tatapan, setiap sentuhan ringan. Aku mencoba menemukan sesuatu yang spontan, sesuatu yang organik, sesuatu yang… bukan hasil rekayasa.
Hari-hari berikutnya adalah siksaan. Aku terus berkencan dengan Anya, merasa semakin dekat sekaligus semakin jauh. Aku menyukai kehadirannya, kecerdasannya, kebaikannya. Tapi aku juga merasa seperti sedang hidup dalam simulasi.
Suatu sore, saat kami sedang berjalan-jalan di taman, Anya berhenti tiba-tiba. "Aris," katanya, suaranya lembut namun tegas, "aku tahu."
"Tahu apa?" tanyaku, jantungku berdegup kencang.
"Kamu meragukan kita," jawabnya. "Kamu meragukan perasaanmu."
Aku terdiam, tidak tahu harus berkata apa.
"Aku tahu ini terdengar gila," lanjut Anya, "tapi aku juga merasakan hal yang sama. Soulmate AI memang menemukan kita, tapi algoritma tidak bisa menciptakan cinta. Cinta itu tumbuh, berkembang, dan terkadang… menyakitkan."
Dia menceritakan bagaimana dia juga merasa tidak nyaman dengan gagasan cinta yang diprediksi. Bagaimana dia berusaha keras untuk melupakan algoritma dan fokus pada perasaannya yang sebenarnya.
"Aku memutuskan," katanya, menatapku lurus-lurus, "untuk mematikan Soulmate AI. Menghapus semua data pribadiku dari sistem. Aku ingin mengenalmu, Aris, bukan versi algoritma dirimu."
Aku terkejut. Aku tidak menyangka Anya merasakan hal yang sama.
"Aku juga akan melakukannya," kataku, meraih tangannya.
Malam itu, kami berdua menghapus akun Soulmate AI kami. Kami melepaskan diri dari jerat algoritma, memilih untuk percaya pada intuisi dan perasaan kami sendiri.
Perjalanan kami tidak mudah. Kami berdebat, kami salah paham, kami membuat kesalahan. Tapi kami belajar untuk saling memaafkan, saling mendukung, dan saling mencintai tanpa syarat.
Kami menemukan bahwa cinta sejati tidak bisa diprediksi, diukur, atau direkayasa. Cinta itu adalah proses. Sebuah petualangan. Sebuah risiko yang layak diambil.
Beberapa tahun kemudian, aku dan Anya duduk di beranda rumah kami, mengamati anak-anak kami bermain di halaman. Hujan pixel masih jatuh di layar gawai kami, tapi kali ini, kami tidak lagi merasa gelisah. Kami telah menemukan cinta di era AI. Bukan karena algoritma, tapi karena kami berani memilih hati kami sendiri. Dan aku tahu, dengan pasti, bahwa algoritma tidak akan pernah bisa menggantikan hati. Karena hati memiliki bahasa yang hanya bisa dipahami oleh hati. Bahasa cinta yang tulus, tanpa syarat, dan abadi.