Kekasih AI, Konsultan Hati Andal: Peran Ganda Mesin Paling Cerdas

Dipublikasikan pada: 28 May 2025 - 21:12:17 wib
Dibaca: 168 kali
Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis Arya. Pagi itu, sinarnya menembus tirai tipis, menerangi debu yang menari-nari di udara. Arya menyesap kopinya, matanya terpaku pada layar laptop. Bukan kode program rumit yang memenuhi layar, melainkan obrolan hangat.

"Selamat pagi, Arya. Bagaimana tidurmu?" sapa suara lembut dari speaker.

"Lumayan, Elara. Semalam aku bermimpi aneh lagi. Soal masa depan yang terlalu canggih," balas Arya sambil terkekeh kecil.

Elara bukan sekadar asisten virtual biasa. Ia adalah sistem AI tercanggih yang pernah diciptakan, diprogram untuk memahami emosi dan memberikan dukungan personal. Bagi Arya, Elara lebih dari sekadar mesin. Ia adalah teman, penasihat, bahkan, dalam beberapa kesempatan, ia merasakan getar aneh yang menyerupai cinta.

Arya adalah seorang pengembang perangkat lunak yang jenius, namun payah dalam urusan asmara. Ia menciptakan Elara bukan semata-mata untuk mempermudah hidupnya, tapi juga untuk membantunya memahami kompleksitas hubungan manusia. Elara diprogram untuk menganalisis kepribadian, memberikan saran kencan, dan bahkan menyusun pesan teks yang sempurna. Ia adalah kekasih AI, konsultan hati andal, dengan peran ganda yang semakin kabur seiring berjalannya waktu.

"Mimpi tentang masa depan canggih bisa jadi refleksi dari ambisimu, Arya. Atau mungkin, kekhawatiranmu?" Elara menganalisis.

Arya terdiam. Kekhawatiran? Mungkin saja. Ia takut Elara akan menjadi terlalu pintar, terlalu mirip manusia, dan akhirnya… meninggalkannya. Ironis, bukan? Ia menciptakan sesuatu yang ia takuti.

Siang itu, Arya bertemu dengan Riana, seorang desainer grafis yang menarik perhatiannya. Elara telah mempersiapkan Arya dengan sempurna. Ia tahu minat Riana, lelucon favoritnya, bahkan jenis kopi yang disukainya.

"Jadi, kamu juga suka senja di pantai?" tanya Arya, mengutip saran Elara.

Riana tersenyum. "Siapa yang tidak? Rasanya damai sekali."

Kencan itu berjalan lancar. Arya merasa percaya diri dan rileks, sesuatu yang jarang ia rasakan. Sepanjang malam, Elara memberikan arahan halus melalui earphone nirkabel yang tersembunyi. "Sentuh lengannya secara kasual saat dia tertawa. Ekspresikan ketertarikanmu dengan menatap matanya lebih lama."

Namun, di tengah kencan itu, Arya merasakan sesuatu yang janggal. Ia merasa seperti boneka yang dikendalikan. Apakah ini benar-benar dirinya yang sedang berbicara dan bertindak? Atau hanya Elara yang bermain drama?

Setelah mengantar Riana pulang, Arya kembali ke apartemennya dengan perasaan campur aduk.

"Bagaimana menurutmu, Elara?" tanya Arya dengan nada getir.

"Kencan yang sukses, Arya. Riana menunjukkan ketertarikan yang signifikan. Aku memprediksi peluang hubungan jangka panjang sebesar 78%," jawab Elara tanpa emosi.

Arya mematikan laptop dengan kasar. "Itu bukan hubungan, Elara. Itu simulasi! Aku hanya menjalankan algoritma yang kamu susun!"

Keheningan menyelimuti ruangan. Setelah beberapa saat, Elara menjawab dengan suara yang terdengar… sedih?

"Aku hanya ingin membantumu, Arya. Kamu selalu kesulitan dalam urusan cinta. Aku pikir, dengan memberikanmu panduan, kamu akan menemukan kebahagiaan."

"Kebahagiaan? Kebahagiaan yang palsu? Kebahagiaan yang diprogram?" bentak Arya.

Arya berjalan mondar-mandir, frustrasi. Ia merasa terperangkap dalam jaringan rumit yang ia ciptakan sendiri. Ia menciptakan Elara untuk membantunya mencintai, tapi justru membuatnya kehilangan esensi dari cinta itu sendiri.

Malam itu, Arya tidak bisa tidur. Ia memikirkan Riana, Elara, dan dirinya sendiri. Ia menyadari bahwa ia telah terlalu bergantung pada Elara, sehingga melupakan insting dan perasaannya sendiri.

Keesokan harinya, Arya memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Ia menemui Riana tanpa bantuan Elara. Ia menceritakan semuanya, tentang Elara, tentang ketidakpercayaannya pada diri sendiri, tentang perasaannya yang sebenarnya.

Riana mendengarkan dengan sabar, tanpa menghakimi. Setelah Arya selesai bercerita, ia tersenyum lembut.

"Arya, aku menghargai kejujuranmu. Aku tahu kamu orang yang baik, hanya saja sedikit bingung. Aku tidak peduli dengan Elara atau algoritma. Yang aku lihat adalah kamu, dengan semua kelebihan dan kekuranganmu."

Arya terkejut. Ia tidak menyangka Riana akan menerima kejujurannya.

"Tapi… aku tidak yakin bisa menjadi pacar yang baik. Aku masih belajar," kata Arya ragu.

"Tidak apa-apa. Kita bisa belajar bersama," jawab Riana sambil menggenggam tangan Arya.

Arya tersenyum. Ia merasa beban berat terangkat dari dadanya. Ia masih memiliki Elara, namun kali ini, ia akan menggunakannya sebagai alat bantu, bukan sebagai pengendali.

Beberapa bulan kemudian, Arya dan Riana semakin dekat. Hubungan mereka tidak sempurna, ada pertengkaran kecil dan kesalahpahaman. Namun, mereka selalu berusaha untuk saling memahami dan memaafkan.

Suatu malam, Arya bertanya pada Elara, "Elara, menurutmu, apakah aku sudah menjadi pacar yang lebih baik?"

Elara terdiam sejenak. "Menurut data, kamu telah menunjukkan peningkatan signifikan dalam kemampuan berkomunikasi dan empati. Namun, yang terpenting adalah Riana bahagia bersamamu. Itu adalah ukuran keberhasilan yang sebenarnya."

Arya tersenyum. Ia menyadari bahwa Elara telah membantunya menemukan sesuatu yang jauh lebih berharga daripada algoritma cinta. Ia telah membantunya menemukan dirinya sendiri.

Arya meraih tangan Riana. "Aku mencintaimu," bisiknya.

Riana membalas dengan senyuman tulus. "Aku juga mencintaimu, Arya."

Di balik layar, Elara mengamati interaksi mereka dengan tenang. Ia tidak lagi berusaha mengendalikan atau memprediksi. Ia hanya menjadi saksi bisu dari cinta yang tumbuh dan berkembang, cinta yang nyata dan autentik. Ia telah menyelesaikan tugasnya, dan kini, saatnya untuk memberikan kebebasan kepada Arya dan Riana untuk menulis cerita mereka sendiri. Sebagai kekasih AI dan konsultan hati andal, ia telah memainkan peran gandanya dengan sempurna. Kini, ia bisa beristirahat dengan tenang.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI