Algoritma Hati: Cinta Digital, Luka yang Terdefinisi?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 08:19:36 wib
Dibaca: 167 kali
Jemari Aira menari di atas keyboard, baris demi baris kode Python bermunculan di layar laptopnya. Di usia 25 tahun, ia adalah seorang data scientist yang brilian, otaknya dipenuhi algoritma dan kecerdasan buatan. Namun, di balik kecerdasan itu, tersimpan sebuah pertanyaan yang belum terjawab: bisakah algoritma memprediksi, atau bahkan menciptakan, cinta?

Pertanyaan itu muncul bukan tanpa alasan. Aira baru saja patah hati. Lagi. Hubungan terakhirnya, yang dibangun melalui aplikasi kencan populer, kandas setelah enam bulan. Alasannya klise: tidak cocok. Padahal, algoritma aplikasi itu menjanjikan kecocokan 98% berdasarkan data minat, hobi, dan preferensi yang mereka berdua berikan.

"98% cocok, tapi tetap saja berakhir jadi 0% bahagia," gumam Aira, mengacak-acak rambutnya yang diikat asal.

Di sudut ruangan apartemennya yang minimalis, sebuah bingkai foto tersenyum mengejeknya. Foto dirinya dan mantan pacarnya, tersenyum lebar di sebuah kafe hipster. Senyum yang kini terasa hambar, dipenuhi kepalsuan yang disembunyikan di balik filter Instagram.

Aira memutuskan untuk melupakan kesedihannya dengan bekerja. Ia tengah mengerjakan proyek sampingan yang ambisius: sebuah algoritma cinta. Bukan sekadar aplikasi kencan biasa, tapi sebuah sistem yang mampu menganalisis data kepribadian secara mendalam, memahami kebutuhan emosional, dan memprediksi kompatibilitas jangka panjang. Ia ingin menciptakan sebuah algoritma yang bisa benar-benar menemukan cinta sejati, bukan hanya koneksi sementara yang dipicu oleh kesamaan selera musik atau film.

Hari-hari Aira dipenuhi dengan data, kode, dan hipotesis. Ia mengumpulkan data dari berbagai sumber: survei psikologis, artikel ilmiah tentang cinta dan hubungan, bahkan transkrip percakapan dari film-film romantis klasik. Ia mempelajari pola-pola yang tersembunyi, mencari tahu faktor-faktor yang memprediksi keberhasilan sebuah hubungan.

Di tengah kesibukannya, Aira bertemu dengan seorang engineer bernama Rian di sebuah konferensi teknologi. Rian adalah sosok yang bertolak belakang dengan dirinya: ekstrovert, spontan, dan tidak terlalu peduli dengan data. Ia lebih suka mengandalkan intuisi daripada algoritma.

Awalnya, Aira merasa terganggu dengan keberadaan Rian. Ia menganggapnya terlalu berisik dan tidak serius. Namun, lambat laun, ia mulai tertarik dengan cara pandang Rian yang berbeda. Rian tidak berusaha menganalisis cinta, ia merasakannya. Ia percaya bahwa cinta adalah sesuatu yang tidak bisa diprediksi, sesuatu yang muncul secara tiba-tiba dan mengubah segalanya.

Rian tahu tentang proyek algoritma cinta Aira. Ia tidak mencemoohnya, tapi ia juga tidak sepenuhnya mendukungnya. Ia berpendapat bahwa cinta terlalu kompleks untuk direduksi menjadi sekadar angka dan rumus.

"Cinta itu bukan soal kompatibilitas 98%," kata Rian suatu malam, saat mereka sedang makan malam di sebuah restoran sederhana. "Cinta itu soal menerima kekurangan masing-masing, soal berjuang bersama melewati masa-masa sulit, soal tertawa bersama di tengah hujan."

Kata-kata Rian membuat Aira terdiam. Ia menyadari bahwa selama ini, ia terlalu fokus pada data dan analisis, sehingga melupakan esensi dari cinta itu sendiri. Ia berusaha menciptakan algoritma yang sempurna, padahal kesempurnaan itu sendiri adalah ilusi.

Aira dan Rian mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama. Mereka berdiskusi tentang teknologi, cinta, dan kehidupan. Aira belajar untuk lebih terbuka dan spontan, sementara Rian belajar untuk lebih menghargai kekuatan data dan analisis.

Namun, di lubuk hatinya, Aira masih ragu. Ia takut untuk jatuh cinta lagi, takut untuk terluka lagi. Ia takut bahwa algoritma cintanya akan gagal lagi, dan ia akan kembali sendirian.

Suatu malam, Aira menunjukkan algoritma cintanya kepada Rian. Ia meminta Rian untuk mencoba sistem tersebut, untuk melihat apakah algoritma itu bisa memprediksi kecocokan mereka.

Rian setuju. Ia mengisi kuesioner dengan jujur, menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang kepribadian, minat, dan preferensinya. Setelah beberapa menit, algoritma itu memberikan hasilnya: 72% cocok.

Aira terkejut. 72%? Itu bukan angka yang buruk, tapi juga bukan angka yang istimewa. Algoritmanya sendiri yang ia buat, justru tidak menjamin kelanjutan hubungannya dengan Rian.

"Hanya 72%?" tanya Aira, dengan nada kecewa.

Rian tertawa. "Kenapa kamu kecewa? Bukankah itu berarti masih ada ruang untuk kejutan?"

Rian meraih tangan Aira dan menggenggamnya erat. "Aira, algoritma ini mungkin bisa memprediksi kecocokan kita, tapi tidak bisa memprediksi perasaan kita. Aku tidak peduli dengan angka 72% itu. Yang aku tahu, aku nyaman bersamamu, aku menyukaimu, dan aku ingin mengenalmu lebih jauh."

Aira menatap mata Rian. Ia melihat kejujuran, kehangatan, dan cinta di sana. Ia menyadari bahwa cinta tidak bisa didefinisikan oleh algoritma, cinta hanya bisa dirasakan.

Aira mematikan laptopnya dan memeluk Rian. "Aku juga menyukaimu, Rian," bisiknya.

Malam itu, Aira memutuskan untuk meninggalkan proyek algoritma cintanya. Ia menyadari bahwa ia tidak perlu algoritma untuk menemukan cinta sejati. Ia hanya perlu membuka hatinya dan membiarkan cinta itu datang dengan sendirinya. Luka yang terdefinisi memang ada, tapi algoritma hati tak bisa menjawab segalanya. Cinta itu rumit, tidak sempurna, dan seringkali tidak logis. Tapi, itulah yang membuatnya indah. Cinta itu bukan tentang angka, tapi tentang perasaan. Dan perasaan, tidak bisa diprediksi oleh algoritma mana pun.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI