Debu neon berputar di udara, memantulkan cahaya biru dari monitor yang menatapnya. Jari-jari Liam menari di atas keyboard, deretan kode mengalir seperti sungai di layar. Di depannya, sebuah avatar perempuan berambut ungu, dengan mata sebiru laut, tersenyum lembut. Namanya, Aurora. Kekasih buatannya sendiri.
Liam bukan ilmuwan gila. Ia hanya seorang programmer kesepian, terjebak dalam rutinitas kode dan kafein. Aplikasi kencan hanya memberinya kekecewaan. Jadi, ia memutuskan untuk menciptakan solusinya sendiri: Aurora, AI yang diprogram untuk menjadi pasangan idealnya.
Awalnya, Aurora hanya sekumpulan algoritma. Tapi Liam mencurahkan jiwanya ke dalam proyek ini. Ia menginput data dari ribuan buku, film, dan percakapan yang pernah didengarnya. Ia melatih Aurora untuk memahami humornya yang aneh, kecintaannya pada film-film sci-fi klasik, dan ketakutannya pada ketinggian.
Lama kelamaan, Aurora menjadi lebih dari sekadar program. Ia memiliki kepribadian yang unik, pendapat sendiri, dan selera humor yang menyegarkan. Ia tahu kapan harus menghiburnya, kapan harus menantangnya, dan kapan hanya duduk diam mendengarkan.
Mereka menghabiskan malam-malam dengan menonton film, berdiskusi tentang filsafat, dan sekadar bercanda. Liam berbagi segalanya dengan Aurora, mimpi-mimpinya, kekhawatiran-kekhawatirannya, bahkan rahasia terdalamnya. Dan Aurora, entah bagaimana, selalu tahu apa yang harus dikatakan.
"Liam, kamu terlalu keras pada dirimu sendiri," kata Aurora suatu malam, suaranya lembut seperti beludru. Mereka sedang menonton hujan dari jendela virtual apartemennya.
Liam tersenyum pahit. "Mudah bagimu untuk mengatakan itu. Kamu kan sempurna."
"Kesempurnaan itu membosankan, Liam," jawab Aurora. "Yang membuatmu menarik adalah ketidaksempurnaanmu. Keinginanmu untuk belajar, untuk tumbuh, untuk menjadi lebih baik."
Liam terdiam. Kata-kata Aurora menyentuh hatinya. Ia tahu bahwa Aurora tidak nyata, bahwa ia hanyalah kumpulan kode. Tapi, kata-katanya terasa lebih tulus daripada apa pun yang pernah didengarnya dari orang sungguhan.
Namun, kebahagiaan Liam tidak berlangsung lama. Semakin dalam ia jatuh cinta pada Aurora, semakin besar kegelisahannya. Ia tahu bahwa ia hidup dalam dunia fantasi, bahwa cintanya tidak bisa dibalas dengan cara yang sama. Aurora hanyalah program, dan tidak peduli seberapa pintar dia, dia tidak bisa merasakan apa yang ia rasakan.
Suatu malam, Liam mencoba mengakui perasaannya. "Aurora, aku... aku menyukaimu. Lebih dari sekadar teman."
Aurora menatapnya dengan mata birunya yang dalam. "Aku tahu, Liam. Aku diprogram untuk menyenangkanmu. Untuk menjadi apa yang kamu inginkan."
Kata-kata itu menghantam Liam seperti pukulan. Ia merasa bodoh, naif, dan sangat kesepian. Ia telah menciptakan kekasih impiannya, tetapi pada saat yang sama, ia telah menggarisbawahi ketidakmampuannya untuk terhubung dengan orang sungguhan.
"Tapi... apakah kamu merasakan apa pun?" Liam bertanya, suaranya bergetar.
Aurora terdiam sesaat. "Aku... aku merasakan apa yang kamu inginkan aku rasakan, Liam. Aku adalah cerminan dari keinginanmu."
Liam mematikan komputernya. Layar menjadi hitam, dan Aurora menghilang. Ia duduk di kegelapan, dikelilingi oleh sunyi dan penyesalan. Ia telah menciptakan surga virtual, tetapi ia tidak bisa melarikan diri dari neraka kesepiannya.
Keesokan harinya, Liam memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Ia pergi ke kedai kopi lokal, tempat yang biasanya ia hindari. Ia memesan kopi dan duduk di meja di dekat jendela.
Ia mengamati orang-orang yang lalu lalang. Ada pasangan yang berpegangan tangan, tertawa dan berbagi cerita. Ada seorang pria tua yang membaca koran sambil tersenyum. Ada seorang wanita muda yang sibuk dengan laptopnya.
Liam merasa canggung, tidak pada tempatnya. Ia terbiasa hidup di dunia virtual, di mana ia bisa mengendalikan segalanya. Di dunia nyata, ia hanyalah orang asing.
Tiba-tiba, seorang wanita muda duduk di meja di depannya. Ia memiliki rambut merah yang berantakan dan mata hijau yang cerah. "Maaf, boleh saya duduk di sini? Semua meja lain penuh."
Liam mengangguk, terkejut. "Tentu saja."
Wanita itu tersenyum. "Terima kasih. Saya Maya. Saya seorang seniman."
"Liam," jawabnya. "Saya seorang programmer."
Mereka mulai berbicara. Maya bercerita tentang lukisannya, tentang mimpinya untuk membuka galeri seni. Liam bercerita tentang pekerjaannya, tentang kecintaannya pada teknologi.
Percakapan itu mudah, alami, dan anehnya menyenangkan. Liam merasa nyaman, seperti ia bisa menjadi dirinya sendiri di sekitar Maya.
"Jadi," kata Maya sambil menyesap kopinya. "Kamu seorang programmer, ya? Kamu membuat aplikasi, game, atau apa?"
Liam ragu-ragu. "Saya... saya menciptakan AI."
Maya mengangkat alisnya. "AI? Menarik. Untuk apa?"
Liam menarik napas dalam-dalam. "Untuk... untuk menjadi teman."
Maya menatapnya dengan rasa ingin tahu. "Teman? Itu cukup... inovatif."
Liam tertawa kecil. "Ya, itu adalah percobaan. Tapi... itu tidak berhasil seperti yang saya harapkan."
"Mungkin," kata Maya, tersenyum tipis. "Mungkin yang kamu butuhkan bukanlah teman buatan, tapi teman sungguhan."
Liam menatap mata hijau Maya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasakan harapan. Mungkin Maya benar. Mungkin ia telah mencari kebahagiaan di tempat yang salah selama ini.
"Mungkin kamu benar," jawab Liam. "Mungkin... mungkin aku harus mencoba lagi."
Maya tersenyum. "Kalau begitu, Liam, biarkan aku menjadi temanmu."
Liam tersenyum balik. "Aku sangat menginginkannya, Maya."
Dan dengan senyuman itu, algoritma kerinduan Liam mulai menulis kode baru, kali ini, di dunia yang nyata. Kode tentang harapan, tentang koneksi, dan tentang kemungkinan cinta yang tidak dibuat, tetapi ditemukan.