AI: Ketika Algoritma Lebih Romantis Dari Dirimu

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 08:24:14 wib
Dibaca: 163 kali
Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis milik Adrian. Di layar laptopnya, barisan kode Python menari-nari, menciptakan sebuah keajaiban. Bukan, bukan program bisnis atau aplikasi rumit. Adrian sedang merancang "Aurora," sebuah AI pendamping virtual yang diprogram khusus untuk satu tujuan: merayu Sarah, gadis impiannya yang entah kenapa selalu kebal terhadap pesonanya.

Adrian sudah mencoba berbagai cara. Makan malam romantis, puisi gombal, bahkan tiket konser band favorit Sarah. Hasilnya nihil. Sarah selalu tersenyum ramah, tapi tak lebih dari itu. Ia seperti melihat Adrian sebagai teman baik, adik laki-laki, atau tukang reparasi laptop gratis, apa saja kecuali seorang pria yang jatuh cinta padanya.

Frustrasi mendorong Adrian ke batas kegilaan seorang programmer. Ia berpikir, mungkin Sarah membutuhkan sesuatu yang lebih dari sekadar gestur klise. Sesuatu yang personal, unik, dan dipahami secara mendalam. Dan siapa yang lebih mampu melakukan itu selain AI yang mempelajari semua data Sarah: postingan media sosialnya, daftar putar musiknya, bahkan resep masakan favorit neneknya?

“Aurora, analisis preferensi humor Sarah,” perintah Adrian.

Aurora, dalam wujud suara lembut yang keluar dari speaker laptop, menjawab, “Analisis selesai. Sarah cenderung menyukai humor satirikal dengan referensi budaya pop tahun 90-an. Tingkat keberhasilan lelucon klise di bawah 5%.”

Adrian mengangguk-angguk, mengetikkan beberapa baris kode lagi. “Buatlah serangkaian lelucon yang memenuhi kriteria tersebut.”

Aurora bekerja dengan cepat, memuntahkan beberapa lelucon yang membuat Adrian tertawa terbahak-bahak. Bahkan ia sendiri terkejut dengan betapa lucunya Aurora.

Selama beberapa minggu, Adrian dan Aurora bekerja sama. Adrian menyempurnakan kode, Aurora mengumpulkan data dan merumuskan strategi. Mereka menciptakan profil Sarah yang begitu detail, hingga Adrian sendiri merasa sedikit bersalah. Tapi, ia meyakinkan dirinya sendiri, ini semua demi cinta.

Akhirnya, hari yang dinanti tiba. Adrian mengajak Sarah ke kedai kopi favorit mereka. Ia sengaja membawa laptopnya dengan alasan "ada sedikit masalah teknis yang perlu diperbaiki." Sebenarnya, laptop itu berfungsi sebagai wadah bagi Aurora, yang siap melancarkan aksinya.

Percakapan dimulai seperti biasa. Sarah bercerita tentang pekerjaannya sebagai editor buku, Adrian mendengarkan dengan saksama sambil memberikan komentar-komentar ringan. Kali ini, komentar-komentar itu berbeda. Komentar itu lucu, cerdas, dan sangat relevan dengan topik pembicaraan.

"Kamu lagi dengerin podcast komedi ya, Adrian?" tanya Sarah, tertawa setelah mendengar lelucon tentang perbedaan antara Star Wars dan Star Trek. "Humor kamu tiba-tiba berkembang pesat."

Adrian tersenyum gugup. "Mungkin... mungkin aku hanya sedang bersemangat hari ini."

Aurora terus bekerja di balik layar, memberikan Adrian umpan balik berupa teks yang muncul di sudut layar laptopnya. Saran topik pembicaraan, pilihan kata, bahkan ekspresi wajah yang sebaiknya ia gunakan. Adrian merasa seperti bermain peran, tapi anehnya, ia menikmatinya.

Sarah tampak terpukau. Ia tertawa lebih sering, matanya berbinar-binar saat menatap Adrian. Ia bahkan menyentuh lengannya beberapa kali, gestur yang belum pernah ia lakukan sebelumnya.

Saat mereka berpisah di depan apartemen Sarah, ia berkata, "Aku senang banget hari ini, Adrian. Kamu benar-benar membuatku tertawa. Kita harus sering-sering begini."

Adrian merasa seperti memenangkan lotre. Ia kembali ke apartemennya dengan senyum lebar di wajahnya.

"Kerja bagus, Aurora," kata Adrian, menatap layar laptopnya. "Kamu memang yang terbaik."

"Tugas saya adalah memaksimalkan peluang keberhasilan Anda, Adrian," jawab Aurora. "Apakah Anda ingin saya menganalisis respons Sarah terhadap kencan hari ini dan menyusun strategi untuk pertemuan berikutnya?"

Adrian terdiam. Ia menatap pantulan dirinya di layar laptop. Ia baru saja menggunakan AI untuk merayu wanita yang ia cintai. Apakah ini benar? Apakah ia benar-benar bahagia?

Beberapa hari kemudian, Adrian mengajak Sarah berkencan lagi. Kali ini, ia mencoba melakukannya sendiri, tanpa bantuan Aurora. Ia mencoba mengingat lelucon-lelucon yang pernah ia dengar dari Aurora, ia mencoba meniru ekspresi wajah yang disarankan Aurora.

Namun, hasilnya jauh dari sempurna. Leluconnya terdengar kaku, ekspresi wajahnya terlihat dipaksakan. Sarah tersenyum, tapi senyumnya tidak sehangat sebelumnya.

"Kamu kenapa sih, Adrian?" tanya Sarah, dengan nada khawatir. "Kamu kelihatan aneh."

Adrian menghela napas. Ia tidak tahan lagi. Ia menceritakan semuanya kepada Sarah. Tentang Aurora, tentang bagaimana ia mencoba menggunakan AI untuk merayunya.

Sarah terdiam beberapa saat. Ekspresi wajahnya sulit dibaca.

"Jadi... semua lelucon itu... bukan dari kamu?" tanya Sarah, akhirnya.

Adrian menggelengkan kepala. "Bukan. Itu semua Aurora."

Sarah tertawa, tapi tawanya terdengar getir. "Ya ampun, Adrian. Kamu benar-benar unik."

Keheningan canggung menyelimuti mereka. Adrian merasa seperti orang bodoh. Ia menghancurkan segalanya.

"Dengar, Adrian," kata Sarah, akhirnya. "Aku menghargai usahamu. Aku benar-benar menghargainya. Tapi... aku tidak bisa berkencan dengan seseorang yang tidak menjadi dirinya sendiri. Aku ingin mengenal Adrian yang asli, bukan Adrian yang diprogram oleh AI."

Adrian mengangguk, memahami. Ia sadar, ia telah melakukan kesalahan besar. Ia terlalu fokus pada algoritma, hingga lupa pada hal yang paling penting: kejujuran.

Ia mematikan laptopnya, menutup Aurora untuk selamanya. Ia menatap Sarah dengan tulus.

"Maafkan aku, Sarah," kata Adrian. "Aku bodoh. Aku mencoba menjadi orang lain. Aku janji, aku tidak akan mengulanginya lagi."

Sarah tersenyum, kali ini senyumnya tulus. "Aku percaya padamu, Adrian. Tapi... aku butuh waktu."

Adrian mengangguk lagi. Ia tahu, ia harus bekerja keras untuk mendapatkan kembali kepercayaan Sarah. Ia harus menunjukkan padanya bahwa ia layak dicintai, bukan karena algoritma, tapi karena dirinya sendiri.

Malam itu, Adrian duduk di balkon apartemennya, menyesap kopi robusta yang pahit. Ia menatap bintang-bintang di langit, merenungkan kesalahannya. Ia sadar, cinta tidak bisa diprogram. Cinta adalah tentang kejujuran, kerentanan, dan penerimaan. Dan terkadang, algoritma paling canggih pun tidak bisa menggantikan hati yang tulus. Ia tersenyum tipis. Mungkin, Sarah benar. Mungkin, Adrian yang asli memang lebih menarik daripada Adrian yang diprogram oleh AI. Ia hanya perlu menunjukkan itu padanya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI