Debu digital berterbangan di hadapanku, memenuhi layar laptop yang menyala redup. Jemariku menari di atas keyboard, merangkai baris demi baris kode. Tujuanku sederhana, namun terasa mustahil: menghapus memori cintaku dengan Anya. Aku, Kai, seorang programmer yang lebih mahir berkomunikasi dengan mesin daripada manusia, kini berusaha memrogram hatinya sendiri. Atau, lebih tepatnya, menghapus jejak kehadiran Anya di dalamnya.
Anya, dengan rambutnya yang selalu berantakan, senyumnya yang menular, dan kecintaannya pada kopi pahit. Dulu, dia adalah bug yang paling menyenangkan di dalam sistem kehidupanku yang monoton. Kami bertemu di CodeFest, sebuah acara tahunan yang menjadi surga bagi para penggila kode. Dia, seorang desainer UI/UX, sedangkan aku, seorang ahli algoritma. Kombinasi yang sempurna, pikirku dulu.
Kami membangun aplikasi bersama, menciptakan dunia virtual yang indah, penuh warna, dan bebas dari logika kaku. Aplikasi itu, "Memori Abadi", seharusnya menjadi bukti cinta abadi kami. Ironis, bukan? Sekarang, aku justru ingin menghapus memori itu sendiri.
Perpisahan kami terjadi tiba-tiba, seperti update sistem yang memaksa. Anya diterima bekerja di perusahaan teknologi raksasa di Silicon Valley. Sebuah kesempatan emas yang tak mungkin dia tolak. Aku mengerti, sungguh. Namun, dalam hatiku yang paling dalam, aku merasa ditinggalkan. Dia memilih kariernya, memilih masa depannya, tanpa aku.
Kata-kata terakhirnya terngiang di telingaku, "Kai, ini bukan berarti akhir. Hanya babak baru dalam cerita kita."
Babak baru? Bagiku, ini adalah akhir. Aku tidak percaya pada cinta jarak jauh. Aku terlalu rasional untuk percaya pada dongeng-dongeng romantis. Jadi, aku memilih untuk menghapus semua tentangnya.
Maka, aku mulai menulis algoritma perpisahan. Sebuah program yang akan menganalisis data-data di otakku, mengidentifikasi neuron-neuron yang terhubung dengan Anya, dan secara perlahan, menghapusnya. Terdengar gila? Mungkin. Tapi aku putus asa.
Algoritma itu sangat kompleks. Aku menggunakan teknik machine learning, neural networks, dan berbagai macam trik pemrograman lainnya. Aku melatihnya dengan data-data yang aku kumpulkan sendiri, seperti foto-foto Anya, rekaman suaranya, bahkan aroma parfumnya yang masih tertinggal di kamarku.
Prosesnya menyakitkan. Setiap kali algoritma itu menemukan jejak Anya dalam pikiranku, rasanya seperti jantungku diremas. Aku melihat kembali kenangan-kenangan indah kami, tawa kami, ciuman pertama kami. Semuanya diputar ulang di hadapanku, sebelum akhirnya dihapus dengan kejam.
Aku menjadi semakin dingin, semakin apatis. Emosiku tumpul. Aku bahkan mulai melupakan hal-hal kecil tentang Anya, seperti warna favoritnya atau lagu yang selalu dia nyanyikan saat memasak. Apakah ini yang aku inginkan?
Suatu malam, saat aku sedang menguji algoritma itu, aku menemukan sesuatu yang aneh. Algoritma itu menemukan sebuah file tersembunyi di dalam sistem memori ku. File itu berisi kode yang ditulis oleh Anya, jauh sebelum kami berpisah.
Aku membuka file itu. Di dalamnya terdapat sebuah program sederhana, sebuah algoritma kecil yang berfungsi untuk menyimpan semua kenangan kami dalam format yang aman dan terenkripsi.
Aku terkejut. Mengapa Anya melakukan ini?
Kemudian, aku menemukan catatan kecil di bawah kode itu. "Untuk Kai, jika suatu saat nanti kita berpisah, aku ingin kau tahu bahwa kenangan tentangmu akan selalu aman bersamaku. Aku tidak akan pernah menghapusnya, bahkan jika itu menyakitkan."
Air mata mengalir di pipiku. Aku merasa bodoh, sangat bodoh. Aku telah berusaha menghapus sesuatu yang bahkan tidak ingin dihapus olehnya. Aku telah menghancurkan hatiku sendiri demi sebuah ilusi, sebuah keyakinan bahwa aku bisa mengendalikan perasaan.
Aku mematikan laptopku. Debu digital masih berterbangan di udara, namun kali ini, aku tidak lagi merasa terganggu. Aku tahu, aku tidak bisa menghapus Anya dari pikiranku. Dia sudah menjadi bagian dari diriku, sebuah kode yang tertanam dalam DNA emosionalku.
Aku memutuskan untuk berhenti menjalankan algoritma perpisahan itu. Aku membiarkan kenangan tentang Anya tetap ada, meski itu menyakitkan. Karena, aku sadar, rasa sakit itu adalah bukti bahwa aku pernah mencintai, bahwa aku pernah hidup.
Beberapa bulan kemudian, aku mendapat email dari Anya. Dia meminta maaf atas kepergiannya dan mengatakan bahwa dia merindukanku. Dia juga mengatakan bahwa dia akan kembali ke kota kami dalam beberapa bulan.
Aku membalas emailnya dengan singkat. Aku tidak mengatakan apa pun tentang algoritma perpisahan itu. Aku hanya mengatakan bahwa aku juga merindukannya dan bahwa aku akan menunggunya.
Saat dia kembali, aku menunggunya di stasiun kereta. Aku melihatnya dari kejauhan, rambutnya masih berantakan, senyumnya masih menular. Aku berlari ke arahnya dan memeluknya erat.
"Kai," bisiknya. "Aku kembali."
Aku memeluknya semakin erat. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi aku tahu satu hal: aku tidak akan pernah mencoba menghapus memori cintaku lagi. Karena, cinta, seperti bug dalam program, kadang-kadang bisa menjadi hal yang paling indah dalam hidup. Algoritma, sekuat apa pun, tidak bisa menghapus itu. Mungkin, suatu hari nanti, kami bisa membangun "Memori Abadi" yang sesungguhnya, kali ini bukan hanya dalam bentuk aplikasi, tetapi dalam kehidupan nyata. Sebuah memori yang tidak akan pernah terhapus, bahkan oleh algoritma perpisahan yang paling canggih sekalipun. Karena, beberapa kode, memang seharusnya ditulis untuk abadi.