Cinta Teruji: AI Menciptakan Pasangan, Hati Memilih?

Dipublikasikan pada: 10 Jun 2025 - 19:40:13 wib
Dibaca: 166 kali
Kilau layar memenuhi wajah Anya. Jemarinya menari di atas keyboard, baris kode mengalir deras, menciptakan algoritma demi algoritma. Ia tengah merampungkan proyek ambisiusnya: Cupid.AI, sebuah program kecerdasan buatan yang dirancang untuk menemukan pasangan hidup paling kompatibel berdasarkan data psikologis, preferensi, dan bahkan pola gelombang otak.

Anya, seorang programmer jenius berusia 28 tahun, adalah seorang skeptis romantis. Pengalaman cintanya penuh kegagalan, membuatnya percaya bahwa cinta hanyalah ilusi hormonal yang dipicu oleh kecocokan fisik semata. Cupid.AI adalah tantangan terbesarnya, sebuah upaya untuk membuktikan bahwa cinta sejati dapat dihitung, diprediksi, dan direkayasa.

Setelah berbulan-bulan bekerja keras, Cupid.AI akhirnya siap diuji. Anya memutuskan untuk menjadi subjek pertama. Ia memasukkan semua datanya, jujur dan tanpa filter. Ia bahkan menyetujui pemindaian gelombang otak yang lebih mendalam. Lalu, ia menunggu.

Beberapa jam kemudian, layar menampilkan sebuah nama: Kai. Profilnya muncul di hadapan Anya, seorang arsitek lanskap berusia 30 tahun dengan selera humor yang tajam, kecintaan pada alam, dan mimpi membangun taman kota yang berkelanjutan. Berdasarkan analisis Cupid.AI, tingkat kompatibilitas Anya dan Kai mencapai 98,7%.

Anya, meski skeptis, merasa tertarik. Ia memeriksa foto-foto Kai dengan teliti. Ia melihat senyum tulus di matanya, ketenangan yang terpancar dari auranya. Ia memutuskan untuk menghubunginya.

Kencan pertama mereka terjadi di sebuah kafe kecil yang nyaman. Kai lebih menawan dari yang Anya bayangkan. Percakapan mengalir dengan mudah, topik demi topik. Mereka tertawa, bertukar cerita, dan menemukan banyak kesamaan. Anya merasa nyaman, sesuatu yang jarang ia rasakan di dekat pria.

Minggu-minggu berikutnya terasa seperti mimpi. Kai membawanya ke galeri seni, mendaki gunung, dan menikmati makan malam romantis di bawah bintang-bintang. Anya mulai melupakan skeptisismenya. Ia mulai percaya pada Cupid.AI, pada kekuatan algoritma untuk menemukan cinta. Ia jatuh cinta pada Kai, dengan sepenuh hati.

Namun, kebahagiaan Anya tidak berlangsung lama. Suatu malam, saat mereka sedang makan malam, Anya memperhatikan tatapan aneh Kai. Ia tampak gelisah, seolah menyembunyikan sesuatu.

“Ada apa, Kai?” tanya Anya, khawatir.

Kai menghela napas panjang. “Ada sesuatu yang harus kukatakan padamu, Anya. Ini sulit.”

Anya merasakan firasat buruk. “Katakan saja.”

“Aku tahu tentang Cupid.AI,” kata Kai, suaranya pelan. “Aku tahu bahwa kau yang menciptakannya, dan aku adalah salah satu ‘hasil’nya.”

Anya membeku. Semua kebahagiaannya hancur berkeping-keping. Ia merasa seperti boneka yang dimanipulasi oleh algoritma.

“Bagaimana… bagaimana kau tahu?” tanya Anya, suaranya bergetar.

“Aku… aku direkrut oleh perusahaan teknologi saingan. Mereka tahu tentang proyekmu, dan mereka ingin menguji seberapa akuratnya Cupid.AI. Aku diminta untuk mendekatimu, mengikuti semua saran yang diberikan oleh program itu, dan melihat apa yang terjadi.”

Anya merasa dikhianati, hancur. Air mata mulai mengalir di pipinya. Ia menatap Kai, mencari tanda-tanda kebohongan di matanya, tetapi yang ia temukan hanyalah penyesalan.

“Jadi, semua ini… semua rasa sayangmu… itu palsu?” tanya Anya, suaranya tercekat.

Kai meraih tangannya. “Tidak, Anya. Bukan itu maksudku. Awalnya, aku hanya menjalankan tugas. Tapi… seiring berjalannya waktu, aku benar-benar jatuh cinta padamu. Aku menyukaimu, Anya. Sungguh.”

Anya menarik tangannya. Ia tidak tahu apa yang harus dipercaya. Apakah perasaannya selama ini nyata, ataukah hanya hasil dari manipulasi algoritma? Apakah Kai mencintainya, ataukah ia hanya seorang aktor yang memainkan perannya dengan sempurna?

Malam itu, Anya pulang dengan hati hancur. Ia menghabiskan malam tanpa tidur, memikirkan semua yang telah terjadi. Ia mempertanyakan segalanya, termasuk kepercayaannya pada Cupid.AI.

Keesokan harinya, Anya memutuskan untuk menemui Kai. Ia perlu tahu kebenaran, tanpa manipulasi, tanpa algoritma.

Mereka bertemu di taman kota yang sedang dibangun Kai. Di antara pepohonan muda dan hamparan bunga, Anya menatap Kai dengan tatapan tegas.

“Katakan padaku, Kai. Jujur padaku. Apakah kau mencintaiku, ataukah aku hanyalah objek percobaan bagimu?”

Kai menatap mata Anya, penuh kesungguhan. Ia meraih tangannya, menggenggamnya erat.

“Anya,” kata Kai, suaranya penuh emosi. “Aku datang ke sini untuk memenuhi perintah. Tapi, aku jatuh cinta padamu di luar kendali. Perasaanku padamu nyata, Anya. Aku mencintaimu karena dirimu, bukan karena Cupid.AI.”

Anya menatap mata Kai, mencari kebohongan, tetapi ia hanya menemukan kejujuran, kerentanan, dan cinta. Ia melihat seorang pria yang benar-benar mencintainya, tanpa embel-embel algoritma atau manipulasi perusahaan.

Anya menarik napas dalam-dalam. Ia menyadari bahwa cinta tidak bisa dihitung, diprediksi, atau direkayasa. Cinta adalah sesuatu yang terjadi secara alami, di luar logika dan perhitungan. Cinta adalah pilihan, keputusan untuk membuka hati dan menerima seseorang apa adanya.

Anya membalas genggaman tangan Kai. “Aku juga mencintaimu, Kai.”

Ia memaafkan Kai, dan mereka memulai kembali. Kali ini, tanpa Cupid.AI, tanpa agenda tersembunyi. Mereka membangun hubungan mereka di atas dasar kepercayaan, kejujuran, dan cinta sejati.

Anya akhirnya menghapus Cupid.AI. Ia menyadari bahwa ia telah salah. Cinta bukan tentang menemukan pasangan yang sempurna berdasarkan data dan algoritma. Cinta adalah tentang menemukan seseorang yang menerima kita apa adanya, dengan segala kekurangan dan kelebihan kita. Cinta adalah tentang pilihan untuk mencintai, bahkan ketika algoritma mengatakan sebaliknya.

Ia belajar bahwa kadang-kadang, hati tahu apa yang diinginkannya, jauh sebelum AI mampu mengetahuinya. Dan terkadang, cinta sejati ditemukan justru ketika algoritma berhenti mengendalikan. Cinta teruji, bukan oleh kecanggihan AI, melainkan oleh ketulusan hati yang memilih.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI