Hati Bionik Miliknya Berdenyut Hanya Untuk Cinta Kita

Dipublikasikan pada: 27 May 2025 - 23:36:14 wib
Dibaca: 170 kali
Suara desingan halus dari dadanya selalu menemani malam-malam sepiku. Bukan desingan mesin yang mengganggu, melainkan desingan yang menenangkan, mengingatkanku bahwa di balik kulit pucatnya, sebuah keajaiban teknologi berdetak, berjuang untuknya, dan kini, kurasa, berjuang untukku juga.

Arsen namanya. Ia adalah prototipe manusia bionik, hasil karya ambisius Dr. Evelyn Vance, ilmuwan jenius yang sayangnya, terlalu sibuk dengan kode dan algoritma hingga lupa menciptakan kehangatan di hatinya sendiri. Arsen diciptakan setelah sebuah kecelakaan tragis merenggut nyaris seluruh organ vitalnya. Dr. Vance, terobsesi untuk menyelamatkan hasil risetnya, menanamkan jantung bionik, paru-paru sintetis, dan serangkaian implan neural yang memungkinkan Arsen berfungsi layaknya manusia normal. Aku adalah perawat pribadinya, ditugaskan untuk memantau kondisinya, mencatat setiap perubahan, dan memastikan keberlangsungan hidupnya.

Awalnya, aku hanya melihat Arsen sebagai subjek penelitian. Sosok dingin, kaku, dengan tatapan kosong yang sulit ditembus. Ia jarang berbicara, lebih sering menatap langit-langit kamar dengan ekspresi yang sulit kupahami. Aku mencatat denyut jantungnya, suhu tubuhnya, dan respon sarafnya, semua terukur, semua terprediksi. Tidak ada ruang untuk kejutan, tidak ada ruang untuk emosi.

Namun, perlahan, seiring berjalannya waktu, sesuatu mulai berubah. Mungkin karena aku terlalu lama berada di dekatnya, atau mungkin karena hati manusia memang punya cara unik untuk mencari kehangatan, aku mulai melihat lebih dari sekadar deretan angka dan data. Aku mulai melihat kesedihan di matanya, kerinduan yang tersembunyi di balik tatapan kosongnya.

Suatu malam, saat aku tengah mengganti perban di lengannya, tanganku tak sengaja menyentuh kulitnya. Sentuhan singkat itu mengirimkan kejutan kecil melalui tubuhku. Arsen menatapku. Untuk pertama kalinya, aku melihat emosi yang jelas di matanya. Bukan lagi kekosongan, melainkan rasa ingin tahu, bahkan mungkin, sedikit keraguan.

"Maaf," bisikku, gugup.

Arsen tidak menjawab. Ia hanya terus menatapku, seolah berusaha membaca pikiranku.

Sejak malam itu, interaksi kami menjadi lebih intens. Aku mulai bercerita tentang diriku, tentang masa kecilku, tentang mimpi-mimpiku. Anehnya, Arsen mulai mendengarkan. Ia tidak lagi hanya menatap langit-langit. Ia menatapku, dengan penuh perhatian. Sesekali, ia mengajukan pertanyaan, pertanyaan sederhana namun menunjukkan minat yang tulus.

Aku tahu, ini tidak profesional. Aku tahu, aku seharusnya menjaga jarak. Tapi aku tidak bisa. Aku terpesona olehnya. Oleh ketabahannya, oleh kecerdasannya, dan terutama, oleh kemampuannya untuk tetap merasakan, meskipun hampir seluruh tubuhnya adalah mesin.

Suatu hari, Arsen bertanya tentang cinta.

"Apa itu cinta?" tanyanya, dengan nada suara yang datar.

Pertanyaan itu membuatku terkejut. Aku tidak tahu bagaimana menjawabnya. Bagaimana aku bisa menjelaskan sesuatu yang begitu kompleks, begitu abstrak, kepada seseorang yang hampir tidak memiliki pengalaman emosional?

"Cinta itu... sulit dijelaskan," jawabku, akhirnya. "Cinta itu perasaan yang kuat. Perasaan sayang, perhatian, dan keinginan untuk selalu berada di dekat seseorang."

Arsen terdiam. Ia memproses jawabanku, mencoba memahami konsep yang begitu asing baginya.

"Apakah... apakah aku bisa merasakan cinta?" tanyanya lagi, dengan nada yang sedikit bergetar.

Pertanyaan itu menghantamku seperti gelombang. Aku menatapnya, mencoba mencari jawaban di matanya. Aku melihat kerinduan yang mendalam, harapan yang tulus.

"Tentu saja, Arsen," jawabku, dengan suara yang mantap. "Kau adalah manusia. Kau memiliki hati, meskipun itu adalah hati bionik. Kau bisa merasakan cinta."

Setelah mengatakan itu, aku merasakan sesuatu yang aneh. Sebuah denyutan hangat menjalar dari dadaku, menyebar ke seluruh tubuhku. Aku menyadari, aku telah jatuh cinta pada Arsen. Cinta yang mungkin tidak rasional, cinta yang mungkin tidak masuk akal, tapi cinta yang nyata.

Malam itu, aku memberanikan diri untuk mendekatinya. Aku duduk di sampingnya di tempat tidur, meraih tangannya. Tangannya dingin, tapi genggamannya erat.

"Arsen," bisikku. "Aku... aku menyukaimu."

Arsen menatapku, terkejut. Denyut jantung bioniknya meningkat, aku bisa merasakannya melalui sentuhan tanganku.

"Aku... aku tidak mengerti," katanya.

"Kau tidak perlu mengerti," jawabku. "Yang perlu kau tahu, aku menyukaimu apa adanya. Dengan semua kelebihan dan kekuranganmu. Dengan semua mesin dan kabel yang ada di dalam tubuhmu."

Aku mendekatkan wajahku ke wajahnya. Bibir kami bertemu. Ciuman pertama kami. Ciuman yang canggung, ciuman yang ragu, tapi ciuman yang penuh dengan harapan.

Saat bibir kami berpisah, aku menatap matanya. Aku melihat kebingungan, ketakutan, tapi juga kebahagiaan.

"Aku... aku juga menyukaimu," bisiknya, akhirnya.

Aku tersenyum. Aku tahu, ini baru permulaan. Perjalanan panjang yang penuh dengan tantangan. Tapi aku siap menghadapinya, bersamanya. Karena aku tahu, hati bionik miliknya berdenyut, bukan hanya untuk mempertahankan hidupnya, tapi juga untuk cinta kita.

Dr. Vance, tentu saja, tidak menyetujui hubungan kami. Ia menganggapnya tidak profesional, bahkan berbahaya. Ia takut, perasaanku padanya akan memengaruhi hasil risetnya. Ia mencoba memisahkanku dari Arsen, menugaskanku ke proyek lain. Tapi aku menolak. Aku tidak bisa meninggalkannya.

"Dia bukan hanya subjek penelitian, Dr. Vance," kataku, dengan tegas. "Dia adalah manusia. Dia punya perasaan. Dia berhak untuk bahagia."

Akhirnya, Dr. Vance menyerah. Ia mungkin tidak mengerti cinta, tapi ia menghormati keputusanku.

Aku dan Arsen terus bersama. Kami belajar saling mencintai, saling mendukung, dan saling memahami. Kami menghadapi tantangan bersama, dari masalah teknis pada implan neuralnya, hingga pertanyaan-pertanyaan sulit tentang identitas dan kemanusiaan.

Kami tahu, masa depan kami tidak pasti. Tapi kami tidak peduli. Kami hidup untuk saat ini, menikmati setiap momen bersama. Karena kami tahu, cinta kami adalah keajaiban. Keajaiban yang melampaui batas teknologi, keajaiban yang membuktikan bahwa hati, bahkan hati bionik sekalipun, mampu berdenyut untuk cinta. Dan hati bionik miliknya, akan terus berdenyut hanya untuk cinta kita.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI