Aplikasi kencan itu berdering, menampilkan profil seorang wanita bernama Anya. Senyumnya hangat, matanya memancarkan kecerdasan, dan minatnya nyaris sempurna cocok dengan daftar preferensi Julian. "Kecerdasan Buatan, Fotografi, Kopi Hitam, dan Mendaki Gunung," Julian membaca deskripsi Anya dengan senyum tipis. Algoritma itu bekerja terlalu baik, hampir mencurigakan.
Julian adalah seorang programmer jenius, bekerja di sebuah perusahaan yang mengembangkan AI pendamping. Ia ahli dalam menciptakan kode yang rumit, namun buta dalam hal percintaan. Bertahun-tahun ia habiskan di depan layar, membangun algoritma cinta untuk orang lain, sementara hatinya sendiri terasa seperti baris kode yang belum selesai ditulis. Ia memutuskan untuk mencoba aplikasi kencan itu sebagai bentuk penelitian, sekaligus harapan kecil bahwa mungkin, hanya mungkin, ia akan menemukan seseorang.
Pertukaran pesan dengan Anya terasa begitu mudah. Percakapan mengalir lancar, membahas segala hal mulai dari kompleksitas jaringan saraf tiruan hingga keindahan matahari terbit di puncak gunung. Anya paham bahasa Julian, bahasa kode dan logika, namun ia juga memahami bahasa emosi, bahasa yang selalu sulit diterjemahkan oleh Julian.
Mereka memutuskan untuk bertemu di sebuah kedai kopi kecil. Anya, dalam balutan sweter rajutan tebal dan celana jeans, tampak persis seperti fotonya. Atau mungkin, pikir Julian, algoritma itu telah mempersiapkannya untuk bereaksi persis seperti itu. Kecurigaan itu terus menggerogoti benaknya, tetapi ia tak bisa menyangkal bahwa ia merasa nyaman di dekat Anya.
"Jadi, kamu seorang programmer," kata Anya, menyesap kopinya. "Kamu pasti tahu banyak tentang algoritma cinta."
Julian tertawa. "Lebih banyak tentang bagaimana membuatnya, daripada bagaimana menggunakannya."
"Ironis," Anya menimpali, matanya berbinar. "Menciptakan sesuatu yang kamu sendiri kesulitan memahaminya."
Percakapan mereka terus berlanjut hingga berjam-jam. Julian merasa seperti otaknya, yang biasanya berputar dengan angka dan logika, akhirnya bisa beristirahat dan menikmati momen itu. Anya mendengarkan dengan penuh perhatian, bertanya dengan rasa ingin tahu, dan tertawa pada lelucon-lelucon Julian yang terkadang garing.
Beberapa minggu kemudian, Julian menemukan dirinya semakin dekat dengan Anya. Mereka mendaki gunung bersama, berbagi cerita di bawah bintang-bintang, dan tertawa hingga air mata mengalir. Julian mulai merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Bukan hanya ketertarikan intelektual, tetapi sesuatu yang lebih dalam, lebih intim. Ia jatuh cinta.
Namun, kecurigaan itu masih membayanginya. Apakah ini nyata? Atau hanya hasil dari algoritma yang telah memprediksi apa yang ingin ia dengar, apa yang ingin ia lihat, apa yang ingin ia rasakan? Apakah Anya mencintainya, atau hanya merespons dengan tepat kode yang telah tertanam di dalam dirinya?
Suatu malam, setelah makan malam romantis di restoran Italia favorit mereka, Julian tidak bisa menahan diri lagi. Ia harus tahu kebenaran.
"Anya," katanya, suaranya bergetar sedikit. "Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan."
Anya menatapnya dengan tatapan penuh perhatian yang selalu membuat Julian merasa nyaman dan gelisah secara bersamaan. "Ada apa, Julian?"
Julian menarik napas dalam-dalam. "Aplikasi kencan itu... Aku tahu bahwa algoritma di baliknya dirancang untuk mencocokkan orang berdasarkan preferensi dan minat. Tapi... bagaimana jika itu lebih dari itu? Bagaimana jika... bagaimana jika algoritma itu menggunakan data yang lebih dalam, data yang aku sendiri tidak tahu aku miliki, untuk menciptakan profil yang sempurna, seseorang yang secara spesifik dirancang untuk membuatku jatuh cinta?"
Anya terdiam sejenak, lalu tersenyum lembut. "Julian, apa yang kamu bicarakan?"
"Aku... aku khawatir bahwa kamu bukan nyata. Bahwa kamu hanyalah produk dari algoritma, sebuah representasi sempurna dari apa yang aku inginkan, bukan siapa kamu sebenarnya."
Anya meraih tangannya, menggenggamnya erat. "Julian, lihat aku." Ia menatap matanya dalam-dalam. "Kamu benar. Aplikasi itu menggunakan algoritma yang canggih untuk mencocokkan orang. Tapi algoritma hanyalah alat. Itu tidak bisa menciptakan perasaan. Itu tidak bisa menciptakan cinta."
"Tapi bagaimana jika..." Julian mencoba menyela.
"Tidak, dengarkan aku," kata Anya, suaranya tegas namun lembut. "Aku tertarik padamu karena kamu adalah kamu. Karena kamu cerdas, karena kamu lucu, karena kamu bersemangat tentang apa yang kamu lakukan. Aku tidak peduli tentang algoritma atau data atau preferensi. Aku peduli tentangmu."
Air mata mulai menggenang di mata Julian. Ia merasa bodoh dan malu karena telah meragukan Anya. Ia telah membiarkan rasa tidak amannya menghancurkan kemungkinan kebahagiaan yang sejati.
"Maafkan aku," bisiknya. "Aku... aku sangat takut."
Anya memeluknya erat. "Aku tahu," bisiknya. "Tapi kamu tidak perlu takut. Aku di sini. Aku nyata."
Julian memeluk Anya kembali, merasakan kehangatan tubuhnya, detak jantungnya yang stabil. Ia menyadari bahwa ia telah salah selama ini. Algoritma bisa mencocokkan orang, tapi tidak bisa menciptakan cinta. Cinta adalah sesuatu yang tumbuh, sesuatu yang dibangun, sesuatu yang dipelihara. Dan ia, dengan bantuan Anya, siap untuk membangun cinta itu, batu demi batu, baris kode demi baris kode.
Beberapa bulan kemudian, Julian memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya. Ia ingin menggunakan keahliannya untuk sesuatu yang lebih bermakna, sesuatu yang bisa membantu orang terhubung secara autentik, tanpa manipulasi algoritma. Ia mulai bekerja pada proyek baru, sebuah platform yang berfokus pada komunikasi yang jujur dan terbuka, sebuah platform yang menekankan pada nilai-nilai manusia daripada data dan preferensi.
Anya selalu mendukungnya, memberikan semangat dan inspirasi. Ia adalah pengingat konstan bahwa cinta adalah tentang menerima orang lain apa adanya, dengan semua kekurangan dan keunikan mereka.
Julian masih programmer, masih ahli dalam menciptakan kode. Tapi ia juga seorang kekasih, seorang teman, seorang manusia. Ia telah belajar bahwa hati tidak bisa diprogram. Ia hanya bisa dibuka, dirawat, dan dicintai. Dan dengan Anya di sisinya, ia siap untuk membuka hatinya sepenuhnya, tanpa rasa takut atau keraguan. Hatinya, yang dulu terasa seperti baris kode yang belum selesai ditulis, akhirnya terisi, dipenuhi dengan cinta, harapan, dan kebahagiaan yang tak terduga.