Jemari Risa menari di atas layar ponsel, memilih foto terbaiknya. Senyum yang ceria, meskipun sebenarnya dipaksakan. Ia mengunggahnya ke "SoulMate AI," aplikasi kencan yang sedang naik daun. Janjinya sederhana: algoritma canggih akan menemukan pasangan yang paling kompatibel berdasarkan data kepribadian, minat, dan bahkan analisis psikologis. Risa skeptis, tapi kesepian sering kali membuatnya melakukan hal-hal di luar nalar.
"SoulMate AI" menganalis dirinya dalam hitungan menit. Risa menunggu, harap-harap cemas. Ia sudah lelah dengan kencan buta yang diatur teman-temannya, yang ujung-ujungnya hanya menyisakan kekecewaan dan cerita lucu yang memalukan untuk diceritakan kembali.
Notifikasi berbunyi. "Kandidat Potensial: Ardi."
Foto Ardi terpampang di layar. Tampan. Tinggi, dengan rambut disisir rapi dan senyum yang tulus. Profesi: Arsitek. Minat: Fotografi, mendaki gunung, musik klasik. Skor kompatibilitas: 98%.
Risa terkejut. 98%? Terlalu sempurna untuk menjadi kenyataan. Ia membaca profil Ardi lebih teliti. Pria itu menyukai puisi Rumi, film-film Wes Anderson, dan kopi hitam tanpa gula. Semua yang ia sukai. Rasanya seperti seseorang telah membaca pikirannya dan menciptakan sosok ideal di dunia maya.
Dengan ragu, Risa menekan tombol "Suka."
Beberapa detik kemudian, ponselnya berdering. Ardi menyukainya kembali. Pesan pertama Ardi singkat namun manis: "Hai Risa, senang berkenalan denganmu. Algoritma sepertinya tahu apa yang ia lakukan."
Risa tersenyum. Ia membalas pesan itu, dan percakapan pun mengalir lancar. Mereka berbicara tentang buku favorit, impian masa kecil, dan ketakutan terbesar. Ardi mendengarkan dengan sabar, memberikan respons yang cerdas dan penuh perhatian. Rasanya seperti ia telah mengenal Ardi seumur hidup.
Setelah seminggu berkomunikasi secara virtual, Ardi mengajaknya bertemu. Risa setuju. Mereka sepakat untuk bertemu di sebuah kedai kopi kecil yang nyaman di pusat kota.
Risa berdandan habis-habisan. Ia mengenakan gaun biru favoritnya dan memoles wajahnya dengan hati-hati. Ia ingin terlihat sempurna di mata Ardi.
Ketika ia tiba di kedai kopi, Ardi sudah menunggunya di meja dekat jendela. Ia mengenakan kemeja biru muda dan celana jeans, persis seperti yang ia bayangkan. Senyumnya hangat dan matanya berbinar.
Kencan pertama itu luar biasa. Mereka berbicara selama berjam-jam, tertawa bersama, dan saling menatap mata. Ardi adalah segalanya yang ia harapkan, dan lebih. Ia cerdas, lucu, perhatian, dan memiliki selera humor yang sama dengannya. Risa merasa seperti ia akhirnya menemukan belahan jiwanya.
Beberapa bulan berlalu. Hubungan mereka semakin dalam. Mereka menghabiskan waktu bersama setiap hari, menjelajahi kota, mendaki gunung, dan menonton film di rumah. Ardi selalu tahu bagaimana membuatnya tertawa, bagaimana menghiburnya ketika ia sedih, dan bagaimana membuatnya merasa dicintai.
Risa mulai melupakan kesepiannya. Ia merasa bahagia, aman, dan lengkap. Ia percaya bahwa ia telah menemukan cinta sejatinya, berkat "SoulMate AI."
Namun, di balik kebahagiaan itu, Risa merasakan sedikit keganjilan. Segalanya terlalu sempurna. Ardi selalu tahu apa yang ingin ia dengar, apa yang ingin ia lakukan, dan apa yang ingin ia katakan. Rasanya seperti ia sedang berpacaran dengan versi ideal dirinya sendiri.
Suatu malam, ketika mereka sedang makan malam di rumah Ardi, Risa melihat sebuah tablet tergeletak di meja. Layarnya menampilkan kode-kode rumit dan grafik-grafik yang aneh.
"Itu apa?" tanya Risa penasaran.
Ardi tampak gugup. Ia berusaha menyembunyikan tablet itu di belakang punggungnya. "Oh, itu… hanya pekerjaanku. Jangan khawatir tentang itu."
Risa tidak percaya. Ia merebut tablet itu dari tangan Ardi dan melihat lebih dekat. Kode-kode itu tampak familiar. Ia pernah melihatnya di iklan "SoulMate AI."
"Ini… ini kode aplikasi!" seru Risa kaget. "Apakah kamu bekerja untuk 'SoulMate AI'?"
Ardi menghela napas. Ia tahu bahwa ia tidak bisa menyembunyikan kebenaran lebih lama lagi. "Ya, aku… aku bagian dari tim pengembang 'SoulMate AI'."
Risa merasa seperti disambar petir. "Jadi… semua ini… semua ini palsu?"
Ardi mencoba meraih tangannya. "Tidak, Risa. Perasaanku padamu nyata. Algoritma hanya membantuku menemukanmu. Tapi cintaku padamu tulus."
Risa menarik tangannya. "Tulus? Kamu berbohong padaku sejak awal. Kamu menggunakan aplikasi untuk memanipulasiku, untuk membuatku jatuh cinta padamu. Aku tidak percaya padamu."
Air mata mulai mengalir di pipi Risa. Ia merasa bodoh dan tertipu. Ia telah menyerahkan hatinya pada seseorang yang bahkan tidak nyata.
"Risa, dengarkan aku," kata Ardi dengan nada memohon. "Aku tahu aku salah. Aku seharusnya memberitahumu sejak awal. Tapi aku takut kau akan meninggalkanku. Aku benar-benar mencintaimu."
Risa menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa. Aku tidak bisa mempercayaimu lagi. Semuanya terasa seperti kebohongan."
Risa berdiri dan berlari keluar dari rumah Ardi. Ia berlari tanpa arah, air mata terus mengalir. Ia merasa hancur, kehilangan, dan sendirian.
Ia akhirnya berhenti di sebuah taman yang sepi. Ia duduk di bangku dan menangis sejadi-jadinya. Ia membenci "SoulMate AI," ia membenci Ardi, dan ia membenci dirinya sendiri karena telah begitu naif.
Ia mengeluarkan ponselnya dan menghapus aplikasi "SoulMate AI." Ia tidak ingin lagi bergantung pada algoritma untuk menemukan cinta. Ia ingin menemukan cinta yang nyata, cinta yang jujur, cinta yang tumbuh secara alami.
Mungkin, pikirnya, cinta sejati tidak bisa ditemukan di dalam aplikasi. Mungkin, cinta sejati harus dicari di dunia nyata, dengan segala ketidaksempurnaannya. Dan mungkin, suatu hari nanti, ia akan menemukan seseorang yang mencintainya apa adanya, tanpa perlu algoritma dan data kepribadian. Tapi untuk saat ini, yang ia rasakan hanyalah sakit dan air mata. Air mata penyesalan, air mata kekecewaan, air mata karena telah mempercayai cinta yang diprogram.