Hujan gerimis mengetuk-ngetuk jendela kafe, iramanya seolah beresonansi dengan denyut jantung Arya yang berdebar tak karuan. Di hadapannya, layar laptop memancarkan cahaya biru pucat ke wajahnya yang tegang. Jemarinya menari di atas keyboard, merangkai baris demi baris kode. Ia sedang menyempurnakan "AmoreAI," sebuah algoritma kencan revolusioner yang katanya bisa memprediksi kecocokan cinta dengan akurasi nyaris sempurna.
Arya, seorang programmer jenius yang lebih akrab dengan sintaks daripada sentuhan, selalu skeptis terhadap konsep cinta romantis. Baginya, cinta hanyalah reaksi kimiawi dan serangkaian algoritma rumit di otak manusia. AmoreAI adalah pembuktian teorinya, sebuah proyek yang bertujuan untuk mendemistifikasi cinta dan mengubahnya menjadi persamaan matematika yang bisa dipecahkan.
Ia telah menghabiskan berbulan-bulan untuk mengumpulkan data: jutaan profil pengguna dari berbagai aplikasi kencan, riwayat percakapan, preferensi, bahkan analisis ekspresi wajah. Semua data itu kemudian diolah dan dianalisis oleh AmoreAI untuk menemukan pola-pola tersembunyi yang menentukan kecocokan antara dua individu.
Sore ini, Arya akan melakukan uji coba terakhir. Ia akan memasukkan datanya sendiri ke dalam AmoreAI dan melihat siapa yang akan dipilih algoritma sebagai pasangan idealnya. Ia melakukannya bukan karena percaya pada cinta, melainkan karena ingin menguji validitas algoritmanya. Jika AmoreAI berhasil menemukan seseorang yang benar-benar cocok dengannya, maka teorinya terbukti benar.
Setelah memastikan semua parameter sudah tepat, Arya menarik napas dalam-dalam dan menekan tombol "Eksekusi." Layar laptop berkedip-kedip saat AmoreAI bekerja keras memproses data. Denyut jantung Arya semakin cepat, bukan karena harapan romantis, melainkan karena rasa penasaran ilmiah yang membuncah.
Beberapa menit kemudian, layar menampilkan sebuah nama: "Luna."
Di bawah nama itu, terdapat foto seorang gadis dengan rambut panjang bergelombang berwarna coklat dan mata hazel yang hangat. Deskripsi profilnya singkat namun padat: "Fotografer lepas, pecinta kopi pahit, dan pengagum langit senja."
Arya tertegun. Ia tidak mengenal Luna. Ia bahkan tidak ingat pernah melihatnya di mana pun. Tetapi, semakin ia membaca profil Luna, semakin ia merasa ada sesuatu yang menarik dan berbeda. Luna menyukai hal-hal sederhana, hal-hal yang selama ini luput dari perhatian Arya yang selalu sibuk dengan kode dan algoritma.
Ia memutuskan untuk mencari Luna di media sosial. Benar saja, ia menemukan akun Instagram Luna yang dipenuhi dengan foto-foto menakjubkan: pemandangan alam yang indah, potret orang-orang dengan ekspresi yang jujur, dan detail-detail kecil yang seringkali diabaikan orang lain. Setiap foto Luna seolah menceritakan sebuah kisah.
Arya, yang selama ini hanya melihat dunia melalui lensa logika dan data, tiba-tiba merasa terpanggil untuk melihat dunia melalui lensa Luna. Ia mengirimkan pesan singkat melalui Instagram, "Halo Luna, AmoreAI memilihmu sebagai pasangan idealku. Tertarik untuk bertemu?"
Ia menunggu dengan cemas, bukan karena cinta, tentu saja, melainkan karena ingin tahu apakah AmoreAI benar-benar akurat. Keesokan harinya, Luna membalas pesannya: "AmoreAI? Kedengarannya menarik. Aku penasaran. Bagaimana kalau kita bertemu di kafe 'Senja Pagi' besok sore?"
Arya menyetujui tawaran Luna. Ia tidak sabar untuk bertemu dengannya dan membuktikan validitas algoritmanya. Namun, semakin mendekati hari pertemuan, semakin ia merasa ada sesuatu yang aneh. Ia mulai merasa gugup dan tidak nyaman, perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Saat ia melihat Luna duduk di salah satu meja di kafe "Senja Pagi," Arya merasakan sesuatu yang aneh menyentuh hatinya. Luna, dengan rambut bergelombang dan mata hazel yang hangat, tampak lebih cantik dan menarik daripada fotonya. Ia tersenyum ramah saat Arya mendekat.
"Halo Arya," sapa Luna dengan suara lembut. "Senang bertemu denganmu."
Arya duduk di hadapan Luna dan memulai percakapan. Ia menceritakan tentang AmoreAI, tentang teorinya tentang cinta, dan tentang bagaimana Luna terpilih sebagai pasangan idealnya. Luna mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali mengajukan pertanyaan yang cerdas dan relevan.
Selama percakapan itu, Arya menyadari bahwa Luna tidak hanya cantik dan cerdas, tetapi juga memiliki hati yang hangat dan tulus. Ia merasakan koneksi yang kuat dengan Luna, koneksi yang tidak bisa dijelaskan dengan logika atau algoritma apa pun.
Ia menyadari bahwa AmoreAI mungkin telah membantunya menemukan Luna, tetapi algoritma itu tidak bisa menciptakan perasaan yang ia rasakan saat ini. Perasaan itu tumbuh secara alami, dari interaksi, percakapan, dan koneksi yang ia bangun dengan Luna.
"Jadi, apa pendapatmu tentang AmoreAI?" tanya Arya setelah beberapa saat.
Luna tersenyum. "Aku pikir itu ide yang menarik. Tapi, menurutku, cinta tidak bisa diprediksi dengan algoritma. Cinta adalah sesuatu yang tumbuh secara alami, dari hati ke hati."
Arya terdiam. Ia menyadari bahwa Luna benar. Cinta bukan hanya tentang data dan algoritma, tetapi juga tentang perasaan, emosi, dan koneksi yang tidak bisa diukur dengan angka.
"Mungkin kau benar," kata Arya akhirnya. "Mungkin cinta lebih rumit daripada yang kupikirkan."
Luna meraih tangan Arya dan menggenggamnya erat. "Mungkin kita bisa mencari tahu bersama," katanya sambil tersenyum.
Arya tersenyum kembali. Ia menyadari bahwa ia telah jatuh cinta pada Luna, bukan karena AmoreAI, melainkan karena dirinya sendiri. Ia telah jatuh cinta pada senyumnya, matanya, hatinya. Ia telah jatuh cinta pada Luna, pixel demi pixel.
Hujan di luar kafe semakin deras, tetapi di dalam hati Arya, matahari mulai bersinar. Algoritma mungkin telah membawanya kepada Luna, tetapi cinta sejati baru saja dimulai. Pixel hati telah menemukan pasangannya, dan bersama-sama, mereka akan menciptakan sebuah mahakarya cinta yang abadi.