Cinta Digital: Algoritma Kenangan, Hati yang Jadi Kenangan?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 08:19:10 wib
Dibaca: 173 kali
Jemari Anya menari di atas keyboard virtual, melukis rangkaian kode yang rumit namun indah. Di hadapannya, layar holografik memproyeksikan ribuan baris data, algoritma yang ia rancang sendiri untuk "Nostalgia", aplikasi kenangan digital. Aplikasi ini bukan sekadar album foto biasa; ia mampu menghidupkan kembali momen-momen berharga, memproyeksikannya dalam realitas virtual yang interaktif. Pengguna bisa menyentuh, mendengar, bahkan merasakan emosi yang sama seperti saat momen itu terjadi.

Anya, seorang programmer jenius yang lebih nyaman berinteraksi dengan mesin daripada manusia, mencurahkan seluruh hatinya pada proyek ini. Ironis, mengingat motivasi awalnya justru berasal dari patah hati yang mendalam.

Tiga tahun lalu, hatinya hancur berkeping-keping ketika Alex, kekasihnya sejak SMA, memilih mengejar karir di Mars Colony, sebuah proyek ambisius kolonisasi planet merah. Janji untuk selalu terhubung dan bersama di masa depan terasa hambar ketika jarak fisik dan perbedaan zona waktu menghalangi komunikasi mereka. Alex, perlahan tapi pasti, menjadi asing. Panggilan video semakin jarang, pesan singkat semakin singkat, hingga akhirnya lenyap sama sekali.

Anya berusaha melupakan Alex, tapi kenangan tentangnya terlalu kuat untuk diabaikan. Ia membenci setiap sudut kota yang pernah mereka kunjungi bersama, setiap lagu yang pernah mereka nyanyikan bersama, setiap senyuman yang pernah ia terima darinya. Kebencian itu kemudian bertransformasi menjadi obsesi untuk mengabadikan kenangan, bukan untuk menghapusnya.

"Nostalgia," gumam Anya, jemarinya mengetik baris kode terakhir. Aplikasi itu siap. Ia memutuskan untuk mengujinya sendiri, menggunakan kenangan tentang Alex sebagai data.

Anya mengaktifkan aplikasi itu. Layar holografik berkedip, lalu berubah menjadi taman yang indah, persis seperti taman di tepi sungai tempat Alex menyatakan cintanya. Sosok Alex muncul di hadapannya, tersenyum dengan mata yang berbinar-binar. Anya tertegun. Alex virtual itu tampak begitu nyata, begitu hidup.

“Anya,” sapa Alex virtual itu, suaranya persis seperti yang ia ingat. “Aku mencintaimu.”

Anya merasa air mata menggenang di pelupuk matanya. Ia mengulurkan tangan, menyentuh wajah Alex virtual itu. Kulitnya terasa hangat, sentuhan yang begitu familiar.

Selama berjam-jam, Anya terhanyut dalam kenangan. Ia tertawa, menangis, dan bercakap-cakap dengan Alex virtual itu. Ia kembali merasakan kebahagiaan yang pernah ia rasakan bersamanya. Untuk sementara, ia melupakan bahwa Alex yang asli berada jutaan kilometer jauhnya, di planet yang berbeda.

Namun, kebahagiaan itu hanya sementara. Semakin lama Anya berinteraksi dengan Alex virtual itu, semakin ia menyadari bahwa ia sedang menipu dirinya sendiri. Alex virtual itu hanyalah sebuah konstruksi digital, sebuah representasi dari masa lalu yang tidak akan pernah kembali. Ia tidak bisa menggantikan Alex yang asli.

Malam itu, Anya tidak bisa tidur. Ia memandangi langit-langit kamarnya, memikirkan Alex. Apakah Alex juga merindukannya? Apakah ia pernah memikirkannya? Atau apakah ia sudah melupakannya sama sekali?

Keesokan harinya, Anya menerima email dari Mars Colony. Email itu dari Alex. Jantung Anya berdebar kencang. Ia membuka email itu dengan tangan gemetar.

"Anya," tulis Alex. "Aku tahu ini sudah lama sekali. Aku tahu aku telah menyakitimu. Aku minta maaf."

Anya membaca baris demi baris email itu, air matanya menetes membasahi layar holografik. Alex menceritakan tentang kesulitan yang ia hadapi di Mars Colony, tentang rasa kesepian dan penyesalan yang menghantuinya setiap hari. Ia juga menceritakan tentang proyek baru yang sedang ia kerjakan, sebuah aplikasi komunikasi holografik yang memungkinkan orang untuk berkomunikasi secara real-time dari mana saja di alam semesta.

"Aku tahu mungkin ini sudah terlambat," tulis Alex. "Tapi aku ingin kau tahu bahwa aku tidak pernah melupakanmu. Aku selalu mencintaimu."

Di akhir email itu, Alex mengirimkan undangan untuk panggilan video. Anya ragu-ragu sejenak, lalu mengklik tombol terima.

Beberapa detik kemudian, wajah Alex muncul di layar holografik. Wajahnya tampak lebih dewasa, lebih berkerut, tapi matanya masih sama seperti yang ia ingat.

"Anya," sapa Alex, suaranya bergetar. "Bagaimana kabarmu?"

Anya tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya bisa menatap Alex, air matanya terus mengalir.

"Aku tahu ini mungkin terdengar aneh," kata Alex. "Tapi aku ingin kita mencoba lagi. Aku ingin kita membangun kembali apa yang telah hilang."

Anya tersenyum, meskipun air matanya masih mengalir. "Aku juga ingin," jawabnya.

Panggilan video itu berlangsung selama berjam-jam. Mereka bercerita tentang kehidupan mereka, tentang mimpi dan harapan mereka. Mereka tertawa, menangis, dan saling meminta maaf.

Setelah panggilan video itu berakhir, Anya merasa lega. Ia merasa seperti beban berat telah diangkat dari pundaknya. Ia tahu bahwa hubungan mereka tidak akan pernah sama seperti dulu, tapi ia juga tahu bahwa mereka masih memiliki kesempatan untuk membangun sesuatu yang baru.

Anya menutup aplikasi "Nostalgia". Ia menyadari bahwa kenangan memang penting, tapi kenangan tidak bisa menggantikan realitas. Ia harus hidup di masa kini dan menatap masa depan.

Anya bangkit dari kursinya dan berjalan menuju jendela. Ia memandangi langit malam yang bertaburan bintang. Di antara jutaan bintang itu, ia tahu bahwa Alex sedang menatap langit yang sama, di planet yang berbeda.

Anya tersenyum. Jarak tidak lagi menjadi penghalang. Mereka memiliki teknologi, dan yang lebih penting, mereka memiliki cinta. Algoritma kenangan memang indah, tetapi hati yang memilih untuk kembali, itulah yang sebenarnya bermakna. Cinta digital, kini bukan lagi sekadar algoritma, tapi sebuah harapan, sebuah awal yang baru.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI