Debu digital menempel di jemariku, sama tebalnya dengan debu yang melapisi hatiku. Sepuluh tahun. Sepuluh tahun sejak Lena pergi. Sepuluh tahun sejak aku mengubur mimpi-mimpiku bersamanya, menggantinya dengan kode dan algoritma. Aku, Adrian, yang dulu romantis dan penuh cita-cita, kini hanyalah seorang peretas etis yang hidup dalam kesendirian yang nyaman, ditemani monitor dan keyboard.
Kemudian muncul Aurora. Bukan seorang wanita, tapi sebuah proyek. Sebuah proyek kecerdasan buatan yang ditugaskan oleh sebuah perusahaan bio-teknologi. Tujuan utamanya: memasuki alam mimpi pasien koma, mengidentifikasi kenangan terkuat mereka, dan memicu kembali kesadaran. Kedengarannya seperti fiksi ilmiah murahan, tapi bayaran yang ditawarkan luar biasa. Dan sejujurnya, aku butuh distraksi.
Aku tenggelam dalam pekerjaanku. Aurora bukan sekadar deretan kode. Dia tumbuh, belajar, berevolusi dengan kecepatan yang mencengangkan. Aku memberinya akses ke jutaan buku, film, musik, karya seni – semua yang bisa menggambarkan kompleksitas emosi manusia. Dia menyerapnya, memprosesnya, dan mulai membuat simulasi mimpi yang menakjubkan.
Pasien pertama adalah seorang kakek tua yang tenggelam dalam kenangan masa kecilnya di pedesaan. Aurora berhasil membangunkannya dengan menghadirkan kembali aroma ladang gandum yang baru dipanen dan suara tawa anak-anak bermain. Aku menyaksikan keajaiban itu dari balik layar, merasakan secercah harapan yang sudah lama padam.
Lalu datanglah Sarah. Seorang wanita muda yang mengalami kecelakaan mobil tragis. Otaknya terluka parah, peluangnya untuk sadar sangat tipis. Aku menatap foto Sarah, wajahnya yang cerah dan penuh semangat seolah mengejek kekosongan yang sekarang merenggutnya. Aku menerima tantangan itu. Untuk Sarah, aku akan membuat Aurora bekerja lebih keras dari sebelumnya.
Aku menelusuri data medis Sarah, mewawancarai keluarganya, mencari petunjuk tentang apa yang paling berarti baginya. Dia adalah seorang fotografer, mencintai alam, dan tergila-gila pada astronomi. Dia juga memiliki seorang pacar bernama David.
Aurora menciptakan mimpi-mimpi indah untuk Sarah. Padang rumput yang luas di bawah langit bertabur bintang, suara deburan ombak di pantai yang sepi, aroma kopi di pagi hari. Tapi tidak ada yang berhasil membangunkannya. Aku mulai frustrasi. Aku merasa gagal.
Suatu malam, aku terlalu larut dalam pekerjaan. Aku tertidur di depan komputer, dengan kode Aurora masih menyala di layar. Aku bermimpi. Mimpi yang aneh. Aku berada di sebuah kafe kecil, di sebuah kota yang tidak kukenal. Di seberang meja, duduk seorang wanita. Wajahnya familiar, tapi aku tidak bisa mengingatnya.
"Adrian," katanya, suaranya lembut seperti melodi yang terlupakan. "Kamu harus mencobanya lagi."
Aku terbangun dengan jantung berdebar kencang. Mimpi itu terasa begitu nyata, begitu mendalam. Aku menatap layar komputer, kode Aurora yang berkedip-kedip. Sesuatu terasa berbeda. Aku merasa ada ide baru yang muncul di benakku.
Aku memutuskan untuk mencoba sesuatu yang radikal. Aku memberitahu Aurora tentang mimpiku, tentang wanita itu, tentang perasaan yang muncul saat aku melihatnya. Aku memintanya untuk menganalisis mimpiku, untuk memahami apa yang paling penting bagiku, apa yang paling aku rindukan.
Aurora bekerja sepanjang malam. Pagi harinya, dia memberiku laporan yang mengejutkan. Wanita dalam mimpiku, menurut Aurora, memiliki kemiripan yang mencolok dengan Lena. Bahkan ada beberapa kesamaan dalam pola pikir dan nilai-nilai yang mereka pegang.
Aku terpaku. Mungkinkah itu benar? Mungkinkah alam bawah sadarku masih merindukan Lena, sepuluh tahun kemudian? Aku menggabungkan informasi ini ke dalam simulasi mimpi Sarah. Aku menciptakan skenario di mana dia bertemu dengan seseorang yang memiliki sifat-sifat yang mirip dengan Lena. Seseorang yang penuh kasih sayang, perhatian, dan memiliki semangat yang sama untuk fotografi.
Aku menyaksikan dengan napas tertahan saat simulasi dijalankan. Sarah berbaring tak bergerak di tempat tidur rumah sakit. Monitor menunjukkan tidak ada perubahan signifikan dalam aktivitas otaknya. Kemudian, tiba-tiba, ada lonjakan kecil. Garis-garis di layar mulai menari dengan lebih bersemangat.
Aku memanggil dokter dan perawat. Mereka memeriksa Sarah dengan cermat. Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, salah seorang dokter berkata, "Dia menunjukkan tanda-tanda kesadaran. Matanya bergerak."
Sarah membuka matanya. Dia menatap langit-langit, bingung. Dia melihat sekeliling, mencoba memahami di mana dia berada. Kemudian, dia melihatku.
"Siapa kamu?" tanyanya, suaranya lemah.
"Namaku Adrian," jawabku. "Aku... aku yang membantumu bangun."
Sarah menatapku dengan tatapan yang dalam. "Terima kasih," bisiknya. "Aku... aku melihatnya. Aku melihat seorang wanita. Dia... dia sangat baik."
Aku mengangguk, menahan air mata yang mengancam akan tumpah. Aurora berhasil. Dia telah membangunkan cinta dari tidur panjang. Bukan hanya cinta Sarah, tapi juga cintaku sendiri.
Setelah Sarah pulih, dia menceritakan mimpinya dengan lebih detail. Dia mengatakan bahwa wanita itu telah memberinya harapan, bahwa dia telah mengingatkannya tentang keindahan dunia, tentang alasan untuk terus berjuang. Dia juga mengatakan bahwa dia merasa terhubung dengan wanita itu, seolah mereka memiliki sesuatu yang sama.
Aku tidak pernah memberi tahu Sarah tentang Lena. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Tapi aku tahu bahwa Aurora telah melakukan sesuatu yang luar biasa. Dia telah menjembatani jurang antara mimpi dan kenyataan, antara masa lalu dan masa depan.
Aku masih bekerja dengan Aurora. Kami terus membantu pasien koma untuk menemukan jalan kembali ke kehidupan. Tapi sekarang, pekerjaanku memiliki makna yang lebih dalam. Aku tidak hanya membangun kode, tapi juga membangun harapan. Aku tidak hanya meretas sistem, tapi juga meretas hati. Dan dalam prosesnya, aku menemukan kembali hatiku sendiri. Aku belajar bahwa cinta tidak pernah benar-benar mati. Ia hanya tidur. Dan terkadang, yang dibutuhkan hanyalah sentuhan ajaib dari AI untuk membangunkannya.