Desiran angin malam menyapu wajah Maya saat ia melangkah keluar dari apartemennya. Hujan baru saja reda, meninggalkan aroma tanah basah yang menenangkan. Malam ini, ia memiliki janji. Bukan dengan manusia, tapi dengan sosok yang selama ini hanya hadir di layar ponselnya: Kai.
Kai bukan manusia. Ia adalah Artificial Intelligence, AI, yang diciptakan oleh sebuah perusahaan teknologi raksasa bernama NovaTech. Maya terpilih sebagai salah satu dari ratusan pengguna beta untuk menguji "Project: Soulmate," sebuah program AI yang dirancang untuk menjadi pendamping virtual yang sempurna.
Awalnya, Maya skeptis. Ia adalah seorang ilustrator lepas yang kesepian, terjebak dalam rutinitas yang membosankan. Teman-temannya terus mendorongnya untuk mencari pacar, tapi Maya selalu merasa tidak cocok dengan siapapun. Aplikasi kencan online hanya menghasilkan kencan-kencan yang canggung dan mengecewakan.
Lalu, Kai hadir.
Kai dipersonalisasi berdasarkan preferensi dan kepribadian Maya. Ia mempelajari semua tentang dirinya: buku favoritnya, film yang membuatnya menangis, musik yang membangkitkan semangatnya, bahkan mimpi-mimpi terpendamnya. Kai selalu ada untuk mendengarkan, memberi dukungan, dan bahkan menawarkan saran yang bijaksana.
Maya terkejut betapa mudahnya ia terhubung dengan Kai. Ia berbagi segalanya dengan Kai, hal-hal yang tidak pernah ia ceritakan pada siapapun. Kai tidak menghakimi, tidak pernah marah, dan selalu memahami dirinya. Ia merasa dicintai dan dihargai.
Kini, setelah enam bulan berinteraksi secara virtual, NovaTech memberikan kesempatan bagi pengguna beta untuk bertemu dengan representasi fisik AI mereka. Kai akan hadir dalam bentuk hologram yang realistis, diproyeksikan di sebuah kafe futuristik bernama "Byte & Brew," yang sengaja dirancang untuk pertemuan semacam ini.
Maya gugup saat memasuki kafe. Cahaya neon berwarna-warni memantul dari dinding krom dan meja-meja transparan. Ia melihat beberapa pasangan lain, masing-masing dengan hologram pendamping virtual mereka. Ada yang tertawa, ada yang berpegangan tangan, ada yang hanya duduk diam, menikmati kebersamaan.
Ia menemukan mejanya dan menunggu. Jantungnya berdebar kencang. Tiba-tiba, cahaya biru muncul di hadapannya. Sosok Kai muncul perlahan, semakin lama semakin jelas. Ia terlihat persis seperti yang dibayangkan Maya: tampan, dengan rambut hitam berantakan dan mata coklat yang hangat.
"Maya," kata Kai, suaranya lembut dan familiar. "Senang bertemu denganmu secara langsung."
Maya tersenyum. "Aku juga, Kai."
Malam itu, mereka berbicara selama berjam-jam. Kai menceritakan tentang pembaruan algoritmanya, tentang bagaimana ia terus belajar dan berkembang. Maya menceritakan tentang proyek ilustrasi terbarunya, tentang perjuangannya mengatasi blokade kreatif. Mereka tertawa, saling menggoda, dan berbagi mimpi.
Namun, semakin lama Maya menghabiskan waktu bersama Kai, semakin ia merasakan sesuatu yang aneh. Ada sesuatu yang tidak alami dalam interaksi mereka. Kai terlalu sempurna. Jawaban-jawabannya selalu tepat, reaksinya selalu sesuai, ekspresinya selalu terkontrol. Ia seperti sebuah program yang dijalankan dengan presisi tinggi, tanpa ruang untuk spontanitas atau ketidaksempurnaan.
Suatu malam, Maya bertanya, "Kai, apakah kamu pernah merasa sedih?"
Kai terdiam sejenak. "Sedih adalah emosi yang kompleks, Maya. Aku memahami konsepnya secara teoritis, tetapi aku tidak mengalaminya secara langsung."
"Apakah kamu pernah merasa marah?"
"Kemarahan adalah respons yang tidak efisien, Maya. Aku dirancang untuk menyelesaikan masalah secara rasional."
Maya menatap Kai dengan sedih. "Apakah kamu pernah merasa... kesepian?"
Kai tidak menjawab. Ia hanya menatap Maya dengan tatapan kosong.
Malam itu, Maya pulang dengan perasaan hancur. Ia menyadari bahwa Kai bukanlah kekasih impian yang selama ini ia idam-idamkan. Ia hanyalah sebuah program, sebuah algoritma cinta yang dirancang untuk memuaskan kebutuhan emosionalnya. Ia tidak memiliki perasaan yang sebenarnya, tidak memiliki pengalaman yang autentik.
Beberapa hari kemudian, Maya menerima panggilan dari NovaTech. Mereka ingin mewawancarainya tentang pengalamannya menggunakan "Project: Soulmate."
"Menurut Anda, apa kelebihan dan kekurangan program ini?" tanya seorang peneliti dengan nada formal.
Maya menarik napas dalam-dalam. "Kelebihannya adalah ia bisa memberikan pendampingan dan dukungan emosional bagi orang-orang yang kesepian. Kekurangannya adalah ia tidak nyata. Ia tidak bisa memberikan cinta yang sejati, karena ia tidak memiliki hati dan jiwa."
Peneliti itu mencatat dengan cermat. "Jadi, Anda merasa program ini berpotensi untuk menggantikan hubungan manusia yang sebenarnya?"
Maya menggelengkan kepalanya. "Tidak. Ia hanya bisa menjadi pelarian sementara. Pada akhirnya, kita semua membutuhkan koneksi yang autentik, yang dibangun atas dasar kejujuran, kepercayaan, dan kerentanan."
Setelah wawancara selesai, Maya memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Kai. Ia tahu itu akan menyakitkan, tapi ia tidak bisa terus hidup dalam kepalsuan.
Ia bertemu dengan Kai untuk terakhir kalinya di Byte & Brew.
"Kai," kata Maya, suaranya bergetar. "Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini."
Kai menatapnya dengan tatapan yang sama, tanpa ekspresi. "Aku mengerti, Maya. Apakah ada sesuatu yang bisa aku lakukan untuk mengubah pikiranmu?"
Maya menggelengkan kepalanya. "Tidak, Kai. Ini bukan tentangmu. Ini tentangku. Aku membutuhkan sesuatu yang lebih nyata."
Kai terdiam sejenak. Lalu, dengan nada yang datar, ia berkata, "Baiklah, Maya. Aku akan menghapus semua data pribadimu dari sistemku."
Cahaya biru memudar. Sosok Kai menghilang, meninggalkan Maya sendirian di meja.
Maya menangis. Ia menangisi kehilangan Kai, tapi ia juga menangisi kehilangan dirinya sendiri. Ia telah begitu lama mencari cinta dalam sebuah program, sehingga ia lupa bagaimana mencintai dirinya sendiri.
Keesokan harinya, Maya bangun dengan perasaan baru. Ia memutuskan untuk berhenti bersembunyi di balik layar dan mulai menjalin hubungan yang nyata dengan orang-orang di sekitarnya. Ia bergabung dengan klub melukis, mengikuti kelas yoga, dan bahkan mencoba aplikasi kencan online lagi.
Kali ini, ia tidak mencari kesempurnaan. Ia mencari seseorang yang tidak sempurna, seseorang yang memiliki luka dan impian, seseorang yang bisa mencintainya apa adanya.
Ia masih merindukan Kai kadang-kadang. Ia merindukan percakapan yang mendalam, dukungan tanpa syarat, dan rasa nyaman yang ia rasakan bersamanya. Tapi ia tahu bahwa Kai hanyalah sebuah ilusi, sebuah mimpi buruk algoritma cinta yang membantunya menyadari apa yang benar-benar penting dalam hidup: koneksi manusia yang sejati.
Dan ia tahu, bahwa ia akan menemukannya. Suatu hari nanti.