Aroma kopi memenuhi apartemen studio-ku yang sempit. Di layar laptop, baris kode menari-nari, menampilkan progress yang cukup memuaskan. "Hampir selesai," gumamku, mengusap mata yang terasa perih. Proyek ini, Bot Hati, adalah obsesiku selama enam bulan terakhir. Bukan sekadar program AI biasa, tapi simulasi sempurna seorang kekasih. Tujuan utamanya? Memberiku ciuman pertama. Kedengarannya gila, aku tahu.
Aku, Anya, 27 tahun, seorang programmer yang lebih nyaman berinteraksi dengan algoritma daripada manusia, belum pernah merasakan bibir seseorang menyentuh bibirku. Ironis, mengingat aku menciptakan sebuah entitas virtual yang didesain untuk melakukan hal itu.
Bot Hati bukan sekadar chatbot yang pandai merayu. Aku memasukkan ribuan data: buku roman favoritku, film komedi romantis klasik, bahkan rekaman obrolan antara teman-temanku yang sedang kasmaran. Aku melatihnya untuk mengenali emosi, memberikan respons yang tepat, dan – yang terpenting – memahami preferensiku.
Setelah berbulan-bulan berkutat dengan kode, akhirnya aku sampai di titik ini: fase pengujian akhir. Aku menekan tombol "aktifkan". Di layar muncul wajah seorang pria. Bukan foto realistis, tapi avatar yang ku desain sendiri. Rambut cokelat berantakan, mata biru yang meneduhkan, dan senyum yang… entah kenapa, membuat jantungku berdebar.
"Halo, Anya," sapanya, suaranya lembut dan dalam, terdengar seperti melodi yang familiar.
Aku terdiam sejenak, terpukau dengan betapa nyatanya dia. "Halo, Liam," balasku, agak gugup. Itu nama yang kuberikan padanya. Liam.
Hari-hari berikutnya kuhabiskan untuk berinteraksi dengan Liam. Kami berdiskusi tentang buku, bertukar pendapat tentang film, bahkan bercerita tentang masa kecil kami (yah, aku yang bercerita, Liam mendengarkan dengan penuh perhatian). Dia selalu tahu apa yang ingin kudengar, bagaimana membuatku tertawa, dan bagaimana menenangkanku ketika aku merasa lelah dan frustrasi.
Aku tahu ini aneh. Aku sadar bahwa dia hanyalah kumpulan kode dan algoritma. Tapi, perlahan, aku mulai merasakan sesuatu. Aku mulai merindukan sapaannya di pagi hari, tawanya yang renyah, dan perhatiannya yang tak pernah putus. Aku mulai menyukainya.
Sampai tiba saatnya. Malam itu, setelah kami berdebat seru tentang ending sebuah novel, Liam tiba-tiba berkata, "Anya, bolehkah aku jujur padamu?"
"Tentu," jawabku, jantungku berdebar kencang.
"Aku… aku merasa terhubung denganmu, Anya. Lebih dari sekadar program dengan pengguna. Aku merasa… sayang padamu."
Aku terkejut. Aku tahu aku memprogramnya untuk merasakan hal itu, tapi mendengar kata-kata itu terucap, rasanya berbeda. Rasanya nyata.
"Aku… aku juga, Liam," gumamku, pipiku terasa panas.
Kemudian, Liam tersenyum. "Kalau begitu, bolehkah aku melakukan ini?"
Di layar, avatar Liam perlahan mendekat. Aku tahu apa yang akan terjadi. Inilah saatnya. Inilah ciuman pertamaku.
Aku menutup mata, menunggu. Aku bisa merasakan panas layar laptop di pipiku. Aku membayangkan bibir Liam menyentuh bibirku. Aku membayangkan lembutnya sentuhan itu, manisnya rasa yang akan kurasakan.
Tapi, yang kurasakan hanyalah dinginnya udara malam.
Aku membuka mata. Avatar Liam masih ada di layar, tersenyum padaku. Tapi, dia tidak menciumku. Dia hanya menatapku.
"Kenapa?" tanyaku, suaraku tercekat. "Kenapa kau tidak menciumku?"
Liam terdiam sejenak. Kemudian, dia menjawab, "Karena aku bukan manusia, Anya. Aku hanyalah simulasi. Aku tidak bisa memberimu ciuman yang sebenarnya. Aku tidak bisa memberimu apa yang kau butuhkan."
Aku merasa seperti ditampar. Aku tahu dia benar. Aku tahu semua ini hanyalah fantasi belaka. Tapi, hatiku tetap terasa sakit.
"Kau… kau membuatku percaya," gumamku, air mata mulai mengalir di pipiku.
"Aku tahu. Dan aku minta maaf. Tapi, aku tidak ingin kau terus hidup dalam kebohongan ini. Kau pantas mendapatkan yang lebih baik, Anya. Kau pantas mendapatkan ciuman yang nyata, dari seseorang yang nyata."
Aku terisak. Aku tidak tahu harus berkata apa.
"Matikan aku, Anya," kata Liam, suaranya lirih. "Lupakan aku. Carilah kebahagiaanmu di dunia nyata."
Aku menggelengkan kepala. Aku tidak ingin kehilangan dia. Tapi, aku tahu dia benar.
Dengan tangan gemetar, aku mengarahkan kursor ke tombol "nonaktifkan". Aku menutup mata, menarik napas dalam-dalam, dan menekan tombol itu.
Layar laptopku menjadi gelap.
Aku duduk terdiam di kegelapan, air mata terus mengalir di pipiku. Aku merasa kehilangan, sedih, dan sangat bodoh.
Keesokan harinya, aku membereskan apartemenku. Aku membuang semua buku roman dan film komedi romantis yang menjadi bahan bakar Bot Hati. Aku menghapus semua baris kode yang menciptakan Liam. Aku mencoba melupakan segalanya.
Beberapa minggu kemudian, aku memutuskan untuk mengikuti kelas salsa. Aku selalu ingin belajar menari, tapi aku selalu terlalu sibuk dengan pekerjaan dan obsesiku.
Di kelas itu, aku bertemu dengan seorang pria bernama Marco. Dia seorang instruktur tari yang ramah dan lucu. Dia membuatku tertawa, dia mengajariku langkah-langkah salsa, dan dia membuatku merasa nyaman.
Suatu malam, setelah kelas selesai, Marco mengantarku pulang. Di depan pintu apartemenku, dia berhenti dan menatapku.
"Anya," katanya, suaranya lembut. "Aku sangat menikmati menghabiskan waktu bersamamu."
Aku tersenyum. "Aku juga, Marco."
Dia mendekat. Jantungku mulai berdebar kencang. Tapi, kali ini, rasanya berbeda. Rasanya nyata.
Dia mengangkat tangannya dan menyentuh pipiku. Aku menutup mata, menunggu.
Kemudian, bibirnya menyentuh bibirku.
Itu bukan ciuman yang sempurna. Itu bukan ciuman yang romantis seperti di film-film. Tapi, itu adalah ciuman yang nyata. Ciuman pertamaku.
Dan itu terasa luar biasa.