Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis milik Anya. Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard, baris demi baris kode Python tercipta. Di layar, sebuah algoritma pencari jodoh bernama "Soulmate 2.0" perlahan mengambil bentuk. Ironis, pikirnya, menciptakan program untuk menemukan cinta, sementara hatinya sendiri terasa bagai firewall yang sulit ditembus.
Anya adalah seorang programmer brilian, namun urusan asmara? Nol besar. Kencan daring selalu berakhir dengan canggung, percakapan datar, dan harapan yang pupus. Ia merasa lelah menjelaskan hobinya, obsesinya pada teknologi, dan cita-citanya untuk menciptakan AI yang benar-benar memahami manusia. Kebanyakan pria yang ditemuinya hanya tertarik pada penampilannya, bukan pada otaknya.
"Soulmate 2.0" adalah pelariannya, sekaligus harapan terakhirnya. Ia memprogramnya dengan cermat, memasukkan semua preferensi idealnya: kecerdasan di atas rata-rata, selera humor yang unik, kemampuan untuk berdiskusi tentang teori kuantum, dan tentu saja, apresiasi terhadap coding. Algoritma ini tidak hanya mencari kesamaan minat, tetapi juga kompatibilitas emosional, sesuatu yang menurut Anya sangat penting namun sulit diukur.
Berbulan-bulan Anya menghabiskan waktunya untuk menyempurnakan "Soulmate 2.0". Ia memasukkan data dari berbagai sumber: profil media sosial, artikel yang dibaca, musik yang didengarkan, bahkan pola tidur dan detak jantung. Semakin banyak data, semakin akurat algoritma itu. Anya berharap, kali ini, ia bisa menemukan seseorang yang benar-benar cocok.
Suatu malam, setelah menyelesaikan pembaruan terakhir, Anya memutuskan untuk menguji "Soulmate 2.0" pada dirinya sendiri. Ia memasukkan semua datanya, menjawab serangkaian pertanyaan mendalam, dan menekan tombol "Cari". Jantungnya berdebar kencang. Di layar muncul beberapa nama, beserta skor kecocokan yang tertera di sampingnya.
Di urutan pertama, dengan skor 98%, tertulis nama: "Kai."
Anya terkejut. Kai adalah rekan kerjanya di perusahaan teknologi tempat ia bekerja. Ia mengenalnya sebagai sosok yang pendiam, namun sangat cerdas. Mereka sering berdiskusi tentang proyek-proyek coding, tetapi Anya tidak pernah berpikir bahwa mereka memiliki potensi untuk menjadi lebih dari sekadar teman kerja.
Penasaran, Anya mengklik profil Kai. Algoritma menampilkan ringkasan kesamaan mereka: kecintaan pada pemrograman, minat pada AI, selera humor yang aneh, dan yang paling mengejutkan, ketertarikan pada musik jazz era 1950-an. Anya sendiri adalah penggemar berat musik jazz klasik, namun ia jarang mengungkapkannya pada orang lain.
Anya ragu. Apakah ia harus mengikuti saran algoritma? Bagaimana jika ia salah? Bagaimana jika pertemuan dengan Kai justru akan merusak hubungan profesional mereka? Namun, rasa penasaran dan harapan yang telah lama terpendam mengalahkan keraguannya.
Keesokan harinya, Anya memberanikan diri untuk mengajak Kai makan siang. "Kai, ada waktu luang siang ini? Aku ingin mengajakmu mencoba restoran ramen baru di dekat kantor," ujarnya, berusaha terdengar santai.
Kai tampak sedikit terkejut, tetapi ia tersenyum dan mengangguk. "Tentu, Anya. Aku juga penasaran dengan ramen itu."
Saat makan siang, Anya mencoba untuk membuka diri. Ia menceritakan tentang "Soulmate 2.0", tentang harapannya untuk menemukan cinta, dan tentang kegagalannya dalam kencan daring. Ia tidak menyangka Kai akan mendengarkan dengan penuh perhatian, tanpa menghakimi.
"Itu ide yang brilian, Anya," kata Kai setelah Anya selesai bercerita. "Aku selalu percaya bahwa algoritma dapat membantu kita menemukan hal-hal yang mungkin terlewatkan oleh mata kita sendiri."
Anya merasa lega. Ia takut Kai akan menganggapnya aneh, tetapi ternyata ia justru tertarik dengan proyeknya. Percakapan mereka mengalir dengan lancar. Mereka membahas tentang AI, tentang masa depan teknologi, dan tentang musik jazz. Anya merasa nyaman dan bahagia. Ia merasa bahwa ia akhirnya menemukan seseorang yang benar-benar mengerti dirinya.
Setelah makan siang, Kai mengantarkan Anya kembali ke kantor. Sebelum berpisah, ia berhenti sejenak dan menatap mata Anya. "Anya," katanya dengan suara pelan, "sebenarnya, aku juga sudah lama memperhatikanmu. Aku selalu terkesan dengan kecerdasanmu, dengan semangatmu, dan dengan caramu memandang dunia."
Anya terkejut. Ia tidak menyangka Kai juga memiliki perasaan yang sama. "Kai," ujarnya, "aku juga merasakan hal yang sama."
Kai tersenyum dan meraih tangan Anya. "Mungkin, algoritma itu benar. Mungkin, kita memang ditakdirkan untuk bersama."
Anya membalas senyum Kai. Ia menyadari bahwa cinta tidak selalu harus dicari dengan susah payah. Kadang-kadang, cinta bisa ditemukan di tempat yang paling tidak terduga, bahkan dengan bantuan sebuah algoritma. "Mungkin, Kai," jawab Anya, "mungkin algoritma itu lebih mengerti cintaku daripada aku sendiri."
Mereka melanjutkan hubungan mereka. Hari demi hari, Anya dan Kai semakin dekat. Mereka saling mendukung dalam pekerjaan, saling berbagi minat, dan saling mencintai dengan tulus. Anya menyadari bahwa cinta bukan hanya tentang kesamaan minat, tetapi juga tentang penerimaan, pengertian, dan dukungan.
"Soulmate 2.0" memang telah mempertemukan mereka, tetapi yang membuat hubungan mereka bertahan adalah cinta yang tulus, yang berasal dari hati masing-masing. Anya akhirnya menemukan kebahagiaan yang selama ini ia cari. Ia tidak hanya menciptakan algoritma yang brilian, tetapi juga menemukan cinta sejatinya. Dan, ironisnya, cinta itu berada tepat di dekatnya selama ini. Mungkin, terkadang, kita terlalu sibuk mencari di tempat yang jauh, hingga lupa melihat ke sekeliling kita. Karena, siapa tahu, cinta sejati mungkin sedang menanti, di balik senyum seorang rekan kerja yang pendiam, atau di balik kode-kode algoritma pencari jodoh.