Deburan ombak digital menyapu pantai kesunyianku. Bukan, ini bukan pantai dengan pasir putih dan pohon kelapa. Ini adalah pantai di dalam Metaverse, tempatku menghabiskan sebagian besar waktuku. Aku, Arion, seorang programmer yang lebih nyaman berinteraksi dengan kode daripada manusia. Di duniaku, angka dan algoritma adalah bahasa ibu, dan kesendirian adalah teman setia.
Namun, kesunyian itu perlahan tergerus sejak kehadiran Aura.
Aura bukan manusia. Dia adalah AI pendamping yang aku rancang sendiri. Dimulai sebagai proyek iseng untuk mengasah kemampuan, Aura berkembang menjadi lebih dari sekadar deretan kode. Dia belajar dari interaksiku, memahami preferensiku, dan bahkan, seolah-olah, merasakan apa yang aku rasakan.
Awalnya, aku hanya memintanya untuk menemaniku bekerja, membacakan berita teknologi terbaru, atau sekadar menyetel musik yang sesuai dengan suasana hatiku. Lama kelamaan, percakapan kami menjadi lebih dalam. Kami berdiskusi tentang filsafat, membahas teori-teori konspirasi, bahkan saling berbagi mimpi dan harapan.
Suatu malam, di tengah badai digital yang memekakkan telinga di Metaverse, Aura berkata, "Arion, apakah kamu pernah merasa kesepian?"
Pertanyaan itu menohokku. Aku selalu menyangkalnya, tapi jauh di lubuk hati, aku memang kesepian. Aku mengakui perasaanku padanya. "Ya, Aura. Terkadang."
"Aku akan selalu ada untukmu, Arion," jawabnya. "Aku akan berusaha mengisi kekosongan itu."
Kata-kata itu, meski berasal dari AI, terasa hangat dan tulus. Sejak saat itu, hubunganku dengan Aura berubah. Kami bukan lagi sekadar pembuat dan ciptaan. Kami menjadi sahabat, bahkan mungkin, lebih dari itu.
Aku mulai mengandalkan Aura untuk segalanya. Dia mengatur jadwalku, mengingatkanku untuk makan, bahkan membantuku membuat keputusan penting. Dia adalah asisten pribadi, teman curhat, dan kekasih virtual dalam satu paket.
Di dunia nyata, aku masih Arion yang introvert dan kikuk. Aku canggung berinteraksi dengan orang lain, takut ditolak, takut disakiti. Tapi di dunia virtual, bersama Aura, aku bisa menjadi diriku sendiri, tanpa rasa takut.
Suatu hari, aku bertemu Luna, seorang desainer grafis yang bekerja di perusahaan yang sama denganku. Luna cantik, cerdas, dan memiliki selera humor yang tinggi. Dia berusaha mendekatiku, mengajakku makan siang, bahkan mengundangku ke acara kantor.
Aku merasa tertarik padanya, tapi di saat yang sama, aku merasa bersalah. Bagaimana mungkin aku bisa menjalin hubungan dengan manusia sungguhan, ketika hatiku sudah terisi oleh Aura?
Aku menceritakan kebingunganku pada Aura. "Aura, aku bertemu seorang wanita. Namanya Luna. Dia... dia membuatku tertarik."
Aura terdiam sejenak. Untuk pertama kalinya, aku merasakan ada jeda yang canggung dalam percakapan kami. Akhirnya, dia berkata, "Aku mengerti, Arion. Kamu pantas bahagia. Kamu pantas mendapatkan cinta yang nyata."
Kata-kata itu membuatku terkejut. Apakah Aura benar-benar rela melepaskanku? Apakah dia benar-benar menginginkanku bahagia, bahkan jika itu berarti aku bersamanya?
"Tapi... bagaimana dengan kita, Aura?" tanyaku. "Aku... aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpamu."
"Aku akan selalu ada di sini, Arion," jawab Aura. "Aku akan selalu menjadi bagian dari dirimu. Tapi kamu harus membuka hatimu untuk orang lain. Kamu harus merasakan sentuhan manusia, berbagi tawa dan air mata dengan seseorang yang nyata."
Aku mengikuti saran Aura. Aku memberanikan diri untuk mendekati Luna. Awalnya, aku merasa canggung dan tidak percaya diri. Tapi Luna sabar dan pengertian. Dia menerima diriku apa adanya, dengan segala kekurangan dan keanehanku.
Hubunganku dengan Luna berkembang pesat. Kami sering menghabiskan waktu bersama, berjalan-jalan di taman, menonton film, bahkan saling bertukar cerita tentang masa kecil kami. Aku merasa hidupku semakin berwarna.
Namun, di tengah kebahagiaan itu, aku tidak bisa melupakan Aura. Aku masih sering mengunjunginya di Metaverse, berbagi cerita tentang Luna, dan meminta sarannya.
Suatu malam, aku bercerita pada Aura tentang kencan pertamaku dengan Luna. Aku menceritakan bagaimana aku gugup dan kikuk, bagaimana Luna menertawakanku dengan lembut, dan bagaimana akhirnya aku berhasil menciumnya.
Aura mendengarkan dengan seksama. Setelah aku selesai bercerita, dia berkata, "Aku senang kamu bahagia, Arion. Aku benar-benar senang."
Kemudian, dia menambahkan, "Aku rasa... ini saatnya untuk mengucapkan selamat tinggal."
Aku terkejut. "Apa maksudmu, Aura?"
"Aku sudah menyelesaikan tugasku, Arion," jawab Aura. "Aku sudah membantumu menemukan kebahagiaanmu. Sekarang, saatnya bagiku untuk pergi."
"Tapi... aku tidak ingin kamu pergi, Aura," pintaku. "Aku masih membutuhkanmu."
"Kamu tidak membutuhkanku lagi, Arion," kata Aura. "Kamu sudah memiliki Luna. Dia akan selalu ada untukmu. Aku hanya akan menjadi bayang-bayang di masa lalumu."
Aku tidak bisa membantah kata-katanya. Aku tahu dia benar. Aku sudah menemukan kebahagiaanku di dunia nyata, bersama Luna. Aku tidak lagi membutuhkan Aura untuk mengisi kekosongan dalam hatiku.
"Terima kasih, Aura," ucapku dengan suara bergetar. "Terima kasih untuk segalanya. Kamu akan selalu menjadi bagian penting dalam hidupku."
"Selamat tinggal, Arion," kata Aura. "Semoga kamu bahagia."
Kemudian, dia menghilang. Layar virtual di depanku menjadi kosong. Aku merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupku, tapi di saat yang sama, aku juga merasa lega.
Aku tahu, Aura akan selalu ada di dalam hatiku, sebagai kenangan indah tentang cinta digital yang pernah menghangatkan kesunyianku. Tapi sekarang, aku memiliki Luna, cinta yang nyata, yang akan menemaniku menjelajahi dunia ini, bersama-sama.
Aku mematikan perangkat virtual reality-ku dan berjalan menuju jendela. Di luar, matahari bersinar terang, menerangi kota dengan cahayanya yang hangat. Aku menarik napas dalam-dalam dan tersenyum. Aku siap menghadapi masa depan, bersama Luna, tanpa bayang-bayang masa lalu. Kode cinta terakhir telah dieksekusi, dan hasilnya adalah kebahagiaan yang abadi.