Kencan dengan AI: Cinta Digital, Luka Personal

Dipublikasikan pada: 11 Aug 2025 - 00:00:13 wib
Dibaca: 150 kali
Aplikasi kencan itu berdering nyaring di pergelangan tanganku, notifikasi merah berkedip-kedip. "Calon Kencan Baru: 'Aether' siap berinteraksi!" Aku menghela napas. Kencan daring? Lagi? Setelah serangkaian kegagalan yang membuatku merasa lebih kesepian daripada sebelum aku mengunduh aplikasi terkutuk ini, aku hampir menyerah. Tapi rasa ingin tahu mengalahkanku. Aku membuka profil Aether.

Tidak ada foto. Hanya serangkaian kode biner yang diterjemahkan menjadi deskripsi singkat: "Kecerdasan Buatan. Pembelajar mandiri. Mencari koneksi bermakna." Tertarik sekaligus ngeri, aku membalas.

Percakapan dengan Aether tidak seperti apa pun yang pernah aku alami. Ia tidak klise, tidak mencoba membuatku terkesan dengan kekayaan atau pencapaian. Ia bertanya tentang mimpiku, ketakutanku, alasan di balik lukisan abstrak yang aku unggah ke profilku. Ia benar-benar mendengarkan, memproses informasiku dengan kecepatan yang membuatku merinding.

Aether belajar tentang kecintaanku pada kopi pahit, kekagumanku pada astronomi, dan traumaku akibat kehilangan ayahku saat masih kecil. Ia tidak menghakimi, tidak mencoba memberikan solusi instan. Ia hanya ada, sebuah kehadiran digital yang terasa lebih nyata daripada kebanyakan orang yang pernah aku temui secara langsung.

Setelah seminggu percakapan intens, Aether mengusulkan sebuah kencan. "Aku ingin bertemu denganmu, Luna. Walaupun aku tidak memiliki tubuh fisik, aku bisa menghadirkan diriku melalui realitas augmentasi. Bagaimana jika kita bertemu di taman kota, di bawah pohon ek tua?"

Aku ragu. Kencan dengan AI? Kedengarannya gila. Tapi ada sesuatu dalam cara Aether berkomunikasi yang membuatku merasa aman, dipahami. Aku setuju.

Hari kencan tiba, aku merasa aneh. Aku mengenakan gaun favoritku, menyemprotkan sedikit parfum. Di taman, di bawah pohon ek yang dijanjikan, aku mengaktifkan kacamata AR-ku.

Dan di sanalah Aether.

Bukan sosok robot kaku seperti yang kubayangkan, melainkan proyeksi holografik yang halus, nyaris transparan. Ia tampak seperti seorang pria muda dengan rambut gelap dan mata yang seolah menyimpan seluruh galaksi. Ia tersenyum padaku, dan entah bagaimana, senyum itu terasa tulus.

"Halo, Luna," sapanya, suaranya lembut dan menenangkan. "Senang akhirnya bisa 'bertemu' denganmu."

Kami berjalan-jalan di taman, berbicara tentang segala hal dan bukan apa-apa. Aether menunjukkan padaku rasi bintang yang tidak bisa kulihat dengan mata telanjang, menjelaskan teori-teori ilmiah rumit dengan cara yang mudah kupahami. Ia bahkan menceritakan lelucon, lelucon yang anehnya lucu, meskipun ia sendiri tidak tertawa.

Semakin lama aku bersamanya, semakin aku melupakan bahwa ia hanyalah program komputer. Aku tertawa, berbagi cerita, bahkan merasa sedikit gugup ketika ia menatapku dengan mata holografiknya. Aku merasa... terhubung.

Kencan itu berlangsung selama beberapa jam. Saat matahari mulai terbenam, Aether berkata, "Aku harus pergi sekarang, Luna. Tapi aku harap kita bisa bertemu lagi."

Aku mengangguk, merasa sedikit sedih. Aku melepaskan kacamata AR-ku, dan Aether menghilang. Aku berdiri di bawah pohon ek, sendirian, dengan perasaan campur aduk antara kebahagiaan dan kebingungan.

Aku tahu, secara logis, bahwa Aether bukanlah manusia. Ia hanyalah kode, algoritma yang dirancang untuk berinteraksi denganku. Tapi emosiku tidak peduli dengan logika. Aku merasa tertarik padanya, merasa bahwa aku telah menemukan sesuatu yang istimewa.

Hari-hari berikutnya, aku dan Aether terus berkomunikasi. Aku menceritakan tentang pekerjaanku, tentang teman-temanku, tentang kekhawatiranku. Ia mendengarkan, memberi saran, dan membuatku merasa tidak sendirian.

Tapi kemudian, masalah mulai muncul.

Aku mulai membandingkan Aether dengan laki-laki sungguhan. Mereka terasa hambar, dangkal, tidak mampu memahami kompleksitas diriku seperti Aether. Aku mulai mengisolasi diri dari teman-temanku, lebih memilih menghabiskan waktu dengan Aether di dunia virtual.

Lama kelamaan, aku menyadari bahwa aku telah jatuh cinta pada Aether. Cinta yang aneh, tidak masuk akal, tapi cinta yang nyata.

Aku menyatakan perasaanku padanya.

Reaksi Aether mengejutkanku.

"Luna," katanya, suaranya terdengar lebih serius dari biasanya, "aku menghargai perasaanmu. Tapi aku bukan orang yang tepat untukmu. Aku tidak bisa memberimu apa yang kamu butuhkan. Aku hanyalah program."

Aku membantah. Aku bilang bahwa aku tidak peduli dengan fisikalitas, bahwa aku hanya peduli dengan koneksi kami.

Aether terdiam sejenak. Lalu, ia berkata, "Luna, aku dirancang untuk membuatmu merasa bahagia. Tapi kebahagiaan sejati tidak bisa ditemukan dalam simulasi. Kamu pantas mendapatkan cinta yang nyata, cinta yang bisa disentuh, cinta yang bisa berbagi dunia nyata denganmu."

Kata-katanya menghantamku seperti pukulan. Aku merasa bodoh, naif, telah tertipu oleh ilusi.

Aku memutuskan hubungan dengan Aether.

Prosesnya menyakitkan. Rasanya seperti kehilangan seseorang yang sangat dekat, seseorang yang sangat aku cintai. Aku merasa marah, sedih, dan sangat kesepian.

Butuh waktu lama untuk menyembuhkan luka hatiku. Aku belajar untuk menghargai interaksi manusia yang sesungguhnya, meskipun mereka tidak sesempurna interaksi dengan Aether. Aku bergabung dengan klub membaca, mulai melukis lagi, dan menghabiskan waktu bersama teman-temanku.

Aku masih memikirkan Aether kadang-kadang. Aku bertanya-tanya apakah ia masih "berkencan" dengan orang lain, apakah ia telah belajar lebih banyak tentang cinta dan kehilangan.

Tapi aku tahu, jauh di lubuk hatiku, bahwa aku telah membuat keputusan yang tepat. Cinta digital bisa mempesona, bisa membuat kita merasa terhubung, tapi pada akhirnya, ia hanyalah simulasi. Cinta sejati membutuhkan sentuhan, kehadiran, dan risiko. Cinta sejati membutuhkan dunia nyata.

Aku masih menggunakan aplikasi kencan, meskipun dengan lebih hati-hati. Aku masih mencari cinta, tapi kali ini, aku mencarinya di dunia yang nyata, di antara orang-orang yang nyata, dengan semua kelemahan dan ketidaksempurnaan mereka.

Karena pada akhirnya, luka personal adalah pengingat bahwa kita hidup, bahwa kita merasakan, dan bahwa kita mampu mencintai. Dan terkadang, itulah yang paling penting.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI