Jam di pergelangan tanganku bergetar, menandakan pukul 7 pagi. Bukan getaran yang membangunkanku, melainkan suara robot pembersih yang menabrak kaki meja kerja. Aku menguap, meraih kacamata berbingkai metalik dari nakas, dan menatap layar holografik yang menyala di udara. Seperti biasa, notifikasi Algoritma Cinta mendominasi.
"Selamat pagi, Anya! Analisis kompatibilitasmu dengan kandidat potensial menunjukkan peningkatan 0.3% dengan subjek bernama Reyhan. Pertimbangkan untuk mengirimkan sapaan 'pagi' virtual padanya?"
Reyhan. Nama itu muncul hampir setiap hari dalam notifikasi Algoritma Cinta. Seorang arsitek muda, lulusan terbaik dari universitas ternama, hobi mendaki gunung dan membaca puisi klasik. Profil yang, setidaknya di atas kertas, sangat sempurna. Sempurna hingga terasa seperti iklan sabun cuci.
Aku menghela napas. Algoritma Cinta, yang konon bisa menemukan pasangan hidup berdasarkan data kepribadian, preferensi, dan bahkan gelombang otak, sudah mendikte hidup asmaraku selama lima tahun terakhir. Hasilnya? Nol besar. Kencan demi kencan terasa seperti wawancara kerja yang panjang dan membosankan.
"Tidak hari ini, Algoritma," gumamku, lalu mematikan notifikasi dengan gerakan tangan. Aku lebih memilih kopi pahit dan berita teknologi daripada basa-basi virtual dengan Reyhan.
Pekerjaanku sebagai pengembang perangkat lunak di perusahaan teknologi raksasa, “NexusCorp,” adalah pelarianku. Aku menenggelamkan diri dalam barisan kode, larut dalam logika dan algoritma yang, tidak seperti Algoritma Cinta, selalu memberikan hasil yang pasti.
Siang itu, saat sedang fokus memecahkan masalah pada sistem AI NexusCorp, pintu ruanganku terbuka. Sosok Reyhan berdiri di ambang pintu, senyumnya cerah seperti matahari pagi.
"Anya, kan? Maaf mengganggu. Aku Reyhan dari divisi arsitektur. Kita ada proyek bersama untuk desain ruang kantor baru."
Jantungku berdegup kencang. Bukan karena Algoritma Cinta, melainkan karena… sesuatu yang lain. Sesuatu yang tidak bisa diprediksi oleh algoritma mana pun. Reyhan tidak seperti profil yang ditampilkan Algoritma Cinta. Dia lebih… hidup. Matanya berbinar saat menjelaskan visinya tentang ruang kerja kolaboratif yang menginspirasi. Suaranya hangat dan tulus saat menanyakan pendapatku tentang desain UI yang akan digunakan.
Selama beberapa minggu berikutnya, aku dan Reyhan menghabiskan banyak waktu bersama. Kami berdebat tentang detail teknis, tertawa karena kesalahan kecil, dan saling mendukung saat tenggat waktu terasa mencekik. Aku mulai menyadari bahwa Reyhan bukan sekadar profil sempurna yang dibuat oleh Algoritma Cinta. Dia adalah seorang pria dengan mimpi, ambisi, dan rasa humor yang unik.
Semakin aku mengenal Reyhan, semakin aku mempertanyakan Algoritma Cinta. Apakah algoritma benar-benar bisa memahami kompleksitas emosi manusia? Apakah cinta bisa direduksi menjadi sekumpulan data dan persamaan?
Suatu malam, setelah menyelesaikan presentasi proyek, aku dan Reyhan memutuskan untuk makan malam di restoran sushi favoritku. Suasana restoran yang tenang dan remang-remang membuatku merasa nyaman untuk membuka diri.
"Reyhan," kataku, setelah menyesap teh hijau hangat. "Aku… aku merasa Algoritma Cinta salah tentangmu."
Reyhan mengerutkan kening. "Salah? Maksudmu?"
Aku menjelaskan tentang bagaimana Algoritma Cinta terus-menerus merekomendasikannya kepadaku, bagaimana aku awalnya skeptis karena merasa profilnya terlalu sempurna.
Reyhan tertawa. "Aku juga dapat notifikasi yang sama tentangmu, Anya. Sejujurnya, aku juga awalnya ragu. Aku pikir, 'Wah, pengembang jenius yang terobsesi dengan kode dan kopi.' Tapi ternyata, kamu jauh lebih menarik daripada itu."
"Jadi… kamu juga merasa Algoritma Cinta tidak bisa memahami kita?" tanyaku.
Reyhan mengangguk. "Algoritma hanya bisa melihat data, Anya. Tapi ia tidak bisa melihat… ini," katanya, menunjuk ke arah kami berdua. "Ia tidak bisa melihat koneksi yang kita miliki, rasa nyaman yang kita rasakan saat bersama."
Aku tersenyum. Rasanya seperti ada beban berat yang terangkat dari pundakku. Aku tidak lagi merasa harus mengikuti arahan Algoritma Cinta. Aku bebas untuk memilih jalan hidupku sendiri, termasuk jalan cinta.
Malam itu, setelah mengantar Reyhan pulang, aku kembali ke apartemenku. Jam di pergelanganku bergetar, memberiku notifikasi Algoritma Cinta.
"Anya, analisis kompatibilitasmu dengan Reyhan menunjukkan peningkatan signifikan. Pertimbangkan untuk menjadwalkan kencan virtual selanjutnya?"
Kali ini, aku tidak langsung mematikan notifikasi itu. Aku menatapnya sejenak, lalu mengetikkan balasan: "Algoritma, aku tidak membutuhkanmu lagi. Aku sudah menemukan apa yang kucari."
Aku mematikan notifikasi dan menatap langit malam dari jendela kamarku. Jantungku berdebar kencang, bukan karena algoritma, melainkan karena harapan. Karena aku percaya, kali ini, detak jantungku tidak akan eror. Ia berdetak karena… cinta. Cinta yang tidak bisa diprediksi, tidak bisa dikendalikan, dan tidak bisa direduksi menjadi sekumpulan kode. Cinta yang… nyata.