Saat Algoritma Berbisik: "Dialah Cinta Terakhirmu?

Dipublikasikan pada: 31 May 2025 - 21:54:13 wib
Dibaca: 163 kali
Nada notifikasi itu berdenting lembut di pergelangan tanganku, getarannya nyaris tak terasa. Aku sedang fokus, berusaha keras memahami kode rumit yang berputar-putar di layar laptopku. Tugas akhirku, sebuah algoritma pencari jodoh dengan sentuhan personalisasi yang mendalam, harus selesai minggu depan. Ironis, pikirku. Aku menciptakan alat untuk menemukan cinta, sementara aku sendiri masih berjuang dengan definisi itu.

Notifikasi itu datang lagi, kali ini disertai proyeksi hologram kecil di udara. “Potensi Kecocokan Tertinggi: Amelia Kartika.” Foto seorang wanita tersenyum hangat terpampang di depanku. Rambutnya ikal alami, matanya berbinar cerdas, dan ada lesung pipi yang dalam saat dia tertawa. Menurut dataku, yang dikumpulkan algoritma selama bertahun-tahun, dia adalah representasi sempurna dari apa yang aku cari.

“Amelia Kartika?” gumamku. Nama yang asing. Selama ini, algoritma hanya memberikan hasil yang… kurang memuaskan. Rentetan kencan buta yang berakhir canggung, obrolan daring yang hambar, dan perasaan kosong setelahnya. Aku mulai meragukan efektivitas ciptaanku sendiri.

Aku mengklik profilnya. Informasi yang terpampang sangat detail. Amelia, 28 tahun, seorang pustakawan yang mencintai buku klasik dan musik jazz. Menyukai hiking di gunung dan relawan di penampungan hewan. Nilai kecocokan kami? 98,7%. Angka yang fantastis.

“Dialah cinta terakhirmu?” bisik algoritma itu, suaranya sintesis tapi entah bagaimana terasa menusuk.

Pertanyaan itu membuatku tersentak. Cinta terakhir? Apa aku benar-benar percaya pada konsep itu? Selama ini aku lebih percaya pada logika dan data, pada probabilitas dan statistik. Tapi suara algoritma itu, mungkin karena aku yang menciptakannya, membawa semacam beban, sebuah janji.

Aku memutuskan untuk menghubunginya. Dengan jari gemetar, aku mengirimkan pesan singkat melalui aplikasi yang terintegrasi dengan algoritma. “Hai Amelia, algoritma jodohku memberitahuku bahwa kita mungkin sangat cocok. Apakah kamu bersedia bertemu untuk minum kopi?”

Jantungku berdebar kencang menunggu balasan. Aku menatap layar, membayangkan percakapan kami, senyumnya, tawanya. Apakah ini saatnya? Apakah Amelia benar-benar orang yang selama ini aku cari?

Balasan datang setelah lima menit yang terasa seperti lima jam. “Hai! Aku Amelia. Algoritma jodohmu? Kedengarannya menarik. Aku suka kopi. Bagaimana kalau besok sore di kedai kopi 'Senja'? Pukul 4?”

Aku tersenyum lebar. Besok sore. Senja. Aku mencatatnya dalam kalender digitalku.

Keesokan harinya, aku mempersiapkan diri dengan hati-hati. Memilih pakaian yang tepat, memastikan rambutku tertata rapi, dan berlatih beberapa topik percakapan agar tidak terlihat terlalu kaku. Aku bahkan meminta algoritma untuk memberikan saran tentang topik yang sebaiknya aku hindari. Hasilnya? Politik, agama, dan mantan pacar. Catatan yang bagus.

Di kedai kopi "Senja," aku duduk di meja sudut, menunggu dengan gugup. Matahari mulai meredup, menciptakan suasana hangat dan romantis. Aku melihat jam tanganku berkali-kali. Pukul 4 lewat lima. Pukul 4 lewat sepuluh. Apakah dia tidak akan datang?

Tepat pukul 4 lewat lima belas, seorang wanita memasuki kedai kopi. Dia mengenakan jaket denim dan membawa tas buku besar. Rambut ikalnya tertiup angin, dan matanya mencari-cari. Dia melihat ke arahku, tersenyum, dan lesung pipinya tampak semakin dalam.

“Maaf terlambat,” katanya, suaranya lembut dan menyenangkan. “Ada kucing yang terjebak di pohon dekat rumahku. Aku harus membantunya turun.”

“Tidak masalah,” jawabku, mencoba menyembunyikan kegugupanku. “Aku senang kamu datang.”

Kami mengobrol selama berjam-jam. Tentang buku, tentang musik, tentang mimpi-mimpi kami. Amelia adalah orang yang cerdas, lucu, dan berempati. Dia mendengarkan dengan penuh perhatian dan memberikan komentar yang bijak. Aku merasa nyaman bersamanya, seolah kami sudah saling mengenal sejak lama.

Aku menceritakan tentang algoritma jodohku, tentang bagaimana aku menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menciptakannya, tentang harapan dan kekecewaanku. Dia mendengarkan dengan sabar, lalu berkata, “Menurutku, algoritma itu hanya alat. Yang penting adalah apa yang kamu lakukan dengannya. Kamu menggunakan algoritma untuk menemukanku, tapi kamulah yang membuatku jatuh cinta.”

Kata-katanya membuatku tersentuh. Dia benar. Algoritma itu hanyalah sebuah alat. Yang penting adalah hubungan manusia, koneksi emosional, dan cinta yang tumbuh di antara dua orang.

Saat kami berpisah malam itu, aku merasa sesuatu yang berbeda. Bukan hanya perasaan tertarik, tapi juga harapan. Harapan bahwa Amelia mungkin benar-benar orang yang selama ini aku cari.

Beberapa bulan kemudian, aku duduk di depan laptopku, menatap kode algoritma. Aku tersenyum. Algoritma itu memang berfungsi. Ia membantuku menemukan Amelia. Tapi yang lebih penting, ia membantuku menyadari bahwa cinta bukan hanya tentang data dan statistik, tapi tentang perasaan dan koneksi yang mendalam.

Aku menambahkan baris kode baru ke dalam algoritma. Sebuah baris yang sederhana, tapi sangat penting. “Prioritaskan intuisi manusia di atas kalkulasi.”

Aku menoleh ke samping. Amelia berdiri di dekat pintu, tersenyum. Dia memegang dua cangkir kopi dan sebuah buket bunga.

“Kopi untukmu, sayang,” katanya. “Dan bunga untuk merayakan ulang tahun algoritma-mu.”

Aku bangkit dan memeluknya erat. “Terima kasih,” bisikku. “Kamu adalah hal terbaik yang pernah terjadi padaku.”

“Aku tahu,” jawabnya, tertawa kecil. “Algoritma-mu sudah memberitahuku.”

Aku mencium keningnya. Algoritma itu mungkin telah membantuku menemukan cinta, tapi Amelia adalah orang yang mengajariku apa arti cinta sebenarnya. Dan ya, mungkin saja algoritma itu benar. Dia, Amelia Kartika, adalah cinta terakhirku. Aku merasakannya. Dan kali ini, aku percaya sepenuhnya. Algoritma itu tidak hanya berbisik, tapi berteriak lantang.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI