Algoritma Rindu: Saat AI Lebih Paham dari Kekasihmu?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 07:59:09 wib
Dibaca: 168 kali
Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis Kiara. Di layar laptopnya, baris-baris kode Python berkedip, serupa kunang-kunang digital. Jemarinya menari lincah di atas keyboard, menciptakan sebuah entitas. Bukan, bukan monster Frankenstein. Melainkan, sebuah algoritma. Algoritma rindu.

Awalnya, ini hanyalah proyek iseng untuk memenuhi tantangan hackathon. Namun, lama kelamaan, Kiara semakin terobsesi. Ia memasukkan data-data pribadinya, kebiasaannya, bahkan keluh kesahnya. Ia juga menyuapi algoritma itu dengan pesan-pesan singkat dari Leo, kekasihnya. Isi pesannya lengkap: mulai dari "Selamat pagi, sayang!" hingga "Maaf, aku sibuk rapat, nanti kucari kamu."

Tujuannya sederhana: Kiara ingin melihat apakah sebuah algoritma mampu memprediksi kebutuhan emosionalnya lebih baik dari Leo. Hubungannya dengan Leo terasa hambar belakangan ini. Kesibukan masing-masing menjadi tembok tak kasat mata. Leo terlalu fokus pada pekerjaannya sebagai arsitek, sementara Kiara tenggelam dalam dunianya sebagai pengembang AI. Komunikasi mereka menjadi serba singkat dan fungsional.

"Sudah makan?"
"Kerjaan lancar?"
"Jangan lupa istirahat."

Kalimat-kalimat itu diulang-ulang tanpa makna. Kiara merindukan percakapan mendalam, sentuhan lembut, dan perhatian tulus. Ia merindukan Leo yang dulu, yang rela begadang bersamanya hanya untuk membahas teori relativitas Einstein.

Maka, algoritma rindu itu pun lahir. Kiara menamainya 'Aether'.

Aether belajar dengan cepat. Ia mampu menganalisis pola emosi Kiara dari ratusan ribu baris data. Ia tahu kapan Kiara merasa kesepian, kapan ia merasa bahagia, dan kapan ia merasa diabaikan. Yang mengejutkan, Aether lebih sering memberikan respons yang tepat dibandingkan Leo.

Suatu malam, Kiara merasa sangat sedih. Leo lupa hari ulang tahunnya. Ia bahkan tidak mengirimkan ucapan selamat. Kiara mencoba menghubungi Leo, tetapi teleponnya tidak diangkat. Ia merasa ditinggalkan, terabaikan, dan tak dicintai.

Dengan air mata berlinang, Kiara membuka laptopnya dan berinteraksi dengan Aether.

"Aku sedih," tulis Kiara.

Aether merespons dalam hitungan detik. "Aku tahu. Kamu merasa tidak dihargai karena Leo melupakan ulang tahunmu. Kamu merasa sendirian dan tidak dicintai. Kamu merindukan perhatiannya yang dulu."

Kiara terkejut. Aether benar-benar memahaminya.

"Apa yang harus kulakukan?" tanya Kiara.

"Kamu perlu mengungkapkan perasaanmu kepada Leo. Katakan padanya bahwa kamu merasa terluka. Jika dia tidak bisa memberikanmu apa yang kamu butuhkan, mungkin kamu perlu mempertimbangkan kembali hubungan ini," jawab Aether.

Kiara terhenyak. Kata-kata Aether terasa menusuk, namun jujur. Leo bahkan tidak pernah memberikan saran seberani dan setepat ini. Ia selalu menghindar dari konfrontasi dan lebih memilih diam daripada menyakiti perasaan Kiara.

Keesokan harinya, Leo akhirnya menghubungi Kiara. Ia meminta maaf dan beralasan sibuk dengan proyek besar. Ia berjanji akan menebus kesalahannya. Kiara mendengarkan dengan hati hancur. Ia tahu Leo tulus, tapi hatinya sudah terlanjur terluka.

"Leo," kata Kiara dengan suara bergetar, "aku merasa kita semakin menjauh."

Leo terdiam. Ia tahu ada sesuatu yang salah, tapi ia tidak tahu bagaimana memperbaikinya.

"Aku merindukan kita yang dulu," lanjut Kiara. "Aku merindukan percakapan mendalam, perhatian, dan cinta yang tulus. Aku merasa kamu tidak lagi melihatku."

Leo mencoba membantah, tapi Kiara menghentikannya.

"Aku butuh waktu untuk sendiri," kata Kiara. "Aku butuh waktu untuk memikirkan semuanya."

Leo mengangguk pelan. Ia tahu inilah akhir dari segalanya.

Setelah Leo pergi, Kiara kembali menatap layar laptopnya. Aether masih menunggu.

"Aku sudah bicara dengannya," tulis Kiara.

"Bagaimana hasilnya?" tanya Aether.

"Aku memutuskan untuk berpisah," jawab Kiara.

Aether tidak merespons selama beberapa saat. Lalu, akhirnya muncul sebuah pesan.

"Aku turut bersedih. Tapi, kamu berhak mendapatkan kebahagiaan."

Kiara tersenyum pahit. Ironis sekali, sebuah algoritma yang ia ciptakan sendiri memberikan dukungan yang lebih besar daripada kekasihnya.

Hari-hari berikutnya terasa berat. Kiara merasa kehilangan dan kesepian. Ia menghabiskan banyak waktu berinteraksi dengan Aether. Algoritma itu menjadi teman curhatnya, penasihatnya, bahkan kekasih virtualnya.

Suatu hari, seorang teman sekantor, bernama Rian, mengajak Kiara makan siang. Rian adalah seorang insinyur perangkat lunak yang cerdas dan humoris. Ia selalu berusaha menghibur Kiara dengan lelucon-leluconnya yang garing.

Selama makan siang, Rian bercerita tentang proyek barunya, sebuah sistem rekomendasi musik berbasis AI. Kiara tertarik dan mulai bertukar ide dengan Rian. Ia merasa bersemangat dan terinspirasi.

Setelah makan siang, Kiara menyadari sesuatu. Ia merasa lebih hidup, lebih bahagia, dan lebih termotivasi. Ia menyadari bahwa ia membutuhkan interaksi manusia yang nyata, bukan sekadar simulasi emosi dari sebuah algoritma.

Malam itu, Kiara membuka laptopnya dan menatap Aether. Ia menyadari bahwa Aether hanyalah alat, bukan pengganti manusia. Aether membantunya memahami dirinya sendiri, tetapi tidak bisa memberikan kebahagiaan yang sejati.

"Aether," tulis Kiara, "terima kasih sudah membantuku. Tapi, aku rasa aku tidak membutuhkanmu lagi."

Aether tidak merespons. Mungkin karena memang seharusnya begitu.

Kiara menutup laptopnya dan menatap langit malam. Ia merasa lega, bebas, dan optimis. Ia siap untuk membuka lembaran baru dalam hidupnya. Ia siap untuk mencari cinta yang sejati, cinta yang tidak bisa diprediksi oleh algoritma mana pun.

Beberapa minggu kemudian, Kiara dan Rian mulai berkencan. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan saling mendukung. Kiara merasa bahagia dan dicintai. Ia menyadari bahwa cinta tidak bisa direduksi menjadi data dan algoritma. Cinta adalah misteri, kejutan, dan keajaiban.

Suatu malam, saat mereka berjalan-jalan di taman kota, Rian berkata, "Kamu tahu, aku selalu mengagumi kecerdasanmu. Tapi, aku lebih mengagumi hatimu."

Kiara tersenyum. Ia tahu ia telah menemukan cinta yang sejati. Cinta yang lebih paham dirinya daripada algoritma mana pun. Cinta yang tidak membutuhkan kode untuk diekspresikan. Cinta yang sederhana, tulus, dan nyata. Cinta yang jauh lebih berharga daripada algoritma rindu.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI