Hapus Kenangan, Upgrade Cinta: AI Jodohkan Kita?

Dipublikasikan pada: 23 Jul 2025 - 01:00:14 wib
Dibaca: 159 kali
Hembusan angin malam terasa dingin menusuk kulit, meski April baru saja tiba. Di balkon apartemen minimalisnya, Anya menyesap teh chamomile, mencoba meredakan denyutan di kepalanya. Bukan karena pekerjaan yang menumpuk, melainkan karena notifikasi yang terus berkedip di layar ponselnya. "Soulmate AI Match Found!"

Aplikasi 'Cinta Abadi', yang dulu diunduhnya hanya karena penasaran, kini terasa seperti monster yang mengintai. Algoritma canggih itu, berdasarkan ribuan data yang dimasukkan Anya, termasuk preferensi musik, buku favorit, mimpi masa kecil, hingga tipe kepribadian dari hasil tes psikologi, telah mencarikan seorang "jodoh ideal" untuknya. Masalahnya, jodoh ideal itu adalah… Rian.

Rian adalah mantan pacarnya.

Lima tahun lalu, hubungan mereka kandas dengan tragis. Pertengkaran hebat, kata-kata yang terucap tanpa dipikir, dan akhirnya, perpisahan yang menyakitkan. Anya berusaha keras melupakan Rian, menghapus semua foto, memblokir kontaknya di media sosial, bahkan pindah apartemen untuk menghindari kenangan. Sekarang, sebuah algoritma justru menyuguhkan Rian kembali ke hadapannya, dengan embel-embel "Soulmate."

"Konyol," gumam Anya, meletakkan ponselnya di meja. Ia mencoba meyakinkan diri bahwa ini hanyalah kesalahan sistem, anomali data yang tidak perlu dipedulikan. Tapi, di lubuk hatinya yang terdalam, sebuah pertanyaan kecil terus berbisik: bagaimana jika algoritma itu benar?

Anya ingat betul masa-masa indahnya bersama Rian. Tawa mereka saat mendaki gunung, diskusi panjang tentang film indie, dan pelukan hangat saat hujan deras. Mereka memiliki banyak kesamaan, mimpi yang sama, dan ambisi yang sejalan. Tapi, mereka juga memiliki perbedaan yang tak teratasi: Anya yang perfeksionis dan Rian yang lebih santai. Anya yang ambisius dan Rian yang lebih menikmati proses.

Keesokan harinya, notifikasi 'Cinta Abadi' kembali berdering. Kali ini, aplikasi itu menawarkan fitur "Reconnect," yang menjanjikan percakapan virtual dengan jodoh ideal yang direkomendasikan, dengan bantuan AI yang akan memoderasi percakapan dan membantu memecahkan kebekuan. Anya ragu. Sebagian dirinya ingin menghapus aplikasi itu dan melupakan semua ini. Namun, rasa penasaran, dan mungkin sedikit kerinduan yang masih tersisa, mendorongnya untuk menekan tombol "Coba."

Di layar muncul avatar Rian, tersenyum canggung. "Hai, Anya," sapa avatar itu, dengan suara yang direkonstruksi dari rekaman suara Rian di masa lalu. Anya tersenyum pahit. Ini aneh, sangat aneh.

Percakapan dimulai dengan kaku. AI, yang dijuluki "Cupid 2.0," berusaha memfasilitasi diskusi, mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang hobi, pekerjaan, dan pandangan hidup. Awalnya, Anya merasa aneh berbicara dengan representasi digital Rian. Tapi, perlahan, ia mulai larut dalam percakapan. AI itu dengan cerdik mengingatkannya pada momen-momen indah yang pernah mereka lalui bersama, memutar ulang klip-klip video pendek dari kenangan mereka.

"Dulu kita bodoh ya, Anya," kata avatar Rian, tiba-tiba. "Kenapa kita membiarkan hal-hal kecil menghancurkan segalanya?"

Anya tertegun. Kata-kata itu terasa begitu tulus, begitu nyata. "Kita masih muda, Rian," jawab Anya, suaranya bergetar. "Kita belum tahu bagaimana cara berkompromi."

Percakapan terus berlanjut hingga larut malam. Anya menceritakan tentang pekerjaannya sebagai arsitek, tentang mimpinya membangun rumah-rumah ramah lingkungan. Avatar Rian mendengarkan dengan seksama, memberikan komentar-komentar yang cerdas dan insightful. Anya menyadari, meski hanya berbicara dengan representasi digital Rian, ia merasa lebih dekat dengannya daripada sebelumnya.

Beberapa hari kemudian, 'Cinta Abadi' menawarkan fitur "Real Meet," yang menjanjikan pertemuan tatap muka dengan Rian, setelah AI yakin bahwa keduanya siap untuk bertemu kembali. Anya semakin bimbang. Ia takut, takut akan kekecewaan, takut akan penolakan.

Namun, kali ini, Rian yang mengambil inisiatif. Ia mengirimkan pesan langsung ke Anya, bukan melalui aplikasi. "Anya, ini aku, Rian yang asli. Aku tahu ini semua aneh, tapi aku ingin bertemu denganmu. Aku ingin mendengar suaramu, melihat matamu, dan memastikan bahwa semua ini bukan mimpi."

Anya setuju. Mereka bertemu di sebuah kedai kopi kecil di pinggir kota. Rian tampak lebih dewasa, lebih tenang. Ia menatap Anya dengan tatapan yang sama seperti dulu: penuh cinta dan kerinduan.

"Aku minta maaf, Anya," kata Rian, suaranya rendah. "Aku tahu aku banyak melakukan kesalahan di masa lalu. Aku harap kamu bisa memberiku kesempatan kedua."

Anya tersenyum. "Aku juga minta maaf, Rian. Aku juga melakukan kesalahan. Mungkin… mungkin kita memang ditakdirkan untuk bersama."

Mereka menghabiskan berjam-jam berbicara, menceritakan tentang kehidupan mereka selama lima tahun terakhir. Mereka tertawa, menangis, dan saling memahami. Anya menyadari, meski 'Cinta Abadi' mungkin hanya alat, namun alat itu telah membantunya membuka kembali hatinya, menghapus kenangan pahit, dan mengupgrade cintanya.

Beberapa bulan kemudian, Anya dan Rian berjalan bergandengan tangan di pantai, menyaksikan matahari terbenam. Rian melamar Anya, dengan cincin yang terbuat dari bahan daur ulang, sesuai dengan prinsip-prinsip arsitektur Anya. Anya menerima lamaran itu, dengan air mata bahagia mengalir di pipinya.

Mereka berdua tahu, masa depan mereka tidak akan selalu mudah. Akan ada tantangan, akan ada perbedaan pendapat. Tapi, mereka juga tahu bahwa mereka memiliki cinta yang kuat, cinta yang telah diuji oleh waktu dan teknologi. Cinta yang, mungkin saja, telah dijodohkan oleh AI.

Anya memeluk Rian erat-erat. "Terima kasih, 'Cinta Abadi'," bisik Anya dalam hati. "Terima kasih telah memberiku kesempatan kedua untuk mencintai."

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI